SURABAYA | duta.co  – Komisi B DPRD Jatim mendesak Gubernur Jatim, Soekarwo untuk menolak impor beras sebesar 500 ribu ton. Alasannya Jatim masih surplus beras bahkan di beberapa wilayah di Jatim seperti Banyuwangi dan Jember pada diakhir Januari ini memasuki panen raya.

Ketua Komisi B DPRD Jatim, Firdaus Febrianto menegaskan sejak awal Dinas Pertanian dan Diseprindag Jatim surplus beras hingga pertengahan 2018. Ini karena sejumlah wilayah di Jatim menghadapi panen raya sehingga kebijakan impor beras tidak perlu dilakukan.

Selain akan merugikan petani, niat Pemprov Jatim meningkatkan Nilai Tukar Petani (NTP) juga tidak akan terealisasi.

“Beberapa waktu lalu kami sudah sidak dibeberapa wilayah di Jatim misalnya Banyuwangi dan Jember. Kedua wilayah tersebut segera melakukan panen raya sekitar akhir Januari ini. Karena itu kami mendesak Gubernur Jatim agar menolak kebijakan pemerintah pusat yang akan mengimpor beras dari India,” ujar politisi Partai Gerindra, Senin (15/1/2018).

Menurut Firdaus, tidak ada alasan bagi Jatim untuk impor beras. Karena sesuai data yang yang ada, Jatim sebagai lumbung pangan nasional sangat mencukupi stok yang ada, bahkan melimpah. Untuk itu Komisi B akan terus memantau khususnya di pelabuhan ada tidaknya bongkar muat beras impor.

“Kalau sampai diketahui, maka kami tak segan akan mengusir kapal yang melakukan bongkar muat beras impor di wilayah Jatim,” tegasnya.

Senada, Anggota Komisi B DPRD Jatim lainnya, Subianto menambahkan sesuai data yang ada, ada sekitar 5 ribu hektar lahan pertanian yang akan panen. Atau tidak kurang ada 23 ribu ton beras yang akan dipanen pada awal tahun 2018 ini sehingga sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan beras di Jatim hingga enam bulan ke depan.

“Jadi tidak ada alasan Jatim sebagai wilayah surplus untuk dijadikan bongkar muat beras impor. Jelas ini sangat merugikan petani, karena NTP akan turun seiring gempuran beras impor. Karenanya kami menjadi garda di depan saat Jatim masuk dalam wilayah untuk impor beras,” terang politisi partai demokrat.

Pihaknya juga tidak mengerti alasan pemerintah pusat melakukan impor beras. Mengingat beberapa wilayah di Jawa dan bahkan luar Jawa seperti Sulawesi Selatan juga akan panen raya sekitar 2,6 juta ton.

Seperti diketahui,  Ombudsman melihat adanya gejala maladministrasi dalam pengelolaan data stok dan rencana impor beras 500 ribu ton yang terjadi saat ini. Berdasarkan pemantauan Ombudsman di 31 provinsi pada 10-12 Januari 2018 menangkap beberapa hal yaitu adanya keluhan pedagang, stok beras pas-pasan, tidak merata dan harga meningkat tajam sejak Desember 2017.

Ahmad Alamsyah Saragih, anggota Ombudsman RI, mengatakan ada beberapa gelaja maladministrasi yang dilihat oleh pihaknya.

“Ada enam gejala maladministrasi yaitu penyampaian informasi stok yang tidak akurat kepada publik, mengabaikan prinsip kehati-hatian, penggunaan kewenangan untuk tujuan lain, penyalahgunaan kewenangan, prosedur tak patut atau pembiaran, dan konflik kepentingan,” ujarnya.

Pertama, penyampaian informasi stok yang tidak akurat kepada publik. Dia mengatakan Kementerian Pertanian selalu menyatakan bahwa produksi beras surplus dan stok cukup, hanya berdasarkan perkiraan luas panen dan produksi gabah tanpa disertai jumlah dan sebaran stok beras secara riil.

Adapun gejala kenaikan harga sejak akhir tahun, tanpa temuan penimbunan dalam jumlah besar, mengindikasikan kemungkinan proses mark up data produksi dalam model perhitungan yang digunakan selama ini. “Akibat pernyataan surplus yang tidak didukung data akurat tentang jumlah dan sebaran stok beras yang sesungguhnya di masyarakat, pengambilan keputusan berpotensi keliru,” imbuhnya.

Terpisah, Wagub Jatim Saifullah Yusuf ketika dikonfirmasi terkait melonjaknya harga besar di sejumlah daerah di Jatim mengaku kaget karena berdasarkan data stok beras Jatim masih melimpah.

“Kalau begitu besok saya akan sidak langsung ke sejumlah pasar besar yang ada di Surabaya,” pungkas Gus Ipul. (ud))
Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry