Oleh Aguk Irawan MN*

FAKTA dan analisa adalah dua hal yang tak terpisahkan, meski terkadang dalam satu fakta ada dua analisa, atau bahkan lebih. Masing-masing analisa mengandung kebenaran subyektif, kebenaran etis, kebenaran logika dan bisa juga kebenaran prosedural, tergantung sudut pandangnya, ada di posisi mana, apa dan bagaimana?

Bicara konsepsi kebenaran dalam analisa, saya jadi teringat “pecahan cermin” milik Jalaluddin Rumi yang menurut saya sangat elegan dalam menjelaskan konsep kebenaran yang berbeda-beda. Menurut Rumi, kebenaran itu ibarat cermin yang terjatuh hingga pecah berkeping-keping. Kemudian tiap-tiap kita memungut satu pecahan yang berbeda-beda bentuknya dan menyangkanya sebagai kebenaran satu-satunya.

Padahal, setiap pecahan cermin itu merefleksikan satu kebenaran yang parsial. Karena masing-masing kita hanya memegang satu pecahan. Maka dari situ lahirlah apa yang disebut truth claim. Namun seiring usia peradaban manusia yang semakin senja, ada meja akademik yang menghargai ragam kebenaran. Begitu juga dalam warisan intelektual muslim, setiap turots atau kitab kuning yang mengandung ajaran kebenaran selalu diakhiri dengan frasa atau kalimat wallahu a’lam bis shawab. Hanya Tuhan pemilik kebenaran sejati. Otomatis seluruh pandangan manusia, bisa jatuh pada subjektifitas parsial.

Artikel penulis berjudul ‘Ada Kursi Roda Bertarif dari Petugas dan Tagline Rumah Lansia-Disabilitas,’ (duta.co, 14 Juni 2024), dinilai sebagai reportase ‘fitnah’. Jubir Kemenag RI, Anna Hasbie mengatakan, “Tulisan Aguk terkait komersialisasi kursi roda jelas fitnah. Itu menciderai perasaan ribuan petugas haji yang secara tulus melayani jemaah.”

Tentu, pertama, patut dipertanyakan adalah sumber kata komersialisasi itu dari mana? Karena judul opini-investigasi itu adalah “ada kursi roda bertarif..” Sekali lagi, ada, bukan berarti semuanya. Apalagi sampai komersialisasi terukur. Tampaknya, komentar Anna itu disandarkan pada berita yang mencuplik isi opini saya, lalu memberinya judul komersialiasai diambil dari penulis reportase saudara Ismail, di kabarcirebon.com dan, ini jelas, bukan dari saya.

Kedua, fenomena ada kursi roda bertarif dari petugas, itu dianggap telah menciderai petugas. Sampai di sini sungguh membuat penulis, bingung. Kenapa dianggap menciderai? Bukankah petugas mendorong lansia perbuatan yang amat mulia? Karena pada faktanya jamaah lansia secara psikis lebih nyaman didorong saudaranya sendiri sesama bangsa dan bahasa mereka, ketimbang orang lokal-Arab? Karena itu pekerjaan ini sejak dahulu — ketika penulis menjadi mahasiswa di Timur Tengah – terasa sangat membanggakan. Bahkan, saking bangganya, kita terbiasa menyebut Rado (Raja Dorong) dan Pejuang Dorong Lansia (PDL).

Dan, tidak sedikit, berawal dari kisah dorong ini mahasiswa Timur Tengah yang tadinya menjadi Rado diambil menjadi menantu cucu dari lansia itu. Karena itu saya tidak pernah ragu bahwa ada tarif jasa kursi dorong dari petugas. Karena memang faktanya demikian yang saya temui bersama tim pengawas. Bahkan, jika saudari Anne mau bertanya secara acak kepada petugas hitam-putih (khususnya temus mahasiswa), kisah itu sangat mudah didapatkan. Bahkan bukan lagi ada atau pernah, pertanyaan bisa langsung sudah berapa kali mereka mendorong lansia baik dari hotel ke masjidil haram atau dari terminal bus solawat ke masjidil haram? Karena, sekali lagi, bagi kami, yang pernah di posisi itu, sungguh merasa terhormat menjadi pendorong lansia. Ini pekerjaan mulia dan membanggakan!

Berikutnya: Kenapa dalam tulisan tersebut, penulis sedikit mempermasalahkan? Pertama, karena haji tahun ini mengusung tagline secara masif ‘Haji Ramah Lansia’, jadi ekpektasi penulis sejak tagline ini turun menyangkanya fasilitas kursi dorong untuk lansia dan difabel sudah dihandel oleh pemerintah. Karena nyatanya memindahkan kursi ekonomi ke bisnis untuk lansia dan difabel saja bisa, maka secara logika memberi pelayanan gratis kursi dorong juga jauh lebih bisa. Alasan kedua tentu saja kenaikan anggaran operasinoal penyelanggar haji tahun ini meningkat hampir dua kali lipat.

Karena itu tulisan tersebut diawali dengan apresiasi beberapa hal yang luar biasa, namun hanya menyisakan keganjalan soal masih ada praktik kursi dorong dari petugas. Namun demikian, tetap harus dihargai pandangan dan tuduhan fitnah dengan kalimat sarkasme Jubir Kemenag semacam itu, karena memang masing-masing posisi menentukan penilaian, apalagi praktik tarif dari jasa dorong jika dilakukan oleu petugas itu melanggar prosedural. Di sinilah masalahnya ketika kebenaran etis bertemu dengan pelanggaran prosedural. Sebagaimana laporan Adi Prinantyo berjudul ‘Jerat Jasa Kursi Roda Rugikan Jemaah Haji hingga Jutaan’ (Kompas, 11 Juni 2023). Ini menandakan masalah tarif jasa kursi roda masih menjadi polemik, tak terkecuali tahun ini.

Bagi saya pribadi, opini investigasi tersebut sudah sesuai nalar ilmiah. Pertama, sebagai seorang akademisi, pasti melakukan pencarian data lapangan, sehigga mendapatkan temuan. Selanjutnya, tentu tidak cukup menyandarkan diri pada data awal, tapi butuh upaya konfirmasi dan validasi, dengan mengkonfirmasi subyek pelaku. Sebagai Anggota Tim Pengawas (Timwas) Haji 2024, sangat memungkinkan untuk menemukan fakta baru di lapangan. Kebetulan saja, tugas Timwas adalah pengumpulan data dan analisa data itu sendiri.

Karena tujuan Timwas itulah — dalam artikel penulis yang dianggap ‘fitnah’ itu — dikatakan dengan tegas bahwa penulis bersama rombongan Timwas melakukan kunjungan dan pengecekan ke terminal Syib Amir, tanggal 11 Juni 2024. Itu artinya tidak mengandalkan asumsi, melainkan pengecekan lapangan. Datanya ada; obyek dan subyeknya juga ada. Kebetulan saja kesimpulannya tidak jauh berbeda dari pengalaman yang ada.

Rasanya sangat penting menjelaskan perbedaan sudut pandang antara penulis dengan saudari Anna. Karena saya bagian dari tim pengawas, di mana kita sama-sama mengemban tugas negara untuk memberi evaluasi kepada publik. Sehingga ke depan perlu ada peningkatan pelayanan. Sementara saudara Anna adalah bagian dari pelaksana tugas. Posisi pengawas dan petugas terikat secara administratif dan moril. Andaikan bisa memilih, penulis ingin bagian dari petugas di lapangan melayani jamaah lansia seperti melayani ibu kandung sendiri. Tetapi inilah jalan takdir.

Karena itu saya sadar, menjadi anggota pengawas sangat beresiko. Sebab berhadap-hadapan dengan pejuang yang sudah memberi pelayanan jauh meningkat dari tahun ke tahun, terkhusus pada tahun ini. Kiranya bisa dimaklumi dan dimaafkan ada hal-hal yang dirasa menyakitkan. Di luar itu, saya berharap semua pihak bisa menerima masukan dari tulisan tersebut sebagai kebenaran-subtantif, yaitu semoga pelayanan pada lansia dan difabal pada tahun yang akan datang bisa digratiskan.

Terakhir, Imam Ibnu Hibban meriwayatkan sebuah hadis sahih. Rasulullah saw bersabda: wa allaa akhaafu fillahi lawmata laaim. Dan aku tidak akan pernah gentar menghadapi hujatan dari siapa pun ketika menyangkut kebaikan. (Muhammad bin Ismail Al-Shan’ani, Manzhumah Bulughil Maram, hlm. 195). Wallahu’alam bishawab. (*)

*Penulis adalah pengasuh Pesantren Kreatif Baitul Kilmah Yogyakarta, Stafsus Pimpinan DPR RI bidang Kokesra dan Anggota Tim Pengawas Haji 2024.

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry