SURABAYA | duta.co – Seru! Debat ‘Dua Sisi’ yang digelar TvOne, Kamis (13/6/2019) malam, berlangsung seru. Temanya menarik: ‘Kyai Ma’ruf Terjebak BUMN?’.

Sebagai nara sumber Dr Refly Harun, SH, MH, LLM (Ahli Hukum Tata Negara), Dr Ahmad Yani, SH (Politisi Senior), Miftah Sabri (Juru Bicara BPN Prabowo-Sandi), Wahyu Setiawan (Komisioner KPU) dan Taufik Basari (Juru Bicara TKN Jokwoi-Ma’ruf Amien).

Seperti biasa, awal debat masing-masing saling menyerang. Wahyu Setiawan misalnya, menegaskan bahwa KPU selalu terbuka. Keputusan menerima Kiai Ma’ruf, meski tidak mundur sebagai Ketua Dewan Pengawas Bank Syariah, dinilai adil. Sama dengan keputusan untuk Caleg Gerindra bernama  Mirah Sumirat. Sama-sama bekerja di anak perusahaan BUMN, tidak digolongkan pejabat BUMN.

Penjelasan ini langsung disambar Miftah Sabri. Menurut Miftah, Mirah Sumirat awalnya tidak lolos. Tetapi, setelah digugat melalui Bawaslu, baru diloloskan. Artinya, ada perlakukan tidak adil. “Masalah Mirah Sumirat kita gugat, dan itu tidak bisa dijadikan dasar pembenar posisi Kiai Ma’ruf sebagai pejabat di anak perusahaan BUMN,” jelasnya.

Ini, tentu, membuat ‘gatal’ Taufik Basari, sebagai Juru Bicara TKN Jokwoi-Ma’ruf Amien. Ia pun menimpali, bahwa, apa yang dipersoalkan pasangan 02, ini lebih pada mencari-cari masalah. Sebab, persoalannya menyangkut administrasi, di mana masing-masing kontestan sudah diberi saluran dan waktu tertentu.  “Mengapa baru sekarang. Jangan karena kalah kemudian mencari-cari masalah,” tegasnya.

Cukup! Belum. Debat yang dipandu (host) Indiarto Priadi ini semakin seru ketika KPU menegaskan, bahwa, posisi Kiai Ma’ruf sebagai Ketua Dewan Pengawas Bank Syariah yang, notabene akan perusahaan BUMN, tidak masuk kategori karyawan BUMN.

Karuan, penjelasan Wahyu ini memantik reaksi Ahmad Yani dan Miftah Sabri. Benarkah anak perusahaan BUMN itu berbeda dengan BUMN? Di sini Dr Ahmad Yani memberikan logika menarik.

“Anak sapi itu, ya sapi. Anak kambing itu, ya kambing. Jadi anak perusahaan BUMN, itu ya BUMN. Sama! Perlakuannya sama,” jelas Ahmad Yani yang membuat Wahyu Setiawan geleng-geleng kepala.

Ahmad Yani sempat menegaskan, bahwa, KPU tidak boleh melakukan pembenaran kasus Kiai Ma’ruf ini dengan dalih kasus Celeg Gerindra. Ini dinilai tidak elok. “Menurut saya agak keliru menjadikan masalah Caleg Gerindra sebagai pembenar masalah yang tidak benar. Mau dari partai Gerindra kek, atau NasDem kek, kalau tidak sesuai aturan, ya harus ditolak,” tegasnya.

Kedua, tegasnya, ini masalah serius, bukan soal beda tafsir. Ini sangat tekstual. Karena pasal dan undang-undang tentang BUMN sudah jelas, badan usaha milik negara yang selanjutnya disebut BUMN, seluruhnya atau sebagian sahamnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan kekayaan langsung atau kekayaan yang dipisahkan.

Belum lagi kalau kita lihat peratusan Menteri BUMN, bahwa, anak perusahaan BUMN yang disebut anak perusahaan seperti perseroan terbatas adalah BUMN. Ini tekstual, bukan beda tafsir.

“Lalu, bagaimana cara rekrutmen untuk menjadi direksi atau komisaris anak perusahaan BUMN, semua jelas. Tidak mungkin bisa tanpa melalui (holding) BUMN,” tegasnya sambil menyontohkan Holding di PT Pupuk Indonesia.

Yani juga menyebut UU Keuangan negara, UU Tindak Pidana Korupsi, semua jelas. “Contoh kasus Edward Soeryadjaya didakwah korupsi di anak perusahaan pertamina. Kalau dia bukan bagian dari BUMN, tidak mungkin dijerat dengan UU Tindak Pidana Korupsi. Obyek KPK itu termasuk anak-anak perusahaan BUMN, seluruh Indonesia masuk,” jelasnya.

Miftah Sabri tak sabar, langsung menyambar penjelasan Wahyu Setiawan (KPU) yang menyebut lembaganya sudah melakukan ‘dengar pendapat’ para pakar hukum. Menurut Miftah, penjelasan KPU ini harus dijlentrehkan, apa benar dia minta pertimbangan hukum itu dalam konteks posisi Kiai Ma’ruf.

“Jangan-jangan konteksnya lain, tetapi (alasan baru ini) dipakai untuk melegitimasi masalah pelanggaran Kiai Ma’ruf. Jadi, jangan sampai ada pandangan, karena kalah kemudian mencari-cari masalah,” tegasnya serius.

Di akhir dialog, Refly Harun memberikan pandangannya yang lumayan tajam. Menurut Refly, ini memang masalah penting dan krusial. “Saya sendiri sebenarnya agak menyesalkan Pak Ma’ruf tidak mundur dari jabatan itu,” tegas Refly.

Mendengar ini, Indiarto Priadi pun terperanjat. “Kenapa begitu?” selanya dengan cepat.

Apa jawab Refly? “Karena begini, kalau saya baca tugas dan kewenangannya, misalnya dalam enam bulan harus melaporkan kerjanya, padahal, kita tahu jadwal dan durasi kampanye yang begitu panjang, pasti tidak ada waktu yang cukup untuk mengerjakan itu,” katanya.

“Yang kedua, ini kan wilayah syubhat, wilayah ngeri-ngeri sedap, menurut saya yang paling aman memang mundur. Tetapi itu kan dari sisi pandangan moral, etika, moral. Yang menarik adalah kita tidak bicara moralnya, tetapi konteksnya adalah permohonan yang akan diuji di Mahkamah Konstitusi, di mana kita bicara dua hal,” tambahnya.

“Pertama, apakah materi ini akan diterima oleh MK, kalau tidak diterima berarti permainan sudah selesai, tidak usah ribut lagi. Tetapi, kalau materi ini diterima MK, lanjut pada pembuktian-pembuktian, maka, akan ada adu argumentasi. Argumentasi tekstual akan terus didengungkan, begitu juga argumentasi kontekstual, sistemastis akan terus didengungkan,” tegasnya.

Menurut Refly dirinya selalu mengatakan, bahwa, MK itu tidak pernah bisa dibatasi dengan undang-undang. Bahkan, putusan MK, pertama, itu tanggal 30 Desember 2004 mengatakan, kewenangan MK itu diberikan oleh konstitusi.

“Karena itu, kewenangan MK tidak bisa dibatasi undang-undang. Dan MK pernah mengesampingkan undang-undang pasal 50 undang-undang no 24 tahun 2003. Artinya, sebagai mahkamah, tentu, level MK itu berbeda dengan Bawaslu, KPU dan DKPP. Jadi, MK itu punya kewenangan untuk mengecek konstitusional Pemilu.”

“Karena itu, ini sangat tergantung kepada paradigma para hakim MK. Paradigma apa yang mereka pakai. Kalau paradigma hitung-hitungan, 99% permohonan akan ditolak. Kalau paradigmanya TSM, itu komulatif, saya kira berart juga, karena masifnya akan menjadi perdebatan yang luar biasa.”

“Tetapi, kalau ada (gugatan) yang khas seperti ini, kemudian diterima MK sebagai argumentasi yang patut diperiksa lebih lanjut, maka, di situlah ngeri-ngeri sedap,” jelas Refly menutup penjelasannya.

Hampir seluruh narasumber tidak menolak, bahwa, ketika anak perusahaan BUMN dianggap bukan lagi BUMN, maka, risikonya menjadi swasta, dan itu berarti boleh berpolitik. Ini berbahaya.

Tak kalah menarik, TVOne juga menampilkan catatan Said Didu yang menyampaikan sejumlah bukti para pejabat di anak perusahaan BUMN yang dicopot ketika terlibat dalam politik praktis.

Beberapa kasus yang disebut Said Didu adalah pemberhentian karyawan PTPN IV karena diketahui mendukung Paslon 02 dalam unggahannya di Facebook. Padahal menurut Said Didu, PTPN IV adalah anak perusahaan dari PTPN III.

Dalam kasus ini, Said Didu juga menyesalkan sikap sejumlah pihak yang mendukung pemberhentian karyawan PTPN IV karena terbukti memberi dukungan ke Paslon Prabowo-Sandi. Sementara dalam kasus yang menimpa Maruf Amin, mereka yang mendukung pemberhentian itu justru berbalik arah.

“Saat karyawan PTPN IV (anak perusahaan BUMN PTPN III) diberhentikan oleh keputusan hakim karena memasang dukungan ke 02 di FB, kalian katakan bahwa perlakuan sikap netral BUMN di anak perusahaan BUMN juga berlaku. Saat kasus KMA muncul, kalian katakan itu (anak perusahaan) bukan BUMN. Mari berakal sehat,” tegas Said Didu. (mky,TvOne)

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry