PONOROGO | duta.co -Ketenaran Ronggowarsito atau Raden Ngabehi Rangga Warsito sebagai pujangga besar budaya Jawa yang hidup di Kasunanan Surakarta, ternyata tidak banyak dikenal oleh orang Ponorogo. Padahal pujangga yang dianggap terakhir di Tanah Jawa itu, pernah mondok ( nyantri) di Gebang Tinatar, Tegalsari, Jetis, Ponorogo.
Untuk mengenang sosok Ronggowarsito sebagai salah satu tokoh literasi di Tanah Air, maka Kampus Literasi STKIP PGRI Ponorogo menggelar Anugerah Ronggowarsito. Penghargaan atau apresiasi kepada para pegiat literasi khususnya penulis buku. Tak tanggung-tanggung hadiah utama yang ditawarkan adalah Rp 100 juta. Dan anugerah ini merupakan yang pertama yang digelar oleh kampus literasi yang berada di Jl. Ukel Ponorogo itu.
“ Ini baru pertama pemberian anugrah Rongowarsito. Kami mengapresisasi bahwa karya penulis di Indonesia penting diapresiasi. Di Jakarta tidak memberi apresiasi, maka biarlah kami di desa, kampus kecil coba untuk apresiasi,” terang Ketua Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan (STKIP) Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Ponorogo Dr Sutejo, Mhum, Rabu (11/9).
Menurut tokoh literasi yang sudah menghasilakn puluhan judul buku itu, format dalam penganugerahan saat ini sedang digodog. Tapi menurutnya, inti dari penganugerahaan itu adalah seringnya muncul kritik bahwa karya non fiksi dan fiksi dipisahkan. Padahal, harusnya tidak demikian. Dia mengibaratkan petinju Muhammad Ali yang dihadapkan dengan pegulat asal Jepang, Antonio Inoki di Nippon Budokan Arena, Tokyo, Jepang pada 26 Juni 1976 lalu.
“Dulu Muhammad Ali ditandingkan dengan gulat. Bisa jadi dalam literasi ( hal itu) terjadi. Intinya, pertama sering problem terjadi, ada kritik fiksi non fiksi. Fiksi non fiksi itu tidak bisa ditandingkan. Menurut saya sama. Saya tandingkan literasi dapat terjadi,” imbuh mantan guru SMA itu.
Dengan menggelar anugerah Ronggowarsito, Sutejo berharap, dari kampus kecil di daerah ini maka sebuah karya literasi sangat mendapat tempat. Bahkan tidak hanya lokal, penganugeraan ini berskala nasional dan internasional. Siapapun yang mengirimkan karyanya berupa buku dalam terbitan 2 tahun terakhir akan dinilai. Dan semua karya sastra adalah berbahasa Inodonesia. Sehingga bisa saja penulis asing mengirimkan karyanya asal dalam bahasa Indonesia.
“ Orang asing yang menulis gunakan bahasa Indonesia kita akomodasi dan karya dikirim ke kampus literasi Indoensia STKIP PGRI Jl. Ukel 39,” lanjutnya.
Namun tantangan yang dihadapi tidak kecil, masih ada tugas berat yang menanti yaitu menemukan keluarga Ronggowarsito. Di samping mengunjungi makamnya di Klaten Jateng. Pihaknya berharap dengan penganugerahan itu maka akan didapat representasi dari karya maha agung Ronggowarsito yang penuh dengan simbol-simbol aroma spiritual.
“ Latar belakanya kami sangat menghormati seorang pujangga besar yang pernah mondok di Tegalsari. Belum ada simbol-simbol yang mengapresiasi atau mengagungkan karya beliau. Yaitu penuh dengan aroma spiritualitas. Punya roh tasawuf. Dan bagi saya fiksi non fiksi sama,” pungkasnya.
Untuk menyeleksi karya penulis yang masuk maka panitia akan melibatkan dewan juri yang sudah kondang di tanah air. Mereka adalah Prof Dr Djoko Saryono (guru besar Universitas Negeri Malang) sebagai ketua, Maman S Mahayana (kritikus sastra terkemuka dari FIB Universitas Indonesia), Prof Dr Setyo Yuwono Sudikan (guru besar Universitas Negeri Surabaya), Arafat Nur (sastrawan asal Aceh dan penerima sejumlah penghargaan nasional) dan Dr Sutejo sendiri. (sna)