BANTUAN: SMA I Bojonegoro, salah satu sekolah unggulan di Bojonegoro. Pemkab memberikan bantuan siswa yang tidak mampu.(duta.co/dok)
BANTUAN: SMA I Bojonegoro, salah satu sekolah unggulan di Bojonegoro. Pemkab memberikan bantuan siswa yang tidak mampu.(duta.co/dok)

BOJONEGORO |duta.co – Polemik untuk meningkatkan kualitas pendidikan tidak sepenuhnya benar bila menggunakan regulasi sekolah gratis. Bupati Bojonegoro Suyoto memiliki penilaian tersendiri dan sedang diterapkan di Kabupaten Bojonegoro.

Disisi lain, dengan sekolah gratis, menurut Kang Yoto, ada kecenderungan merugikan dunia pendidikan yaitu, peningkatan pendirian sekolah baru dan praktik bully sebagian guru kepada murid dengan alasan sekolah gratis yang membuat posisi murid menjadi lemah.

Lalu bagaimana agar semua anak Bojonegoro usia 16 – 18 tahun dapat kesempatan belajar di SLTA? Pemerintah lebih memilih bantuan langsung kepada anak-anak yang  masih bersekolah lewat Pemerintah desa.

“Tahun 2015, sebagai uji coba, bantuan kami istilahkan adalah Dana Alokasi Khusus (DAK) Pendidikan sebesar  Rp 500 ribu per siswa. Angka ini, naik menjadi Rp 2 juta per siswa di tahun 2016/2017, “ jelas Kang Yoto, sapaan akrab Suyoto.

Lewat bantuan langsung ini, anak-anak jadi punya uang untuk membayar sekolah. Di manapun sekolahnya, negeri atau swasta. Dengan melibatkan Pemdes dan masyarakat, maka anak anak mendapatkan kontrol apabila tidak sekolah. Anak anak menjadi lebih percaya diri di depan guru, karena membayar biaya pendidikan, sekolah negeri maupun swasta. Mereka akhirnya  berlomba memberikan layanan yang terbaik.

Ini juga tidak masalah bila anak sekolah ke luar Bojonegoro. Karena itu , Kang Yoto menilai, saat pengelolaan SLTA dipindah dari kabupaten dan kota ke provinsi, sekolah gratis atau membayar,  tidak lagi relevan diperbincangkan di Bojonegoro.

Kini tanggung jawab propinsi adalah, memberikan layanan pendidikan SLTA terbaik. Sementara Pemkab, bisa fokus membuat warganya mampu sekolah.

Wakil Gubernur Jawa Timur Saifullah Yusuf dalam satu kesempatan di Surabaya mengatakan, peralihan kewenangan SMA/SMK dari kabupaten/kota kepada provinsi merupakan amanah UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah. Amanah undang-undang itulah yang harus dijalankan dengan sebaik-baiknya. ’’Kami inginnya bisa gratis semua, tapi tidak memungkinkan anggarannya,’’ tuturnya.(imm)