
JOMBANG | duta.co – Polemik internal Nahdlatul Ulama (NU) kembali mengemuka setelah salah satu Wakil Ketua PBNU, yang dikenal dekat dengan Ketua Umum Gus Yahya, menyebut langkah Rais Aam sebagai “sunnah sayyi’ah”. Istilah ini sontak menuai perhatian luas. Selain bernada keras, dalam khazanah keagamaan, istilah tersebut merujuk pada praktik buruk yang diwariskan dan mendatangkan dosa bagi pelakunya.
Pernyataan itu memicu diskusi. Bukan semata soal perbedaan pandangan, tetapi soal cara membaca sejarah organisasi yang kerap tergesa saat tensi meningkat.
Padahal, dinamika pergantian kepemimpinan sebelum muktamar bukan hal baru dalam sejarah NU. Publik cukup menoleh pada 1982, ketika empat ulama sepuh KH. As’ad Syamsul Arifin, KH. Ali Ma’shum, KH. Machrus Aly, dan KH. Masykur meminta KH. Idham Chalid mengundurkan diri dari posisi Ketua Umum.
Keempatnya bukan nama kecil. Seluruhnya memiliki otoritas moral dan karisma besar di mata warga NU. Langkah tersebut kala itu memicu kegaduhan besar. NU terbelah antara Kelompok Situbondo dan Kelompok Cipete. Pro-kontra mengemuka keras, bahkan lebih lantang dibanding apa yang terjadi hari ini.
“Mari kita merenungkan kejadian tahun 1982 Ketika dimana empat Ulama Sepuh meminta Ketua Umum mundur,” kata Muhammad Ainur Rifqi Dosen Ma’had Aly Darul Ulum kepada duta.co, Minggu (23/11).
Namun, satu hal tercatat jelas tak satu pun warga NU berani menyebut langkah para ulama tersebut sebagai “sunnah sayyi’ah”. Publik justru menangkap bahwa para kiai tengah melakukan ijtihad organisatoris dalam situasi genting demi menjaga marwah jam’iyah.
Lantas, mengapa dalam konteks hari ini, sebagian pihak begitu cepat menghakimi Rais Aam. Mengapa otoritas Syuriah yang dalam struktur NU memegang posisi tertinggi dinilai sebagai pembuat kebiasaan buruk.
Kalangan pengamat menilai, penilaian emosional kerap muncul akibat kedekatan personal terhadap figur Ketua Umum. Itu manusiawi. Tetapi, sentimen personal tidak bisa dijadikan dasar menjustifikasi tuduhan moral yang berat sekaligus mengaburkan fakta sejarah.
“Jangan sampai kita menghilangkan sejarah dan memunculkan sejarah buruk,” tegasnya.
NU, sebagai rumah besar yang menjunjung tasamuh, tawazun, dan ta’addub, mengajarkan kritik tetap bisa disampaikan, tetapi dalam koridor akhlak dan proporsionalitas. Keputusan Rais Aam boleh dipersoalkan soal komunikasi, momentum, maupun sensitivitas terhadap suasana kebatinan jamaah. Namun memberi label “sunnah sayyi’ah” jelas loncatan yang berlebihan.
Sejarah NU tidak steril dari ketegangan. Namun sejarah juga mencatat bahwa organisasi ini mampu bertahan dari badai yang jauh lebih besar. Karena itu, yang harus dijaga bukan sekadar posisi satu figur, tetapi marwah keseluruhan struktur kepemimpinan NU.
Perbedaan pendapat semestinya tidak berubah menjadi penghakiman. Ikhtilaf tidak harus melahirkan stempel moral yang menyakitkan, apalagi kepada para kiai yang telah mendedikasikan hidupnya bagi jam’iyah. NU pernah selamat dari kemelut besar pada masa lalu. InsyaAllah, NU juga akan melewati badai hari ini tanpa harus mengorbankan kehormatan siapapun. (din)





































