Oleh Hananto Widodo*

HUKUM merupakan kristalisasi dari berbagai kepentingan, baik itu kepentingan politik maupun kepentingan lainnya. Hukum sebagai kristalisasi dari beberapa kepentingan benar-benar tercermin dalam sidang paripurna DPR ketika memutus apakah Perppu Ormas ditolak atau diterima untuk menjadi UU. Proses politik dalam penentuan suatu Perppu ditolak atau diterima menjadi UU merupakan kewenangan konstitusional DPR. Oleh karena itu, keputusan DPR dalam menerima Perpu Ormas untuk menjadi UU tidak dapat disalahkan dari segi hukum. Namun demikian, keputusan DPR yang menerima Perppu Ormas menjadi UU bukan berarti tidak bisa dipersoalkan secara substantif.

Isu sentral penolakan Perppu Ormas oleh Gerindra, PKS dan PAN adalah terkait dengan hilangnya peran pengadilan dalam memutus suatu pembubaran Ormas. Mereka beranggapan hanya pengadilan yang berhak untuk membubarkan suatu Ormas. Argumentasi mereka tentu dengan menggunakan perspektif bahwa kebebasan berserikat dan berkumpul merupakan hak warga negara yang dijamin oleh Konstitusi, sehingga hanya pengadilan yang memiliki hak untuk menentukan apakah suatu ormas itu melanggar hukum.

Argumentasi mereka tentu dapat dibenarkan tetapi bukan berarti mekanisme pembubaran Ormas yang telah diatur dalam UU No. 17 Tahun 2013 yang telah diubah dengan Perppu No. 2 Tahun 2017 lebih baik daripada Perppu No. 2 Tahun 2017. UU No. 17 Tahun 2013 memang mengharuskan adanya peran pengadilan dalam memutus pembubaran suatu Ormas. Namun demikian yang harus diingat bahwa dalam UU tersebut juga melibatkan peran pemerintah dalam memutus pembubaran suatu Ormas. Peran pemerintah tersebut nampak dalam kewenangan pemerintah dalam memberikan surat peringatan pertama, kedua dan ketiga sebelum diserahkan kepada pengadilan untuk membubarkan Ormas yang dianggap melanggar UU tersebut.

Mekanisme pembubaran Ormas yang diatur dalam UU No. 17 Tahun 2013 telah menampakkan ketidak konsistenan dalam alur pembubaran suatu Ormas yang logis. Bagaimana mungkin kewenangan dalam memutus suatu Ormas ada di tangan pengadilan, tetapi di satu sisi pemerintah juga memiliki peran dalam memberikan peringatan tertulis terhadap Ormas yang dianggap melanggar hukum. Proses pemberian peringatan tertulis oleh pemerintah merupakan suatu rangkaian dalam alur penegakan hukum administrasi. Penegakan hukum administrasi ditegakkan oleh pejabat administrasi tanpa melalui proses peradilan. Penegakan hukum administrasi berupa pemberian sanksi administrasi oleh pejabat administrasi. Pemberian sanksi administrasi antara lain dalam bentuk pencabutan suatu keputusan tata usaha negara (KTUN).

KTUN adalah keputusan yang dikeluarkan oleh pejabat administrasi dan membawa akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata adalah KTUN. Yusril pernah berpendapat bahwa asas contrarius actus sebagai dasar terbitnya Perppu Ormas adalah salah. Asas contrarius actus yang berarti bahwa karena pemerintah yang mengeluarkan status badan hukum maka pemerintah yang berwenang untuk mencabut status badan hukum tersebut dianggap keliru secara konsep. Yusril memaknai bahwa asas contrarius actus dalam pencabutan suatu keputusan hanya boleh dalam hal izin. Pendapat Yusril ini telah mereduksi makna dari KTUN, karena KTUN bukan hanya izin.

Mau tidak mau harus diakui bahwa mekanisme pembubaran Ormas yang diatur dalam Perppu No. 2 Tahun 2017 lebih baik ketimbang mekanisme pembubaran Ormas yang diatur dalam UU No. 17 Tahun 2013. Pencabutan status badan hukum suatu Ormas oleh pemerintah bukan merupakan hal yang melanggar prinsip negara hukum dan demokrasi. Suatu keputusan pemerintah dapat dianggap melanggar prinsip negara hukum dan demokrasi jika keputusan pemerintah tersebut tidak bisa dikoreksi oleh badan peradilan yang independen dan imparsial. Sebagaimana diketahui ada mekanisme bagi rakyat untuk menggugat keputusan pemerintah yang dianggap merugikan mereka melalui peradilan tata usaha negara. Dengan demikian, anggapan bahwa  kewenangan pemerintah untuk melakukan pencabutan badan hukum suatu Ormas tanpa melalui proses peradilan telah melanggar prinsip negara hukum dan demokrasi adalah anggapan yang keliru.

Namun bukan berarti pendapat yang mengatakan bahwa mekanisme pembubaran Ormas harus melalui proses peradilan adalah keliru. Selama mekanisme pembubaran Ormas tidak kembali pada mekanisme sebagaimana diatur dalam UU No.17 Tahun 2013. Artinya jika ingin agar pengadilan yang berwenang memutus pembubaran Ormas maka peran pemerintah dalam menberikan peringatan tertulis dihapus. Sehingga kewenangan dalam memutus pembubaran suatu Ormas hanya ada di tangan pengadilan. Lebih baik peran pemerintah dalam pembubaran suatu Ormas dibatasi hanya pada pemberian posisi pemerintah sebagai legal standing dalam melakukan gugatan terhadap Ormas yang diduga melanggar hukum ke pengadilan.

Dengan demikian, paling tidak ada dua pilihan mekanisme dalam pembubaran suatu Ormas. Mekanisme pembubaran Ormas oleh pemerintah dengan mendasarkan pada asas contrarius actus dan mekanisme pembubaran Ormas melalui pengadilan. Jika ada yang menganggap bahwa pembubaran Ormas melalui proses pengadilan adalah yang terbaik maka harus dibentuk pengadilan ad hoc yang khusus bertugas untuk menangani proses pembubaran Ormas dan putusan pengadilan tersebut bersifat final dan mengikat.

  *Dosen Hukum Tata Negara dan Ketua Pusat Studi dan Layanan Hukum Universitas Negeri Surabaya

             

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry