dr. Dewi Masithah, M.Kes
Dosen Fakultas Kedokteran (FK)
KATANYA ngevape itu keren. Katanya biar estetik di video. Katanya cuma uap. Katanya “lebih aman”. Tapi masa depan bukan urusan “katanya-katanya”. Paru-paru bukan mesin fogging, dan otak remaja bukan laboratorium percobaan nikotin.
Namun hari ini, semakin banyak anak muda Indonesia yang mulai mengenal rokok dan vape sejak SMP atau SMA. Pertanyaannya: masa depan seperti apa yang ingin kita bangun kalau generasi penerus bangsa sedang dikendalikan oleh asap?
Data Riskesdas 2018 menunjukkan prevalensi perokok anak usia 10–18 tahun meningkat menjadi sekitar 9,1%, naik dari 7,2% pada 2013. Sementara itu, hasil Survei Kesehatan Indonesia (SKI) 2023 menegaskan bahwa penggunaan rokok elektrik di kalangan anak muda juga masih tinggi dan belum menunjukkan tanda penurunan.
Vape hadir dengan aroma stroberi, cokelat, atau permen karet—tetapi tetap membawa nikotin, zat adiktif yang dapat mengikat otak remaja lebih cepat daripada yang mereka sadari. Ini bukan soal “sekadar mencoba”. Ini soal kecanduan yang tumbuh diam-diam.
Nikotin memengaruhi area otak yang mengatur fokus, kontrol impuls, dan pengambilan keputusan. Pada usia remaja—masa di mana otak sedang berkembang—paparan nikotin dapat mengganggu proses tersebut.
Dampaknya, remaja yang seharusnya energik, kreatif, dan produktif justru mudah gelisah, sulit konsentrasi, emosinya labil, dan napasnya pendek saat aktivitas fisik. Itu baru efek jangka pendek. Dalam jangka panjang, risiko gangguan paru, penyakit jantung, hingga penurunan kemampuan belajar dapat menghantui masa dewasa mereka.
Padahal, Indonesia saat ini sedang berada pada momentum bonus demografi, di mana penduduk usia produktif mendominasi hingga 2035. Ini seharusnya menjadi “hadiah sejarah”, peluang emas untuk melompat menjadi bangsa yang lebih kuat dan maju.
Namun peluang itu bisa berubah menjadi bencana demografi jika generasi produktif justru tumbuh sakit sejak muda karena rokok dan vape. Apa gunanya bonus demografi jika tenaga kerja produktif kita habis untuk berobat, bukan berkontribusi?
Di sinilah Sumpah Pemuda menemukan relevansinya. Ikrar 1928 bukan hanya tentang persatuan bahasa, bangsa, dan tanah air—tetapi juga tentang kesadaran kolektif membangun masa depan. Kalau dulu pemuda berikrar melawan penjajahan asing, maka hari ini pemuda harus melawan “penjajahan gaya hidup” yang mencuri kesehatan dan cita-cita. Ancaman itu nyata, hanya bentuknya berbeda.
Karena itu, melindungi generasi muda dari asap rokok bukan sekadar isu kesehatan. Ini isu kebangsaan. Keluarga perlu menjadi ruang aman yang mendengar, bukan menghakimi. Sekolah harus menjadi lingkungan yang tegas terhadap rokok dan vape, bukan sekadar menempel poster di dinding.
Tenaga kesehatan perlu terus memberikan edukasi yang benar, sementara pemerintah dan masyarakat harus mengawal kebijakan kawasan tanpa rokok agar benar-benar ditegakkan. Dan yang paling penting: teman sebaya harus saling menjaga. Kadang, satu kalimat “nggak usah bro, itu ngerusak” lebih menyelamatkan masa depan dibanding seribu slogan.
Hari ini, pada momentum Sumpah Pemuda, mari kita gaungkan gerakan baru: Generasi Tanpa Asap. Gerakan yang bukan memusuhi remaja, tetapi memerdekakan mereka dari candu. Bukan melarang tanpa alasan, tetapi membuka mata tentang masa depan. Bukan menakut-nakuti, tetapi menguatkan pilihan hidup yang lebih sehat.
Karena menjadi pemuda bukan hanya tentang semangat membara, tetapi juga tanggung jawab menjaga diri dan bangsa. Indonesia butuh pemuda yang napasnya panjang—secara harfiah dan secara cita-cita. Jika kita ingin bangsa yang kuat, maka generasinya harus sehat.
Saatnya pemuda Indonesia bersuara: Aku bangga tanpa asap. Aku merdeka untuk bermimpi. Aku siap melaju untuk Indonesia. # Generasi sehat, masa depan kuat, Indonesia hebat. *
Bagaimana reaksi anda?
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry