Kabag Humas M Fikser bersama perwakilan mahasiswa Papua saat berdialog dengan tiga pilar Kecamatan Tambaksari. DUTA.CO/ANDI MULYA

SURABAYA | duta.co – Pasca kejadian di asrama Papua di Jalan Kalasan, Surabaya beberapa waktu lalu, akhirnya mendapat respon dari beberapa organisasi Papua di Surabaya.

Melalui mediasi yang berlangsung di kantor Kecamatan Tambaksari, Rabu (11/7) kemarin, Petrus Gombo membantah kabar adanya pelanggaran HAM, apalagi pelecehan seksual yang dilakukan oleh aparat ketika menggelar operasi yustisi di asrama Papua.

“Kabar itu tidak benar,  saya yakin tidak ada satupun mahasiswa di asrama itu yang mengalami kekerasan, apalagi pelanggaran HAM,” ujar Gombo.

Gombo menambahkan, pasca kerusuhan yang terjadi di asrama itu, dirinya juga membantah jika terdapat mahasiswa Papua yang berstatement rasis.

“Kalaupun ada, pasti kita akan tindak dan kita selesaikan dengan cara Papua,” tambahnya.

Dalam mediasi yang dihadiri oleh pihak Pemkot, Kodim dan Polrestabes Surabaya itu, Petrus Gombo juga menyatakan jika dirinya beserta seluruh warga Papua di Surabaya, sangat menjunjung tinggi norma-norma hukum yang berlaku.

“Tidak salah, kegiatan itu (yustisi) dilakukan juga sesuai Permendagri nomor 14 tahun 2015. Dan saya sangat sepakat akan hal itu,” aku Petrus Gombo.

Petrus Gombo yang juga sebagai Ketua Paguyuban Mahasiswa Papua meminta kepada aparat penegak hukum untuk segera memproses pihak-pihak yang mendeskreditkan hubungan antara warga papua dengan warga surabaya.

Gombo menambahkan bahwa mahasiswa maupun warga Papua yang berada di surabaya mendukung pemerintah dalam menegakkan aturan. Bahkan pihaknya menolak pernyataan yang dikeluarkan LBH Surabaya dan Saudari Anindya Shabrina yang terlalu mendeskriditkan aparat dengan warga Papua

“Sama sekali tidak ada pelanggaran HAM dan kami menolak pernyataan yang dikeluarkan LBH Surabaya,” beber Ketua Ikatan Keluarga Besar Papua Surabaya ini.

Sementara itu, Tri Rismaharini melalui Kabag Humas Pemkot Surabaya, M. Fikser, sangat menyayangkan adanya hal tersebut. Dirinya berharap, dengan adanya koordinasi yang digelar saat ini, kejadian di asrama Jalan Kalasan dapat di selesaikan dengan baik.

“Padahal, selama ini Pemkot Surabaya turut membantu dan memfasiltiasi secara khusus setiap kegiatan masyarakat, maupun mahasiswa Papua di Surabaya. Semoga, dalam pertemuan ini, semua permasalahan dapat diselesaikan dengan baik,” ujar Fikser.

LBH dan Surat Tugas

Seperti diberitakan duta.co dalam siaran pers LBH yang disampaikan Moh.Soleh (LBH Surabaya), Hendrik (Aliansi Mahasiswa Papua) dan  Anindya (Front Mahasiswa Nasional), ada dua orang peserta diskusi, Isabella dan Anindya berusaha untuk berdialog dengan damai dengan pihak Camat namun di tengah dialog tersebut, salah seorang polisi meneriaki Anindya dengan kata-kata kasar, kemudian situasi mulai memanas.

“Isabella dan pengacara publik LBH Surabaya diseret oleh aparat kepolisian, sedangkan Anindya juga dilecehkan oleh oknum aparat kepolisian, dadanya dipegang dan kemudian diseret beramai-ramai. Lalu, Camat Tambaksari bersama ratusan anggota Kepolisian, TNI dan Satpol PP kota Surabaya meninggalkan lokasi Asrama Mahasiswa Papua sekitar jam 11.00 WIB,” terangnya.

Alasan Camat bahwa operasi tersebut merupakan Operasi Yustisi, tetapi LBH menganggapnya  yang tidak rasional. Karena jika memang Camat Tambaksari sedang melaksanakan Operasi Yustisi, seharusnya camat bisa menunjukkan Surat Perintah/Surat Tugas. Selain itu, jika memang melaksanakan Operasi Yustisi kenapa harus melibatkan anggota Kepolisan dan TNI, bahkan polisi bersenjata laras Panjang.

“Tindakan represif aparat Kepolisian terhadap mahasiswa Papua, tidak hanya sekali terjadi. Pada 1 Juli 2018, diskusi yang dilaksanakan Mahasiwa Papua di Asrama Mahasiswa Papua dibubarkan paksa oleh  aparat Kepolisian dan di Malang diskusi Mahasiswa Papua dibubarkan secara paksa sehingga mengakibatkan beberapa Mahasiswa papua terluka,” tambahnya. Penjelasan LBH inilah dibantah oleh paguyuban mahasiswa Papua.(and)

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry