
Oleh: Agus Wahyudi, S.Sos., M.Pd.
Dosen FKIP
BANJIR bandang dan longsor yang berulang di Sumatera kerap disebut sebagai “bencana alam”. Istilah ini menyesatkan. Ia menyamarkan fakta paling penting: bahwa kehancuran ini bukan kejadian alami, melainkan akibat langsung dari perusakan lingkungan yang disengaja, sistematis, dan diketahui risikonya.
Dalam pengertian ini, apa yang terjadi di Sumatera lebih tepat disebut sebagai terorisme ekologis—kekerasan terhadap ruang hidup yang dilakukan melalui kebijakan, izin, dan pembiaran. Dalam konteks ini, bencana difahami sebagai proses sosial-politik, bukan semata peristiwa geofisik.
Banjir dan longsor tidak jatuh dari langit. Ia lahir dari lanskap yang telah dipaksa kehilangan kemampuan alaminya untuk menahan air dan tanah. Hutan ditebang di hulu, lereng dibuka tanpa kendali, daerah aliran sungai disempitkan, rawa dan gambut dikeringkan. Ketika hujan datang—sesuatu yang sepenuhnya normal di Sumatera—air berubah menjadi ancaman mematikan.
Dalam banyak kasus, peta bencana berimpit rapi dengan peta konsesi. Ini bukan kebetulan. Negara dan korporasi mengetahui dengan sangat jelas bahwa pembukaan hutan di wilayah hulu akan meningkatkan risiko banjir dan longsor di hilir. Laporan ilmiah, peringatan ahli, bahkan pengalaman bencana sebelumnya telah berulang kali disampaikan.
Namun, aktivitas perusakan terus berlangsung. Ketika risiko telah diketahui dan korban terus berjatuhan, kita tidak lagi berbicara tentang kelalaian, melainkan kekerasan yang disengaja melalui keputusan ekonomi-politik.
Data terakhir yang di kutip dari kompas per Rabu (17/12/2025), jumlah korban tewas dalam banjir di Sumatera Barat, Sumatera Utara, dan Aceh sudah mencapai 1.059 orang. Sebanyak 200 orang masih dinyatakan hilang dan 600.000-an warga mengungsi.
Seperti terorisme, “terorisme ekologis” menciptakan ketakutan kolektif yang berulang. Setiap musim hujan, warga desa hidup dalam kecemasan: kapan air akan naik, kapan lereng akan runtuh. Rumah, ladang, sekolah, dan tempat ibadah bisa hilang dalam hitungan menit. Tidak ada sirene, tidak ada peringatan dini yang memadai—hanya kepastian bahwa bencana akan datang lagi.
Ketakutan ini bersifat struktural, diwariskan dari satu musim ke musim berikutnya. Dampaknya bukan hanya korban jiwa dan kerugian materi, tetapi juga kehancuran sosial dan kultural.
Komunitas adat dan masyarakat pedesaan di Sumatera memiliki hubungan ekologis yang intim dengan hutan dan sungai. Ketika tanah longsor menimbun permukiman dan banjir merusak sawah, yang hilang bukan sekadar aset ekonomi, melainkan sistem pengetahuan, ritme hidup, dan martabat kolektif.
Relokasi paksa pascabencana sering kali memutus ikatan sosial yang telah terbangun selama lintas generasi. Mereka yang menolak istilah “terorisme ekologis” berargumen bahwa tidak ada niat menimbulkan korban. Namun, argumen ini rapuh.
Dalam perspektif structural violence Johan Galtung, kekerasan tidak harus hadir dalam bentuk tindakan langsung atau niat eksplisit; ia bekerja melalui struktur sosial, kebijakan, dan institusi yang secara sistematis membatasi hak hidup, keselamatan, dan kesejahteraan kelompok tertentu.
Kekerasan semacam ini sering kali tidak terlihat karena dilembagakan sebagai “aturan main” pembangunan. Dalam konteks Sumatera, pengulangan kebijakan tata ruang yang destruktif, keberlanjutan penerbitan izin di wilayah rawan ekologis, serta pembiaran pelanggaran lingkungan tanpa sanksi efektif menunjukkan bagaimana penderitaan manusia diproduksi secara struktural.
Ketika dampak kebijakan tersebut telah berulang kali memicu banjir dan longsor mematikan, namun tetap dipertahankan, maka kerugian nyawa dan penghidupan tidak lagi dapat dipahami sebagai efek samping tak disengaja, melainkan sebagai biaya sosial yang secara implisit diterima oleh negara dan aktor ekonomi.
Kerangka ini beririsan kuat dengan konsep slow violence Rob Nixon, yang menekankan bahwa kekerasan ekologis sering berlangsung secara gradual, kumulatif, dan tidak spektakuler, sehingga luput dari perhatian publik maupun akuntabilitas politik. Deforestasi, degradasi daerah aliran sungai, dan konversi lahan skala besar tidak langsung “membunuh” dalam satu momen, tetapi secara perlahan menciptakan kondisi di mana hujan biasa berubah menjadi bencana mematikan.
Karena itu, banjir dan longsor di Sumatera layak ditetapkan sebagai bencana nasional buatan manusia, bukan untuk dramatisasi, melainkan untuk membongkar ilusi kenetralan alam dan mengakhiri normalisasi kekerasan ekologis yang tersembunyi dalam bahasa pembangunan.
Tanpa penetapan tersebut, negara akan terus terjebak dalam respons reaktif—menyalurkan bantuan darurat dan pemulihan jangka pendek—sementara struktur kekerasan yang sesungguhnya, yakni tata kelola lahan yang eksploitatif dan timpang, tetap dibiarkan utuh.Namun, penetapan status darurat atau pengakuan formal atas bencana ekologis tidak pernah menyentuh akar persoalan.
Ia kerap berhenti sebagai ritual administratif yang menenangkan opini publik, tanpa mengganggu struktur kekuasaan yang memproduksi kerusakan itu sendiri.
Yang dibutuhkan bukan sekadar respons reaktif berbasis manajemen bencana, melainkan pergeseran paradigma radikal: dari logika penanggulangan menuju pencegahan struktural yang berlandaskan keadilan ekologis dan politik lingkungan. Ini mensyaratkan penegakan hukum yang tidak selektif terhadap perusakan wilayah hulu, pembukaan ulang dan evaluasi kritis terhadap rezim perizinan konsesi yang selama ini melanggengkan ekstraktivisme, serta pemulihan daerah aliran sungai yang tidak direduksi menjadi proyek teknokratis semata.
Lebih jauh, pengakuan terhadap hak dan pengetahuan ekologis masyarakat adat sebagai penjaga lanskap harus ditempatkan sebagai inti kebijakan, bukan pelengkap simbolik. Tanpa perubahan fundamental ini, hujan akan terus diproduksi sebagai ancaman nasional, bukan fenomena alam biasa.
Sumatera, dalam konteks ini, bukan sekadar wilayah terdampak, melainkan cermin krisis global: bagaimana pembangunan yang menegasikan ekologi, memprivatisasi keuntungan, dan mensosialisasikan risiko, menciptakan bencana yang dipersepsikan “alami” padahal sepenuhnya politis. Banjir dan longsor di Sumatera bukanlah keniscayaan geografis, melainkan konsekuensi dari pilihan-pilihan kebijakan. Dan setiap pilihan—terutama yang diambil oleh negara dan korporasi—mengandung tanggung jawab moral, historis, dan ekologis yang tidak bisa lagi disangkal. Wallahua’lam Bisshawab. *








































