Tampak Abdullah Alawi sedang mewawancarai Drs H Choirul Anam. (DUTA.CO/MKY)

SURABAYA | duta.co – Drs H Choirul Anam, sejarawan Nahdlatul Ulama yang juga Dewan Kurator Museum NU, mengingatkan pentingnya ‘mengasah’ kepekaan NU terkait sistem ekonomi, sistem demokrasi dan sistem politik yang dirumuskan para pendiri negeri ini.

“Semboyan ‘NKRI Harga Mati’ itu mestinya termasuk menjaga orisinilitas konstitusi yang telah dirumuskan para pendiri negeri ini. Jangan hanya teriak ‘NKRI Harga Mati’, tetapi, kenyataannya, konstitusi sudah ditawar kapitalis dan sekularis malah tidak mengerti,” kata Cak Anam, panggilan akrabnya dalam wawancara khusus dengan wartawan nu.or.id dan Majalah Aula,  di Graha Astranawa, Senin (04/12/2017).

Masih menurut Cak Anam, empat kali UUD 1945 diamandemen, hasilnya justru membahayakan NKRI. Merujuk Pasal 6 ayat 1 UUD 1945. Pasal ini merupakan aturan mengenai syarat bagi seseorang yang ingin mencalonkan menjadi presiden RI. Sebelum diamandemen pasal tersebut berbunyi, Presiden ialah orang Indonesia asli.

Setelah diamandemen kata ‘orang Indonesia asli’ diganti menjadi Calon Presiden dan calon Wakil Presiden harus seorang warga negara Indonesia sejak kelahirannya dan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain karena kehendaknya sendiri, tidak pernah mengkhianati negara, serta mampu secara rohani dan jasmani untuk melaksanakan tugas dan kewajiban sebagai Presiden dan Wakil Presiden.

Sekilas memang tidak ada masalah. Tetapi perubahan ini pengaruhnya sungguh signifikan, karena terkait dengan siapa yang memimpin negeri ini, dan itu akan berdampak kepada segala sistem ketatanegaraan. “Ini seharusnya menjadi garapan NU.” lanjutnya.

“Sistem ekonomi kita sekarang menjadi kapitalis. Sekarang ekonomi diserahkan ke mekanisme pasar. Ini bertentangan dengan ekonomi Pancasila. ” jelasnya.

Mantan Pengurus Lembaga Ta`lif wan Nasyr (LTN) Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) ini, kemudian menyebut salah satu pilar ekonomi yang dibangun NU, yaitu Nahdlatut Tujar. Pilar ini mendapat dukungan para pendiri NU. Bahkan KH Wahab Chasbullah sendiri mendirikan koperasi, jauh sebelum orang mengenal apa itu koperasi.

Begitu juga soal kebebasan demokrasi, menurut Cak Anam, demokrasi sekarang sudah melenceng jauh dari demokrasi Pancasila yang mestinya menjadi ‘way of life’ bangsa Indonesia. Rakyat seperti tidak mempunyai pemimpin karena kekuatannya sudah dominasi kekuatan uang, rakyat pun menjadi suka terima uang sogokan dari politisi korup. Ujungnya korupsi tidak semakin mengecil, malah semakin menggurita. Di sini, NU mestinya lebih berperan.

Ketika ditanya mengapa kepekaan NU semakin melemah? Mantan wartawan Majalah Tempo ini, menjawab, satu di antaranya adalah kuatnya godaan politik, lemahnya mengaplikasi khitthah NU. Semua itu lantaran pengurus NU sudah tidak tahan menghadapi rayuan politik.

Diakui, dalam sejarahnya, NU memang pernah masuk dalam politik praktis. Sehingga tidak mudah, memang, untuk menegakkan khitthah NU. Tetapi, itu harus dan wajib dilakukan, tidak ada tawar menawar, jika NU ingin tetap menjadi jangkar NKRI.

“Sekalipun NU pernah berubah bentuk menjadi organisasi politik, tetapi setelah melakukan evaluasi mendalam terhadap peran dan langkahnya sebagai organisasi politik, maka, dalam muktamar ke-26 di Semarang (Juni 1979) NU memutuskan kembali ke khitthah. Kembali ke bentuk asalnya, yakni Jam’iyah Diniyah Islamiyah Ijtima’iyah—Organisasi Sosial Keagamaan Islam,” jelasnya.

Masih menurut Cak Anam, pelaksanaan putusan Muktamar Semarang, memang tak seindah yang dibayangkan, banyak kendala, lagi-lagi karena kuatnya godaan pragmatisme politik. “Ini fakta, banyak pemimpin formal struktural NU yang merangkap jabatan pimpinan partai politik kala itu. Sehingga, wajah Jam’iyah Diniyah NU pasca muktamar Semarang, masih saja didominasi warna politik praktis,” lanjutnya.

Karena itu, pada muktamar ke 27 di Situbondo (8-12 Desember 1984), NU menegaskan kembali posisinya kembali ke khitthah 1926. NU adalah organisasi sosial kemasyarakatan, bukan organisasi politik dan tidak akan pernah menjadi partai politik.

“Nah muktamar ke-28 di Krapyak, Yogyakarta (Tahun 1989) dipertegas lagi, NU memberikan tuntunan berupa  pedoman berpolitik kepada warganya untuk dilaksanakan dengan penuh kesungguhan, guna menumbuh-kembangkan budaya politik yang sehat dan bermartabat. Maka lahirlah Sembilan Pedoman Berpolitik Warga NU.”

Sekarang ini, lanjut Cak Anam, Sembilan Pedoman Berpolitik Warga NU itu, semakin tidak diindahkan. Ini yang membuat NU terus mengalami degradasi, membuat pengurusnya semakin tidak peka terhadap perubahan-perubahan konstitusi. “Malah sekarang saya dengar ada guyonan sudah menjadi banom PKB. Ini berbahaya sekali,” tegasnya. (mky)

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry