Dr Lia Istifhama (ft/liputan6.com)
“Hari ini kita heboh dengan kebijakan mengatur volume speaker masjid atau mushalla. Di sisi lain, kita (umat Islam) butuh suara adzan sebagai pengingat  waktu salat. Berikut sejarah adzan dan makna tolerasi di dalamnya.”
Oleh Dr Lia Istifhama*

BAGI seorang muslim, nama Bilal bin Rabbah sudah tidak asing lagi. Ialah salah satu sahabat Rasulullah SAW yang sangat legendaris dan dikenang sebagai salah satu sosok penting dalam sejarah Islam.

Bilal bin Rabbah juga dikenang sebagai sosok penuh kesabaran dan keteguhan dalam mempertahankan Islam. Gegara memeluk Islam ia disiksa bertubi-tubi oleh majikannya, diletakkan batu besar di atas dadanya di tengah terik matahari. Di sisi lain, sahabat Bilal juga dikenang sebagai sosok bersuara merdu yang melantunkan adzan untuk mengajak umat muslim berjamaah salat.

Dari buku ‘Kelengkapan Tarikh Nabi Muhammad’ Karya H Munawar Chalil 1960, dijelaskan tentang sejarah permulaan adzan dan iqamah. Dikisahkan dalam buku tersebut, bahwa sebelum Rasulullah SAW berhijrah ke Madinah, Allah SWT telah memerintahkan kepada beliau dan umatnya supaya mengerjakan salat 5 waktu, ini sesuai apa yang telah ditentukan dalam perjalanan Isra dan Mi’raj.

Perintah salat ini, bukan hanya sebagai tuntunan kaum muslimin untuk selalu mengingat kebesaran Allah SWT, melainkan juga membimbing kaum muslimin agar senantiasa menjadi umat yang bersatu dan memiliki persaudaraan yang kuat.

Baginda Nabi ‘Kesulitan’

Pada waktu itu, jumlah kaum muslimin semakin banyak dan, tersebar di berbagai tempat. Ini membuat Baginda Rasulullah SAW ‘kesulitan’ untuk mengumpulkan mereka pada tiap waktu salat. Oleh karenanya, Rasul bermusyawarah dengan para sahabat, merundingkan tentang: ‘Bagaimana cara termudah dan teringan untuk mengumpulkan kaum muslimin di masjid pada setiap waktu salat?’

Ternyata, para sahabat beragam pendapat. Ada yang usul, ketika tiba waktu salat, nyalakan api. Ada juga usulan meniupkan terompet. Dan ada pula yang berpendapat memukul lonceng. Lalu muncul pendapat terakhir menyerukan ‘ash-shalah’, sebagai panggilan salat.

Rasulullah SAW setuju dengaN pendapat terakhir, yang disampaikan sahabat Umar bin Khattab ra. Rasulullah kemudian berkata kepada sahabat Bilal: “Hai Bilal, bangunlah, maka panggillah dengan ash-Shalah”.

Selanjutnya, ketika tiba waktu salat sahabat bilal berseru: “Ash-Shalatu jami’ah (Mari Salat bersama-sama)”.

Nah, tiba-tiba pada suatu malam, sahabat Abdullah bin Zaid bermimpi melihat seorang lelaki berpakaian serba hijau, berkeliling sambil membawa genta atau lonceng. Sahabat Abdullah bertanya: “Hai hamba Allah, apakah engkau hendak menjual genta itu?”

Orang itu menyahut: “Apakah yang akan kau perbuat dengan genta itu (jika ingin membeli)?”

Sahabat Abdullah menjawab: “Akan kami pergunakan untuk memanggil salat”.

Orang itu berkata: “Maukah engkau aku perlihatkan yang lebih baik daripada menggunakan genta untuk memanggil salat?” Sahabat Abdullah menjawab: “Baiklah coba tunjukkan”.

Lantas lelaki tersebut berseru dengan ucapan: Allahu akbar, Allahu akbar. Asyhadu allaa ilaaha illallah. Asyhadu allaa ilaaha illallah. Asyhadu anna Muhammad ar Rasulullah. Asyhadu anna Muhammad ar Rasulullah. Hayya ‘ala Shalaah. Hayya ‘ala Shalaah. Hayya ‘alal Falaah Hayya ‘alal Falaah. Allahu akbar, Allahu akbar. Laa ilaaha illallah.

Setelah mengucapkan, lelaki tersebut mengundurkan diri ke tempat yang tidak jauh dari tempat semula. Lantas berkata kembali pada sahabat Abdullah: “Bila engkau hendak berdiri salat, maka ucapkanlah: Allahu akbar, Allahu akbar. Asyhadu allaa ilaaha illallah. Asyhadu anna Muhammad ar Rasulullah. Hayya ‘ala Shalaah. Hayya ‘alal Falaah. Qod qoomati shalaah, Qod qoomati shalaah. Allahu akbar Allahu akbar. Laa ilaaha illallah.”

Keesokan harinya sahabat Abdullah menghadap kepada Rasulullah SAW dan mengabarkan isi mimpi itu. Setelah itu, Rasulullah bersabda: “Bahwasannya mimpi itu benar, Insya Allah”.

Kemudian berkatalah Rasulullah SAW: “Maka berdirilah engkau kepada Bilal karena Bilal itu suaranya lebih tinggi dan lebih panjang, lalu ajarlah Bilal akan segala apa yang telah diucapkan orang itu kepadamu (lewat mimpi). Dan hendaklah Bilal memanggil orang bersalat dengan yang sedemikian itu”.

Sahabat Abdullah lalu mendapatkan sahabat Bilal dan mengajarkan kepada Bilal tentang adzan dan qomat tersebut. Kemudian setelah datang waktu salat, sahabat Bilal memanggil kaum muslimin dengan seruan adzan dan qomat.

Seperti Kalimat Bilal

Mendengar suara adzan sahabat Bilal, sahabat Umar bin Khattab datang dengan sangat tergopoh gopoh lalu menguraikan kainnya dan berkata kepada Rasulullah: “Ya Rasulullah, Demi Dzat yang telah mengutus engkau dengan benar. Sungguh semalam saya telah bermimpi sebagaimana yang terucap dari bilal”.

Rasulullah bersabda: “Maka semua puji bagi Allah”.

Kemudian ada sebuah Riwayat, bahwa saat tiba waktu salat Subuh, sahabat bilal memanggilnya dengan kalimat: “Ash Shalatu khairum minan naum” (Salat lebih baik daripada tidur) di tengah seruan adzan. Mendengar ucapan Bilal, Rasulullah SAW menetapkan sebagai kebaikannya dan memperkenankan ucapan tersebut hanya pada saat seruan salat subuh.

Penjelasan tentang sejarah dari adzan ini adalah untuk menunjukkan kemuliaan peristiwa yang menjadi permulaan adzan dan qomat. Selain itu sebagai bentuk menjaga sejarah agar tidak tinggal sejarah belaka, melainkan menjadi teladan dan tuntunan yang dapat kita lestarikan bersama. Hal ini akan menjadi I’tibar atau contoh dan menjadi pelajaran utama bagi kita sebagai umat muslim.

Setidaknya, dari sejarah adzan, ada beberapa teladan yang bisa kita ambil. Pertama, bahwa jika kita umat Islam hendak mengerjakan suatu hal yang berguna bagi kemaslahatan umum, namun belum ada keterangan atau aturan dalam agama, maka perlu musyawarah terlebih dahulu agar menemukan solusi atau langkah terbaik.

Kedua, bahwa siapa pun yang sedang bermusyawarah, maka kesemuanya berhak mengemukakan pendapat atau pikiran secara bebas. Dengan begitu, toleransi berpendapat harus kita hargai dalam sebuah musyawarah. Sedangkan kesimpulan menentukan benar atau salahnya, adalah menurut suara terbanyak atau pun pendapat paling bijak.

Ketiga, bahwa orang yang terpilih sebagai penentu keputusan, wajib menyerahkan diri kepada Allah SWT. Dalam artian, melakukan tafakur diri atau berdoa untuk mendapatkan petunjuk yang terbaik dalam menjalankan sebuah keputusan.

Keempat, dalam melakukan segala perbuatan yang berkenaan dengan ubudiyah, maka umat Islam tidak boleh mencampuradukkan dengan peribadatan agama lain sebagai bentuk toleransi dan menghormati agama lain.

Sebagai contoh, ketika menyerukan salat, jangan engan menolak cara menyalakan api, karena itu identitas kaum Majusi. Jangan pula meniupkan terompet yang merupakan simbol Yahudi, atau pun memukul lonceng yang merupakan identitas kaum nasrani. Hal ini tak lain bahwa setiap agama memiliki identitas dan harus saling menghormati.

Kelima, bahwa untuk mengingatkan waktu salat perlu seorang muadzin yang suaranya keras dan fasih, sehingga mampu menggugah hati umat muslim untuk segera melaksanakan salat atau pergi ke masjid. Tentu, penggunaan speaker masjid-mushalla harus sesuai dengan fatsoen atau kebijakan lokal (local wisdom) sesuai adat kebiasaan setempat.

Subhanallah! Indah bukan? Inilah sejarah adzan yang sangat lekat dengan sosok sahabat Bilal berikut toleransi di dalamnya. Kita bisa mengambil hikmah dari setiap sejarah yang telah berlalu. (*)

*Dr Lia Istifhama, adalah Aktivis dan Penulis

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry