
SURABAYA | duta.co – Penyakit demam berdarah dengue (DBD) sedang marak terjadi akhir-akhir ini.
BPJS Kesehatan Kota Surabaya sudah membayarkan klaim rumah sakit untuk pasien DBD sebesar Rp 25,3 miliar Januari hingga April 2025.
Ini bukti bahwa pasien peserta BPJS kesehatan yang terkena DBD tetap ditanggung biaya perawatannya hingga sembuh.
Kepala BPJS Kesehatan Cabang Surabaya, Hernina Agustin Arifin mengatakan BPJS Kesehatan tetap menanggung biaya pengobatan para peserta asalkan semua penyakitnya sesuai dengan indikasi medis. “Termasuk DBD, semua ditanggung hingga sembuh. Bahkan sepanjang 2024 lalu, klaim yang kami bayarkan untuk di Surabaya Raya sebesar Rp 46,9 miliar,” tuturnya.
Hernina mensinyalir rumor penyakit ini tidak ditanggung karena diagnosa medis DBD biasanya bisa dilakukan di hari ketiga atau keempat saat pasien panas tinggi. “Biasanya kalau ke rumah sakit diberi obat dulu dan disuruh pulang. Karena kalau sehari atau dua hari belum terdeteksi. Tapi kalau sudah terdeteksi dan dirawat inap, semuanya akan kami tanggung,” tuturnya.
Hernina mengakui bukan hanya DBD, ada 144 penyakit lain yang rumornya tidak dapat bisa menggunakan layanan BPJS Kesehatan di rumah sakit.
Daftar 144 penyakit itu bukan tidak ditanggung oleh BPJS Kesehatan, tetapi bisa ditangani langsung secara mandiri dan tuntas di Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) tanpa harus ke rumah sakit.
Daftar 144 penyakit itu mengacu pada Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 tentang Standar Kompetensi Dokter Indonesia. Artinya, dokter di Puskesmas dan klinik sudah memiliki kompetensi untuk menangani kasus-kasus tersebut tanpa perlu rujukan ke rumah sakit.
Jika kondisi pasien tidak membaik atau memang membutuhkan penanganan lanjutan, pasien tetap bisa mendapatkan rujukan ke Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjutan (FKRTL) seperti rumah sakit, asalkan memenuhi indikasi medis.
Dasarnya mengacu pada Standar Kompetensi Dokter Indonesia (SKDI) 2012. Berdasarkan SKDI 2012, Konsil Kedokteran Indonesia menetapkan 144 penyakit yang dapat ditangani secara mandiri dan tuntas oleh dokter layanan primer di FKTP, tanpa harus langsung ke rumah sakit.
Ditegaskan Hernina, kebijakan optimalisasi layanan di FKTP dilakukan agar peserta mendapatkan pelayanan yang cepat, dekat, dan berkualitas tanpa harus langsung ke rumah sakit.
Ini juga merupakan bagian dari strategi penguatan layanan primer yang diatur dalam regulasi standar kompetensi dokter dan kebijakan JKN.
Karena itu Hernina mengimbau masyarakat untuk tidak terpancing informasi yang tidak utuh atau keliru di media sosial. Masyarakat diminta aktif mencari informasi dari sumber resmi, seperti aplikasi Mobile JKN atau kanal komunikasi BPJS Kesehatan.
Ketua BPJS Watch Jawa Timur, Arief Supriyono, menguatkan pernyataan Hernina. Arief mengatakan, Keputusan Menteri Kesehatan Nomor HK.01.07/Menkes/1186/2022 dan Nomor HK.01.07/MENKES/1936/2022 telah mengatur standar praktik klinis dokter dalam menangani penyakit-penyakit tersebut.
“Kalau pasien merasa tidak enak badan, selama tidak dalam kondisi gawat darurat, mereka seharusnya berobat di FKTP tempat mereka terdaftar terlebih dahulu. Dan sesuai Permenkes Nomor 28 Tahun 2014, dokter di IGD-lah yang menilai apakah kondisi pasien masuk kategori kegawatdaruratan atau tidak,” jelas Arief.
Namun, ungkap Arief, layanan di FKTP kadang belum optimal, kurang disiplin dalam menegakkan layanan kesehatan. Saat pasien butuh pelayanan, dokter di FKTP kadang tidak ada di tempat, sehingga yang memberikan pelayanan hanya perawat atau bidan yang ada di klinik.
Arief juga berharap pelayanan rawat inap di FKTP dioptimalkan, karena FKTP juga bisa menerima pasien JKN yang membutuhkan rawat inap karena diare ringan, DBD ringan, atau tifus. ril/lis