
JOMBANG | duta.co – Proses kenaikan Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP) di Jombang yang berujung pada lonjakan Pajak Bumi dan Bangunan Perkotaan dan Perdesaan (PBB-P2) hingga 400 persen, mulai menemukan titik terang. Fakta menunjukkan, semua berawal dari terbitnya Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 208/PMK.07/2018 yang mewajibkan setiap daerah melakukan pendataan ulang dengan dua skema berbeda: pendataan PBB-P2 dan Zona Nilai Tanah (ZNT).
Di Kota Santri, pendataan awal dilakukan pada 2019 dengan melibatkan konsultan PT Rayakonsult. Saat itu, hanya beberapa titik pajak yang dinaikkan sehingga dampaknya tidak terlalu terasa bagi warga. Tiga tahun kemudian, pada 2022, Pemkab melalui Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) kembali melakukan pendataan secara swakelola dengan melibatkan tiga tenaga ahli dan 50 surveyor. Hasil pendataan ini ditindaklanjuti dengan lahirnya Perda Nomor 13 Tahun 2023 serta keluarnya Perbup Nomor 188.4.4.5/106/415.10.1.3/2024 tentang PBB-P2 yang ditandatangani Pj Bupati Sugiat pada Februari 2024. Dari sinilah gejolak rakyat mulai mencuat.
Mantan tenaga ahli appraisal, Budi Prabowo, mengaku sempat dipanggil DPRD pada 2024 karena kenaikan pajak yang melonjak tajam. “Saya sempat dipanggil, namun tidak diberi ruang bicara,” ungkapnya kepada duta.co.
Senada, Ketua Badan Pembentukan Peraturan Daerah (Bapemperda) DPRD Jombang, Kartiyono, juga mengakui sejak 2024 banyak warga mengadu soal kenaikan pajak. Karena itu DPRD memanggil semua pihak terkait.
“Kalau ada yang bilang gejolak kenaikan pajak di Jombang ini karena efek Pati, saya pastikan keliru besar,” tegas Kartiyono, Kamis malam (21/8).
Dalam hearing tahun lalu, lanjut politikus PKB ini, DPRD menekankan agar Bapenda melakukan pendataan ulang dengan melibatkan perangkat desa, serta mendorong perubahan Perda 13 Tahun 2023.
“Perubahan perda itu dibahas sekitar Oktober 2024 dan baru disahkan 13 Agustus 2025 kemarin,” jelasnya. Ia menambahkan, DPRD sebenarnya sudah mendorong Pj Bupati Sugiat untuk mempercepat proses tersebut, namun masih harus menunggu evaluasi dari Kemendagri.
Saat disinggung mengapa DPRD tidak mendesak Bupati definitif, Warsubi, yang dilantik Maret 2025, untuk segera menerbitkan Perbup sebagai langkah darurat menurunkan pajak, Kartiyono beralasan situasi saat itu tidak memungkinkan.
“Setelah pelantikan ada banyak agenda masa transisi, termasuk retret kepala daerah. Jadi DPRD menunggu surat evaluasi Kemendagri. Sementara pendataan ulang yang kami minta juga masih berlangsung,” pungkasnya. (din)






































