Wakil Sekjen PBNU Imam Pituduh . (FT/SUUD)

SURABAYA | duta.co – Desakan sejumlah elemen Nahdlatul Ulama (NU) supaya calon wakil Presiden KH Ma’ruf Amin mundur dari rais Aam PBNU agar khittah NU tidak ternoda, nampaknya sulit terwujud. Pasalnya, selama ini tidak ada aturan organisasi NU mengenai hal itu.

Pertimbangan lainnya, dalam sejarah NU tidak pernah ada pergantian rais aam PBNU kecuali memang yang bersangkutan berhalangan tetap (meninggal dunia). Ini terjadi lantaran rais aam adalah jabatan tertinggi dan terhormat. Sehingga tak seorang pun di struktural NU yang berani mengusik.

“Tradisi penghormatan itu berjalan sampai saat ini. Rais aam ini sakral. Sehingga tak mungkin orang berani mendesak untuk mundur. Lain lagi kalau memang Kiai Ma’ruf yang menginginkan mundur,” ujar Wakil Sekjen PBNU Imam Pituduh di sela acara Work Shop Pengelolaan Sumber Daya Air di Surabaya, Selasa (14/8/2018).

Kendati demikian, lanjut Imam pembahasan mengenai posisi Kiai Ma’ruf di PBNU tersebut masih berjalan. Tetapi, sejauhmana proses itu berlangsung, pihaknya tidak bisa memastikan. Sebab, di luar persoalan posisi Kiai Ma’ruf ada hal yang lebih utama, yakni menyelamatkan bangsa Indonesia.

“Di NU ada istilah mendahulukan yang terpenting dari yang penting. Dan itu (terpenting) adalah keselamatan bangsa ini. NU wajib berfikir komperhensif. Sebab, hari ini Indonesia mengalami krisis. Indonesia dalam ancaman dalam dan luar negeri. Karena itu, sosok Kiai Ma’ruf harus tampil,” tegas Imam Pituduh.

Imam mengakui jika NU bukanlah partai politik. Sehingga NU sebagai lembaga tidak mungkin berpolitik. Tetapi, sebagai jamaah, NU adalah kekuatan politik. Maka, keputusan PBNU, sebagai jamaah wajib hukumnya mendukung Kiai Ma’ruf Amin.

Ditambahkan Imam, apa yang dilakukan PBNU bersama Kiai Ma’ruf saat ini adalah dalam rangka membangun narasi kebangsaan. Bukan narasi politik atau kekuasaan  Semua itu dilakukan karena PBNU menilai Indonesia dalam bahaya besar.

Elit NU Harus Sadar Makin Jauh dengan Umatnya

Terpisah, pengamat politik dari Universitas Trunojoyo Madura (UTM), Surokim Abdussalam menilai NU adalah ormas yang lebih fokus bergerak di level kultural untuk menjaga khittah. Sebaliknya jika NU sudah masuk dalam politik praktis tentu hal itu sangat riskan karena akan menimbulkan gap yang semakin lebar antara elit dan grassroot NU.

Karena itu, kata Dekan FISIP UTM jika pemicu friksi NU adalah majunya rais aam PBNU KH Ma’ruf Amin sebagai Bacawapres, maka sudah sepatutnya personal KH Ma’ruf Amin memunculkan wisdom akibat salah satu kakinya saat ini sudah berada di ranah politik praktis dan satu kaki lainnya ada di PBNU.

“Sudah sepatutnya KH Ma’ruf Amin bisa menjaga perasaan dan memunculkan wisdom agar tidak menimbulkan persoalan yang berkepanjangan. Elit NU maupun PKB harus sadar telah memunculkan pemisahan dengan grassroot,” ujar Surokim Abdussalam.

Bagaimana jika elit NU ngotot dan tak mau memunculkan wisdom karena memilih lebih menuruti desakan kepentingan politik sehingga tetap berusaha di dua kaki? Dengan lugas Surokim mengatakan respon negatif dari warga NU yang ada di grassroot akan semakin besar sebab grassroot NU itu semakin cerdas.

“Kalau bertahan dengan logika elit, maka gap antara elit dengan grassroot NU akan semakin lebar. Padahal harusnya gap itu harus dipersempit. Tapi saya masih yakin orang sekelas KH Ma’ruf Amin tak akan rela jika marwah NU dipersempit hanya karena kepentingan politik sesaat” tegas Surokim.

Menurutnya, jika KH Ma’ruf Amin dengan elegan mundur dari jabatan rais aam paska ditetapkan sebagai Cawapres berpasangan dengan Capres Jokowi, maka saat masuk ke politik praktis juga tidak perlu merasa kehilangan apa-apa. “Tapi kalau sebaliknya mempertahankan jabatan rais aam maka publik akan mempersepsikan bahwa NU dikelola tak ubahnya partai politik,” tegas Surokim.

Kepatutan dan kelayakan mengundurkan diri dari rais aam itu sejatinya tak perlu menunggu adanya desakan atau menunggu ditetapkan sebagai Cawapres. “KH Ma’ruf Amin dalam dilema tekanan parpol dalam kepentingan elektoral yang justru akan semakin menjauhkan elit NU dengan grassroot. NU bisa mengecilkan diri dengan sendirinya dan logika keumatan main jauh sebab di draf kepentingan politik,” imbuhnya.

Surokim juga kurang sepakat dengan narasi yang coba dibangun oleh elit-elit NU bahwa majunya rais aam PBNU sebagai Cawapres adalah demi membangun narasi kebangsaan, sejatinya bernuansa politis dan pembenaran narasi elitis yang kasat mata.

“Khittah NU sudah disepakati dan harus dijunjung tinggi agar NU bermartabat. Sehingga narasi yang dibangun harusnya narasi pendahulunya yang didahulukan. Bukan politik distrubtion yang cenderung memaksakan preverensi politik dan berlawanan dengan persuasi publik. Narasi yang dibangun elit dengan grassroot NU semakin terbelah dan yang bisa menyelamatkan adalah para elit NU sendiri,”  pungkas Surokim Abdussalam. (ud)

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry