SURABAYA – Wacana pembatasan gerak kendaraan dengan pemberlakuan Sistem Ganjil Genap (SGG) di wilayah Jawa Timur seperti Kota Surabaya dan Malang Raya mendapat respon negatif dari berbagai kalangan elemen masyarakat. Bahkan wacana tersebut dinilai sudah membuat kegaduhan di masyarakat.

Tak ayal, penolakan masyarakat pun mulai bermunculan. Salah satunya dari Perhimpunan Driver Online Indonesia (PDOI) Jawa Timur. Bahkan Daniel Lukas Rorong, Humas PDOI langsung menyebarkan petisi penolakan secara online terkait pemberlakuan SGG di Jawa Timur.

Sikap lebih tegas juga ditunjukan oleh Indonesia Traffic Watch (ITW). Edison Siahaan selaku Ketua Presidium ITW mengaku siap melakukan gugatan ke pengadilan jika wacana SGG diterapkan di Jatim dan menjadi aturan yang mengikat masyarakat pengguna jalan.

“Kalau akhirnya wacana itu diberlakukan, warga Jatim bisa melakukan class action. ITW siap melakukan pendampingan hukum. Kami sudah berpengalaman dan menang saat menggugat Pergub DKI Jakarta tentang pembatasan sepeda motor di jalan protokol. Akhirnya Mahkamah Agung membatalkan aturan tersebut,” ungkap Edison saat dikonfirmasi, Selasa (4/12/2018).

Edison menegaskan, dalam menerapkan aturan pemerintah pusat maupun daerah harus melalui kajian yang komprehesif dengan melibatkan seluruh stakeholder termasuk masyarakat sebagai pengguna jalan. Selain itu ada sejumlah aspek yang harus diperhatikan.

Karena itu dalam hal ini seharusnya, Pemprov Jatim atau Dishub Jatim memahami tiga tujuan pokok yang wajib diwujudkan sesuai dengan amanat Undang-Undang No 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

Pertama, terwujudnya pelayanan lalu lintas dan angkutan jalan yang aman, selamat, tertib, lancar (Kamseltibcar) dan terpadu dengan moda angkutan lain untuk mendorong perekonomian nasional, memajukan kesejahteraan umum, memperkukuh persatuan dan kesatuan bangsa serta mampu menjunjung tinggi martabat bangsa.

Kedua, terwujudnya etika berlalu lintas sebagai budaya bangsa. Dan Ketiga terwujudnya penegakan hukum dan kepastian hukum bagi masyarakat. “Jadi siapkan dulu transportasi umum yang nyaman, murah dan terintegrasi. Baru boleh membatasi gerak kendaraan. Kalau transportasi umumnya nyaman, saya kira masyarakat akan lebih memilih naik angkutan umum daripada kendaraan pribadi,” jelas Edison.

Menurut Edison, jika pemerintah hendak mengatasi persoalan kemacetan lalu lintas, maka pemerintah harus melakukannya mulai dari hulunya. Misalnya, dengan membatasi kendaraan bermotor. Caranya dengan melakukan moratorium kepemilikan kendaraan bermotor.

“Pemerintah bisa melarang warga membeli mobil baru sampai 5 tahun ke depan. Atau dengan menaikkan pajak kendaraan bermotor baru dua kali lipat. Tapi ini juga seperti buah simalakama karena sumber utama PAD berasal dari pajak PKB dan BBNKB,” dalihnya.

Cukap Pakai Perda

Selain itu, kata jurnalis senior ini pemerintah bisa juga membatasi kendaraan bermotor dengan mengeluarkan Perda yang mewajibkan pemilik mobil memiliki garasi. Dengan begitu akan lebih selektif bagi warga yang ingin memiliki mobil.

“Jadi lebih tepat itu membatasi jumlah kendaraan bermotor dari pada membatasi gerak kendaraan bermotor. Kalau gerak kendaraan dibatasi itu tidak adil, sebab mereka bayar pajak kendaraan bermotor kepada negara. Sehingga seharusnya mereka mendapatkan fasilitas jalan yang layak,” pungkas Edison.

Sebagaimana diketahui bersama, Dishub Jatim bersama ake holder terkait baru saja menggelar workshop erkait rencana pemberlakuan kebijakan ganjil genap nomor kendaraan bermotor di Jatim sebagai tindaklanjut intruksi Kemenhub untuk mengatasi kemacetan lalu lintas di kota-kota besar di Indonesia.

“Berdasarkan hasil kajian dan workshop kota yang sudah cukup mendesak untuk diberlakukan sistem ganjil genap adalah Kota Surabaya dan Malang Raya. Tapi ini masih sekedar wacana sebab penerapannya masih membutuhkan kajian yang lebih mendalam dan tidak mudah seperti membalik tangan,” kata Fattah Jasin Kadishub Jatim. (ud)

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry