“Umat Islam semakin paham perihal perbedaan hari raya Idul Fitri maupun Idul Adha. Mereka memiliki dasar sendiri-sendiri. Begitu juga tata cara shalat Id, apakah di lapangan atau di Masjid, semua memiliki dalil tersendiri.”

TAHUN ini (1446 H/2025M), pemerintah menetapkan hari raya Idul Fitri, Senin 31 Maret 2025. Tidak ada perbedaan antara organisasi besar keagamaan Islam di Indonesia. Tetapi, ada juga yang berlebaran sebelumnya, bahkan, ada yang ber-Idul Fitri ketika hilal sudah mencapai 9 derajat. Tidak masalah. Semua menggunakan hujjah.

Redaksi duta.co memperoleh pertanyaan: Di mana kita salat Id, lapangan atau Masjid? Berikut penjelasan KH Cholil Nafis yang sudah diunggah jatim.nu.or.id dua tahun lalu, dan ini juga berdasarkan hujjah:

Salah satu ibadah yang dianjurkan saat memasuki 1 Syawal adalah melaksanakan shalat Id. Hukum shalat Idul Fitri maupun Idul Adha adalah sunah muakkadah atau sangat dianjurkan tetapi tidak wajib. Meskipun ibadah sunah muakkadah, Rasulullah SAW tidak pernah meninggalkannya setiap tahun dua kali.

Imam As-Syaukani berkata: Ketahuilah bahwasanya Nabi SAW terus-menerus mengerjakan dua shalat Id ini dan tidak pernah meninggalkannya satu pun dari beberapa Id. Nabi memerintahkan umatnya untuk keluar padanya, hingga menyuruh wanita, gadis-gadis pingitan dan wanita yang haid. Beliau menyuruh wanita-wanita yang haid agar menjauhi shalat dan menyaksikan kebaikan serta panggilan kaum muslimin. Bahkan beliau menyuruh wanita yang tidak mempunyai jilbab agar saudaranya meminjamkan jilbabnya.

Shalat Id tidak disyaratkan harus dilaksanakan di masjid. Bahkan menurut pendapat Imam Malik shalat Id juga baik dilaksanakan di lapangan terbuka. Karena Nabi Muhammad SAW juga melakukan shalat Id di lapangan kecuali karena ada hujan atau penghalang lainnya. Adapun perbedaan di antara tanah lapang dengan masjid bahwa tanah lapang berada di tempat terbuka, sedangkan masjid berada di dalam sebuah tempat (bangunan) yang tertutup.

عَنْ أَبِي سَعِيْدِ الْخُدْرِي رضي الله عنه قَالَ: كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم يَخْرُجُ يَوْمَ الْفِطْرِ وَ اْلأَضْحَى إِلَى الْمُصَلَّى. فَأَوَّلُ شَيْئٍ يَبْدَأُ بِهِ الصَّلاَة، ثُمَّ يَنْصَرِفُ فَيَقُوْمُ مُقَابِلَ النَّاسِ، وَ النَّاسُ جُلُوْسٌ عَلَى صُفُوْفِهِمْ، فَيَعِظُهُمْ وَ يُوْصِيْهِمْ وَ يَأْمُرُهُمْ. فَإِنْ كَانَ يُرِيْدُ أَنْ يَقْطَعَ بَعْثًا قَطَعَهُ، أَوْ يَأْمُرُ بِشَيْئٍ أَمَرَ بِهِ ثُمَّ يَنْصَرِفُ

Artinya: Dari Abi Sa’id Al-Khudri RA, ia berkata: Rasulullah SAW biasa keluar menuju mushalla (tanah lapang/lapangan) pada hari Idul Fitri dan Adha. Hal pertama yang beliau lakukan adalah shalat. Kemudian beliau berpaling menghadap manusia, di mana mereka dalam keadaan duduk di shaf-shaf mereka. Beliau memberi pelajaran, wasiat, dan perintah. Jika beliau ingin mengutus satu utusan, maka (beliau) memutuskannya. Atau bila beliau ingin memerintahkan sesuatu, maka beliau memerintahkannya dan kemudian berpaling …. (HR Bukhari 2/259-260, Muslim 3/20, Nasa`i 1/234; )

Mengerjakan shalat Id di mushalla (tanah lapang) adalah sunah, kerana dahulu Nabi SAW keluar ke tanah lapang dan meninggalkan masjidnya, yaitu Masjid Nabawi yang lebih utama dari masjid lainnya. Dan, saat itu, masjid Nabawi belum mengalami perluasan seperti sekarang ini. Sehingga tidak mungkin dilakukan di Masjid. Namun demikian, menunaikan shalat Id di masjid tetap lebih utama. Mengapa?

Imam As-Syafi’i bahkan menyatakan sekiranya masjid tersebut mampu menampung seluruh penduduk di daerah tersebut, maka mereka tidak perlu lagi pergi ke tanah lapang (untuk mengerjakan shalat Id) karena shalat Id di masjid lebih utama. Akan tetapi jika tidak dapat menampung seluruh penduduk, maka tidak dianjurkan melakukan shalat Id di dalam masjid. Dari sini, yang terpenting adalah menampung jamaah.

أَنَّهُ إِذَا كاَنَ مَسْجِدُ البَلَدِ وَاسِعاً صَلُّوْا فِيْهِ وَلاَ يَخْرُجُوْنَ…. فَإِذَا حَصَلَ ذَالِكَ فَالمَسْجِدُ أَفْضَلُ

Artinya: (sesungguhnya shalat Id) Jika masjid di suatu daerah luas (dapat menampung jamaah) maka sebaiknya shalat di masjid dan tidak perlu keluar…. karena shalat di masjid lebih utama.

Dari fatwa Imam as-Syafi’i ini, Al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqalani telah membuat kesimpulan seperti berikut: Dari sini dapat disimpulkan, bahwa permasalahan ini sangat bergantung kepada luas atau sempitnya sesuatu tempat, karena diharapkan pada hari raya itu seluruh masyarakat dapat berkumpul di suatu tempat. Oleh kerana itu, jika faktor hukumnya (’illatul hukm) adalah agar masyarakat berkumpul (ijtima’), maka shalat Id dapat dilakukan di dalam masjid, maka melakukan shalat Id di dalam masjid lebih utama daripada di tanah lapang. (Al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqalani, Fathul Baari, jilid 5, halaman: 283)

Sebenarnya, melaksanakan shalat Id hukumnya sunah, baik di masjid maupun di lapangan. Akan tetapi melaksanakannya di lapangan maupun di masjid tidak menentukan yang lebih afdhal. Shalat di lapangan akan lebih afdhal jika masjid tidak mampu menampung jamaah. Akan tetapi menyelenggarakan shalat Id di masjid (LEBIH UTAMA) jika masjid (termasuk serambi dan halamannya) mampu menampung jamaah.

Sekali lagi, fokus utama dalam hukum shalat Id ini adalah dapat berkumpulnya masyarakat untuk menyatakan kemenangan, kebahagiaan dan kebersamaan. Di antara hikmah berkumpulnya kaum muslimin di satu tempat adalah untuk menampakkan kemenangan kaum muslimin; untuk menguatkan keimanan dan memantapkan keyakinan; untuk menyatakan fenomena kegembiraan pada hari raya; untuk menyatakan salah satu bentuk rasa syukur kepada Allah SWT. (sumber jatim.nu.or.id).

 

 

Bagaimana reaksi anda?
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry