foto: contoh Honda PCX putih yang akan dibagikan ke perangkat desa.

JOMBANG | duta.co – Minggu malam, (23/11/2025), seorang Kepala Desa di wilayah tengah Kabupaten Jombang duduk di teras rumahnya. Lampu temaram, secangkir kopi yang mulai dingin, dan rasa was-was yang enggan padam. Ia membuka percakapan dengan lirih, nyaris seperti orang yang sedang menyimpan beban berat.

“Kami tidak pernah mengusulkan, Mas, sama sekali,” katanya. Suaranya pelan, seolah takut ada telinga lain yang mendengarnya. Ia meminta namanya dirahasiakan bukan tanpa alasan. Ada kekhawatiran yang menempel kuat ancaman terhadap program desa, alokasi anggaran, atau akses bantuan yang bisa sewaktu-waktu dipangkas jika ia bicara terlalu lantang.

Pernyataan Bupati Jombang, Abah Warsubi, yang menyebut bahwa pengadaan sepeda motor untuk Kades dalam program Desta Mantra berasal dari “usulan para Kades”, bagi sebagian besar Kades justru terdengar seperti berita yang jatuh dari langit. Tidak ada musyawarah desa, tidak ada forum resmi kecamatan, bahkan tidak ada obrolan ringan antar Kades yang mengarah ke itu.

Beberapa bulan lalu, beberapa Kades memang diundang untuk koordinasi. Setiap kecamatan diminta mengirim tiga wakil. Mereka datang tanpa curiga mengira akan membahas administrasi desa, pendampingan program, atau persoalan teknis lainnya.

Namun, yang terjadi justru sebaliknya. Rapat langsung mengarah pada penjelasan detail pengadaan sepeda motor untuk Kades. Bukan sekadar gagasan, tapi sudah sampai ke teknis merek, warna putih, hingga tulisan besar “BUMDES” yang akan menempel di bodi motor.

“Kades yang datang pun kaget, Mas. Tiba-tiba motor sudah dijelaskan lengkap. Seolah-olah kami sudah menyetujuinya dari dulu,” tutur seorang Kades lain.

Ia menghela napas panjang. Ada getir di balik tawanya, sembari berkata dengan nada sebenarnya dirinya malu memakai. “Tak nyaman di lapangan” bebernya.

Bahkan, di kantor desanya sudah ada dua motor dengan tulisan “BUMDES”. Namun, sebagian Kades enggan menggunakannya. Bukan karena tak butuh kendaraan, tetapi karena tak ingin dianggap memanfaatkan fasilitas desa untuk kepentingan pribadi.

“Kalau saya pribadi, saya malu pakai. Sudah ada dua motor di desa, itu pun dipakai perangkat. Kalau dipakai Kades, nanti dikira untuk pamer. Saya nggak enak sama warga,” kata seorang Kades.

Di balik ucapan itu, tampak upaya menjaga marwah jabatan, menjaga hubungan dengan warga, dan menjaga keseimbangan yang selama ini rapuh antara pemimpin desa dan masyarakatnya.

Di kecamatan, antar-Kades saling bertanya: “Sampean usulkan, ta?” Jawabannya hampir selalu sama; Tidak. Di tingkat desa, perangkat bertanya ke Kades: “Motor anyar iki usulan panjenengan?”. Kades hanya menggeleng.

Pernyataan Bupati bahwa pengadaan motor ini “usulan para Kades”, bagi mereka, bukan hanya salah kaprah. Tapi juga meninggalkan rasa seperti suara mereka tidak pernah benar-benar didengar.

Seorang Kades menutup pembicaraan malam itu dengan suara yang kembali pelan, hampir berbisik. “Kadang kami ini hanya ingin diajak ngomong dulu. Diajak rembukan. Bukan langsung tahu dari berita atau rapat yang tiba-tiba. Wong kami ini juga manusia,” pungkasnya.

Hal ini pun menjadi pertanyaan besar di kalangan rakyat jika pihak desa tidak mengusulkan, kenapa Bupati tetap ngotot mengadakan bahkan sudah menentukan merek motor? (din)

Bagaimana reaksi anda?
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry