Prof Akhmad Muzakki, MAg, Grad Dip SEA, MPhil, PhD. (FT/NUO)

SURABAYA | duta.co – Ketua Dewan Pendidikan Jawa Timur Prof Akhmad Muzakki, mengaku tidak habis pikir dengan kengototan Mendikbud Muhadjir Effendy untuk segera  menerapkan kebijakan sekolah 5 hari dalam sepekan atau yang dikenal dengan full day school (FDS) secara nasional. Apalagi, selama ini belum terdengar adanya kajian plus-minusnya.

“Heran saya! Dulu K13 (kurikulum 2013 red.) dikritik habis alasannya dipaksakan, tidak ada kajian, dll. Tetapi sekarang, lebih mengerikan, kebijakan sekolah 5 hari sepekan langsung dipaksakan. Ada apa ini? Saya melihat pemerintah (dalam hal ini Kemendikbud) sangat congkak dan pongah,” kata Prof Akhmad Muzakki, MAg, Grad Dip SEA, MPhil, PhD kepada duta.co, Selasa (13/6/2017).

Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) dan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam (FEBI) UIN Sunan Ampel Surabaya ini, justru bertanya mengapa Mendikbud sekarang begitu ngotot menerapkan sekolah 5 hari sepekan. Ini ide dari mana? “Seingat saya begitu (Muhadjir red.) dilantik (sebagai Mendikbud red.) ide ini sudah dilempar keluar dan ditentang banyak pihak. Lho kok sekarang dimunculkan lagi, dari mana idenya?” tanyanya.

Bahwa kebijakan itu sudah diterapkan di luar negeri, itu tidak bisa dipakai acuan, tidak bisa serta merta dipakai di Indonesia. Soal pendidikan tidak bisa copy paste, apalagi membandingkan apple to apple.

“Di luar negeri pendidikan menjadi tanggungjawab negara, tidak masalah. Yes! Sementara di Indonesia pendidikan sangat membutuhkan partisipasi masyarakat. Dan terbukti konstribusi swasta sangat luar biasa.  Apakah pemerintah sekarang ini mau mengesampingkan begitu saja terhadap peran penting masyarakat kita?” jelasnya.

Belum lagi kalau bicara kearifan lokal. Menurut Akhmad Muzakki, kalau benar kebijakan sekolah 5 hari sepekan ini diterapkan Juli 2017 — sebagaimana disampaikan Mendikbud — maka, jelas akan memberangus dan justru menutup kearifan lokal.

“Apalagi kalau alasannya pendidikan karakter bangsa. Apa dikira masalah karakter bangsa ini terselesaikan dengan sekolah 5 hari sepekan? Justru sebaliknya, pendidikan karakter bangsa ini tidak hanya terbentuk dalam sekolah. Ada peran orangtua, peran masyarakat. Jadi, gagasan menerapkan sekolah 5 hari sepekan itu, menurut saya, pikiran sesat,” tambahnya.

Seperti diberitakan, Mendikbud Muhadjir Effendy tetap akan melakukan kebijakan tersebut secara nasional dengan jam pulang sekolah pukul 15.30 atau 16.00 WIB. Menurut Muhadjir, Peraturan Menteri mengenai sekolah 5 hari sudah diterbitkan sejak  Jumat (9/6/2017) lalu.

“Sudah terbit Permen tanggal 9 kemarin. Iya mulai berlaku Juli kemudian ada PP No 19 2017 tentang beban tugas guru, beban pekerjaan. Itu kita alihkan dari yang semula diukur atas dasar jumlah mengajar, yaitu 24 jam tatap muka minimum itu,” kata Muhadjir kepada wartawan di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta.

“Sekarang kita alihkan jadi beban sebagaimana ASN (Aparat Sipil Negara), sebagai aparat, yang jumlahnya 37,5 jam perminggu. Jadi komplet dengan istirahatnya sekitar 40 jam per minggu dan itulah yang kita pakai dasar untuk 5 hari masuk kerja sama dengan ASN yang lain kan, kan juga 5 hari,” lanjutnya.

Jadi sebenarnya, imbuh Muhadjir, ada dua hal yang berbeda. “Itu sebenarnya dua hal yang berbeda. Tapi, karena itu, sebetulnya kenapa 5 hari? Karena beban sekarang guru itu kita disesuaikan dengan ASN yang 5 hari kerja itu. Jadi itu saling melengkapi saja,” ucapnya.

Soal keluhan dan penolakan banyak pihak, Muhadjir menjawab singkat. “Mudah-mudahan karena belum dapat informasi yang cukup, mudah-mudahan. Karena dalam Permen sudah dijelaskan dalam penyelenggaran program penguatan karakter, itu sekolah dimungkinkan untuk kerja sama dengan lembaga pendidikan di luar, termasuk madrasah, masjid, gereja, pura, sanggar kesenian, pusat olahraga, itu dimungkinkan,” jelasnya.

Delapan jam belajar minimal itu, terang Muhadjir, jangan diartikan anak dapat pelajaran terus-terusan di kelas. Kalau soal pelajaran, tetap mengacu kepada K13, tidak ada perubahan, cuma ini sesuai dengan visi Presiden Jokowi. “Bahwa pendidikan karakter 70 persen untuk pendidikan dasar, SD dan SMP. Maka harus ada perluasan waktu,” terang Muhadjir.

Nah, kengototan Mendikbud inilah yang, menurut Prof Akhmad Muzakki sebagai bentuk kecongkaan atau kepongahan pemerintah terhadap peran penting masyarakat dalam hal pendidikan.   (mky,kpr)

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry