KERAP KRITIK PEDAS: Amien Rais meminta Jokowi tidak kembali ‘nyapres’ di Pilpres 2019. (ist)

JAKARTA | duta.co – Amien Rais kerap ‘menembak’ Presiden Joko Widodo dengan kata-kata pedas. Politisi gaek ini memang pandai beretorika. Mulai menyebut Jokowi dkk kecebong, asing dan aseng, pengibulan bagi-bagi sertifikat tanah, partai setan, dan terbaru memelesetkan nawacita menjadi nawasengsara.

Kepala Staf Presiden Moeldoko mempertanyakan pernyataan mantan Ketua MPR Amien Rais yang menyebut nawacita pemerintahan Presiden Joko Widodo telah berubah menjadi nawasengsara.  “Saya enggak ngerti apa yang dimaksud Pak Amien Rais,” kata Moeldoko di kantornya, Jumat (27/4).

Mantan Panglima TNI asal Kertosono, Nganjuk, itu memang terus ‘pasang badan’ menghadapi serangan-serangan lawan politik Jokowi.  Dia mengatakan harus maju jika Jokowi diganggu. “Kalau dia (Jokowi), saya harus maju,” katanya dalam wawancara dengan televisi swasta belum lama ini, menanggapi tantangan isu SARA tahun politik.

Setelah itu, Moeldoko juga pasang badan atas serangan lawan politik Jokowi yang dianggapnya mempolitisir Perpres 20/2018 soal Penggunaan Tenaga Kerja Asing (TKA).  “Yang terjadi di lapangan adalah seolah-olah semua Tenaga Kerja Asing berasal dari China. Ini sungguh berita yang menyesatkan,” kata Moeldoko dalam jumpa pers di Bina Graha Kantor Staf Presiden, Jakarta, Selasa (24/4) seperti dikutip dari situs KSP.

Moeldoko menegaskan tidak benar TKA asing menggeser tenaga kerja Indonesia. “Buktinya malah terjadi penurunan jumlah TKA di Indonesia,” kata Moeldoko yang juga menyatakan bahwa tenaga kerja Indonesia pun membanjiri pasar internasional.

Kini, Moeldoko kembali maju membela Jokowi atas serangan Amien Rais. Sebelumnya, pendiri Partai Amanat Nasional (PAN) ini memang melontarkan pernyataan Nawasengsara. Dia mengacu banyak program nawacita yang belum terealisasi hingga kini, seperti janji menurunkan dolar menjadi Rp10 ribu dan persoalan tenaga kerja asing di Indonesia.

Minta Jokowi Tak ‘Nyapres’

Amien berharap Jokowi tak lagi maju dalam Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019 dan diharapkan legowo memberi kesempatan bagi orang lain memimpin demi kebaikan demokrasi.

Moeldoko pun tak menanggapi lebih lanjut mengenai ‘Nawasengsara’. Namun, ia sempat tertawa ketika ditanya tentang kemungkinan mengajak Amien Rais bertemu dan berdialog bersama. “Iya nanti,” tutur mantan Panglima TNI ini.

Amien kerap mengkritik berbagai kebijakan Jokowi dan partai pendukung pemerintah. Di antaranya, menyebut pembagian sertifikat oleh Jokowi sebagai ‘pengibulan’, dan menilai Jokowi otoriter. Tokoh Reformasi 98 ini juga menyerukan gerakan ganti presiden, dan melontarkan dikotomi ‘partai setan-partai Allah’.

Namun demikian, Amien mengaku tetap ingin membuka komunikasi dengan Jokowi. Ia yakin pertemuan dengan Jokowi bisa mencairkan situasi. “Di dalam ilmu politik [yang] benar, tokoh-tokoh enggak boleh tidak ada komunikasi, penting sekali. Bahwa nanti ada komitmen atau tidak, saya perlu open communication,” ucapnya, saat ditanya soal keinginannya untuk berkomunikasi dengan Jokowi, di Jakarta, Kamis (19/4).

Jauh sebelum ini, Amien juga menggulirkan istilah kecebong untuk menyebut Jokowi dan kawan-kawan. juga, asing dan aseng (yang mengacu kepada China). “Para kecebong itu biarkan mendekuk, kucing tetap mengeong, anjing menggonggong, tapi khafilah terus berlalu,” tambah mantan Ketua MPR itu saat memberi sambutan di hadapan peserta reuni 212  di Monas, Jakarta Pusat, Sabtu (2/12/2017).

Politikus senior itu pun membacakan hasil teks Kongres Nasional 212 yang digelar dua hari sebelum reuni 212. Amien menjelaskan soal jihad bagi umat Islam. “Kewajiban kita memang rukun keenam tidak ada jihad, tapi ada benang merahnya di Al Quran untuk berjihad,” tuturnya.

Lalu Amien menyampaikan pesan kepada Presiden Jokowi. Dia mengatakan bila Reuni 212 dilarang, itu disebutnya berarti keterlaluan. “Jadi ke Pak Jokowi, jangan jual negeri ini kepada asing dan aseng,” tutup Amien saat itu.

Amien: Saling Sindir Wajar

Amien Rais sendiri mengatakan, saling sindir dalam masa kampanye dan pemilu sudah terjadi dari tahun 1955. Di pemilu tahun 1955 itu, Amien Rais menyebut saling sindir terjadi di empat besar partai politik kala itu yaitu Masyumi, PKI, PNI dan NU.

“Saya sudah mengalami Pemilu sejak tahun 1955. Saat itu umur saya 11 tahun, sudah kelas 6 SD. Saya melihat bagaimana waktu itu partai-partai itu kadang-kadang ketika kampanye saling sindir dan maksimum saling ejek, terutama Masyumi dengan PKI waktu itu. Waktu itu ada empat partai besar, PNI, Masyumi, NU, dan PKI,” ujar Amien Rais, Jumat (27/4).

Amien Rais menjelaskan, meskipun saling sindir dilakukan oleh partai politik tetapi dinamikanya masih wajar. Amien juga menuturkan, bahwa saling sindir yang dilakukan oleh partai politik tak pernah berujung dengan aksi fisik.

“Tapi lihat tidak ada cerita waktu itu bentrok fisik. Indah sekali. Tidak pernah ada ‘jotosan’. Itu pengalaman kita sebagai bangsa berdemokrasi,” urai Ketua Dewan Kehormatan PAN ini.

Amien Rais menjabarkan, setelah Pemilu tahun 1955 yaitu di Pemilu 1959 justru terjadi penipisan demokrasi. Saat itu Bung Karno menerapkan sistem Demokrasi terpimpin. Kondisi serupa juga terjadi pada era Orde Baru. Demokrasi dianggap Amien Rais tidak memiliki oposisi dan cenderung seperti kerajaan.

Amien Rais menambahkan, usia reformasi pada tahun 1998, Indonesia memasuki masa demokrasi yang sejati. Demokrasi, lanjut Amien Rais, yang tanpa embel-embel.

“Alhamdulillah seusai reformasi, kita menikmati demokrasi tanpa embel-embel. Demokrasi titik. Memang ada ekses kadang-kadang tapi 98 persen saya kira aman, yang dua persen itu kadang-kadang membuat gambaran kurang bagus. Tapi intinya sudah berdemokrasi,” tutup Amien Rais.

“Tidak Gabung Koalisi Jokosi, Titik!”

Berkaitan dengan Pilpres 2019, Amien Rais juga tak kalah pedas bicara. Amien memastikan partainya tidak bergabung dengan koalisi Joko Widodo pada Pilpres 2019. PAN akan mendukung Ketua Umum Gerindra Prabowo Subianto. “Read my lips ya, kata orang Amerika. Jadi tidak mungkin PAN ke Jokowi, titik!” tegas Amien di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (26/4).

Amien tak peduli Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan belum tegas memutuskan posisi politik partai. Ia berani bicara karena mengklaim lebih tahu keinginan rakyat maupun kader. “No, no! Saya lebih tahu dari Pak Zul, maaf. Karena saya mendirikan,  saya keliling ke mana-mana. Umat PAN di bawah emoh dengan Jokowi, titik. Pak Zul bermanuver itu hanya sandiwara saja ya,” beber mantan Ketua MPR itu.

Zulkifli Hormati Amien Rais

Zulkifli Hasan sendiri akan menghormati setiap ucapan Ketua Dewan Kehormatan PAN Amien Rais terkait keinginan partai yang tidak akan mendukung Jokowi maju sebagai Capres 2019. Ucapan itu, kata Zulkifli, akan dipertimbangkan oleh pengurus PAN.

“Pak Amien itu kan tokoh senior memang orang khusus, dari dulu seperti itu, ndak apa apa, sebagai Ketua Dewan Kehormatan tentu masukan pendapat Pak Amien menjadi pertimbangan penting untuk Partai Amanat Nasional untuk mengambil keputusan,” kata Zulkifli di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta, Jumat (27/4).

Zulkifli menjelaskan, keputusan arah dukungan akan ditentukan dalam Rapat Kerja Nasional (Rakernas) PAN akhir Mei mendatang. Selama belum ada keputusan Rakernas, tambahnya, masih boleh ada perbedaan pandangan di internal PAN.

“Tentu kalau ada keputusan nanti yang berubah beda, ada mekanisme partai, kita harus Rakernas lagi, nah Rakernas bagaimana hasilnya? Tunggu tanggal mainnya, apa pun keputusannya, mekanisme Rakernas partai itu tentu akan dipatuhi oleh semua kader. Sebelum itu, bisa saja berbeda-beda,” ungkapnya.

Namun, dia membantah bersandiwara seperti sebutan Amien Rais. “Memang beda cara, Saudara-Saudara. Saya masih ketua MPR, tentu harus merangkul, menjait merah putih, memperkuat persatuan,” kata Zulkifli sembari menyatakan, dia memiliki tanggung jawab merangkul semua pihak. Baik itu pendukung pemerintah maupun oposisi. hud, lip, meo

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry