“Hari ini, semua bicara Tom Lembong, mantan Menteri Perdagangan RI. Ada yang kaget Tom menjadi tersangka, ada mempertanyakan mana aliran dananya? Ada yang merasa mustahil dia korupsi. Bahkan pakar pidana menilai, Kejagung keliru menetapkan Tom Lembong sebagai tersangka. Oh ya?”
Oleh M Sholeh Basyari*
Tom Lembong sebagai country manager, nyaris tak tersentuh, powerfull dan rapi. Ini sebagian keyakinan orang. Sebab sejumlah keistimewaan melekat padanya, Lembong terbaca kurang peduli dengan karakter penguasa Jawa. kabarnya Lembong dipandang angkuh cenderung aragon. Tetapi apakah dengan demikian sang mantan penguasa Jawa itu yang “meng-order” Kejagung untuk menepikan sang country manager? Apa urgensinya?
Hari-hari ini, dalam kasus Tom, Kejaksaan Agung memang dalam tekanan hebat. Netizen, media dan tentu saja para politisi, sibuk membangun reasoning atas pengambilan alumnus Harvard university ini.
Bahkan data-data kementerian perdagangan memaparkan, bahwa, importasi yang dilakukan di-era Lembong, secara regulatif (impor gula tersebut) tak beda dengan menteri sebelum maupun sesudahnya. bahkan secara kuantitatif, impor gula era Lembong tidak sebesar sesudahnya. Ada yang menulis mantan Mendag Zulkifli Hasan, jagonya, 18 juta ton. Jadi, kenapa Lembong harus diambil?
Sebagai Country Manager
Lembong telah ‘berjasa’ memenangkan dan mengawal sepuluh tahun pemerintah SBY (Susilo Bambang Yudhoyono). Secara bersamaan Lembong juga mendampingi Jokowi waktu sebagai Gubernur DKI. Peran besar Lembong atas SBY dan Jokowi, menurut sumber-sumber telik sandi karena dia adalah semacam country manager wilayah Indonesia. Kita tahu telik sandi negara sangat berkuasa.
Nah, dengan reasoning seperti ini, pengambilan (Tom) itu terdeteksi sebagai bagian dari ‘order’ dari orde presiden terpilih. pengambilan itu tak ubahnya ‘setor kepala kepada BRICS (Brazil, Russia, India, China, South Africa) sekaligus sebagai bentuk kesungguhan Indonesia ber-mua’malah.
Portal BRICS
Informasi lain menyebut bahwa Lembong berperan sebagai portal yang mempersempit atau bahkan menutup keinginan presiden terpilih untuk membawa Indonesia menuju BRICS (koalisi bentukan dan pimpinan Rusia). Andaikan reasoning pengambilan Lembong adalah sebab ‘menghalangi’ Indonesia bermitra (bukan bergabung ) dengan BRICS, secara faktual menemukan pembenaran. posisi Lembong sebagai country manager telik sandi Sang Paman (S besar, P besar), bisa saja bermain untuk menggagalkan misi Indonesia ber-mua’malah dengan BRICS.
Lembong dan Gula-gula
Pengambilan Lembong, memang, secara argumentatif lemah. Lemahya argumen pengambilan Lembong, manakala kita hadirkan pembandingan dengan kegiatan importasi gula oleh pejabat setelahnya.
Nah, konstruksi ini menggiring kita untuk bernalar agak konspiratif untuk menakar seberapa ‘dosa’ Lembong sehingga layak diambil? Perlu merunut ketika Lembong lengser dari Kemendag 2015, sejujurnya agak susah mencari peran dan jejak Lembong dalam pergulaan. Tampaknya saat ini, Lembong tengah menghadapi gula-gula benci (plesetan dari syair lagu dangdut gula-gula cinta) akibat manisnya gula.
Lembong secara invisible hand, tidak kasat mata, kabarnya nongkrong di ho chi min dan Bangkok, untuk “mengacak-acak” program swasembada gula dan gula untuk etanol dari Menko Marves (2022-2023). Apakah seperti itu? Kita lihat nanti.
Segera Dilepas?
Terlepas dari tekanan publik, merujuk tiga reasoning pengambilan Lembong di atas (angkuh, sebagai portal BRICS dan menggagalkan program swasembada gula), kasus yang dihadapi Lembong, tampaknya ‘sepele’. Dalam konteks ini adalah semacam akibat dari ‘keusilan’ Lembong terhadap mantan presiden, presiden terpilih juga kepada Menko paling powerfull sepanjang perjalan republik ini berdiri.
Oleh karena itu, saya meyakini Lembong tak lama lagi dilepas kembali. Dilepasnya Lembong secara cepat, bisa terjadi, sebab dipandang cukup untuk sekedar memberi ‘les tambahan’ atau dengan intervensi Sang Paman. Wallahu a’lam. (*)