
“Dari uh saudarakundangan buka bersama yang diberikan ole nonmuslim, bahkan berjenis suku bangsa yang berbeda-beda, merupakan penanda bahwa kesediaan hidup rukun itu ada dalam setiap jiwa insan Nusantara.”
Oleh Suparto Wijoyo*
SUNGGUH bulan Ramadan 1446 H ini memberikan banyak pemahaman yang selama bermongso-monggo hanya dikira utopia. Ramadan ini sejatinya adalah bulan kebersamaan. Coba amati saja sambil leyeh-leyeh atau duduk-duduk, bahkan jalan-jalan. Realitasnya sangat gamblang. Orang berlalu-lalang untuk memakmurkan Ramadan. Toko-toko, kedai-kedai, warung-warung, restoran-restoran, dan kini hotel-hotel semakin rame. Mobilitas orang, barang dan jasa tidak tertandingi oleh bulan-bulan selain Ramadan. Undangan beragam acara terus mengalir. Kajian terselenggara di mana-mana dan dalam tempo yang berdekat-dekatan. Meriahnya bulan Ramadan menjadi penanda kebenaran pengajaran bahwa Ramadan itu penuh nikmat dan barokah. Ini berlaku untuk semua stratifikasi sosial.
Gang-gang sempit yang dipadati penduduk ramai oleh orang berjualan. Lapangan seberkas alun-alun meriah dengan orang ngabuburit seperti terekam dalam tulisan tulisan sebelumnya. Kini yang namanya acara buka puasa bersama datang tanpa jeda. Jangan tanya apakah juga di Masjid-masjid? Di langgar-langgar, surau-surau, tempat ibadah yang mungil di pojok gang sekalipun, setiap hari ada takjilan dan makan bersama yang disediakan oleh takmirnya. Donasi makanan membanjiri sampai di “tikar sajadah” yang ada di lorong-lorong jauh dari kota.
Acara buka bersama terhelat di banyak tempat. Dari arena sempit di pinggiran taman maupun di hotel berbintang yang menjulang di tengah kota. Metropolitan ini menyajikan berkelindannya agenda warga untuk berbuka puasa. Ruang-ruang kota 1 seperti etalase peradaban bahwa Ramadan adalah milik kita bersama. Milik semua umat manusia. Milik berbagai-bagai kalangan. Para sahabat yang nonmuslim mengundang buka puasa. Mereka tidak berpuasa Ramadan tetapi mereka menggelorakan Ramadan. Golongan nonmuslim itu bahagia menyediakan koleganya berbuka bersama. Pelbagai etnis, suku bangsa, dan golongan tumpah di ruang-ruang kehidupan ini untuk menyuguhkan adabnya. Turut berbahagia menjemput waktu berbuka. Inilah fenomena kebangsaan yang amat bernilai dari warga negara Indonesia. Bahkan acara berbuka acap kali mengundang banyak warga asing, juga biasa.
Realitas yang terhelat tentang acara buka bersama ini amatlah penuh misteri. Orang-orang itu nyaman merasakan nikmatnya Ramadan dengan berbuka bersama lintas budaya. Sungguh ini mengagumkan sekaligus membahagiakan. Fakta ini harus dirawat sepenuh hati karena pola struktur sosialnya sangat menyemesta. Sesama umat manusia apapun agama dan kewarganegaraanya hadir dalam bejana buka bersama dalam semboyan: kami adalah umat manusia yang sama, sama-sama warga dunia. Ajaib sebagaimana kesadaran saya yang terpukau saat mengeja karya agung David Deutsch The Fabric of Reality: The Real Theory of Everything (2023). Ramadan menjadi semacan bentangan struktur realitas yang menyodorkan kenyataan yang membangun kebersamaan rumpun manusia.
Dalam kerangka buka bersama saat Ramadan ini tersedia nuansa kebatinan kolektif yang terekam QS. Al-Kafirun ayat 5 yang mendiskripsikan: untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku. Terdapat ajaran toleransi dan moderasi yang amat terang. Apalagi dalam QS. Al-Hujurat yang 13. Terdapat pesan penting membangun relasi global: Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa – bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.
Menghormati itu menerima kenyataan perbedaan iman ataupun suku bangsa, dan juga warna kulit sesama manusia penghuni bumi Tuhan. Hati bangsa ini menjadi menyamudra tanpa sekat dan dapat mengenyam indahnya keragaman sekaligus aneka kudapan yang terjasikan di meja-meja santap buka puasa. Anjuran untuk saling mengenal ini telah tersurat lama dalam Alquran. Hal ini sangat esensial dan bukti bahwa komunikasi – saling mengenal adalah kunci. Maka buka bersama di saat Ramadan ini 2 menjadi suluh perekat kehidupan kebangsaan yang harus semakin kukuh, termasuk dalam menyambut pemimpin baru hasil Pemilu 2024. Dari undangan buka bersama yang diberikan oleh saudaraku nonmuslim, bahkan berjenis suku bangsa yang berbeda-beda, merupakan penanda bahwa kesediaan hidup rukun itu ada dalam setiap jiwa insan Nusantara. Mengikuti bahasa kesemestaan Sean Carroll dalam bukunya Something Deeply Hidden (2019 yang dicetak ulang 2023) bahwa, “yang jauh tersembunyi” itu kini menyembul sebagai gerakan kerukunan. Selamat berbuka bersama. Cuma kini sudah jelang paripurna Ramadan yang penuh berkah.
*Prof Dr H Suparto Wijoyo, SH, MHum., CSSL adalah Ketua Lembaga Pemuliaan Lingkungan Hidup dan SDA MUI Jawa Timur, Wakil Ketua Tanfidziyah PWNU Jawa Timur dan Guru Besar serta Wakil Direktur III Sekolah Pascasarjana Universitas Airlangga.