
JOMBANG | duta.co – Di tengah gejolak kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan Perkotaan dan Pedesaan (PBB-P2) yang membuat rakyat mengeluh, kini warga Kota Santri kembali dihebohkan dengan kabar naiknya tunjangan bagi pimpinan dan anggota DPRD Jombang.
Isu ini mencuat setelah terbitnya Peraturan Bupati (Perbup) Nomor 66 Tahun 2024 tentang Hak Keuangan dan Administratif Pimpinan dan Anggota DPRD, yang ditandatangani Pj Bupati Teguh Narutomo pada 17 Desember 2024 dan diperlakukan pada tahun 2025 bulan Januari.
Seperti berita sebelumnya, duta.co mencoba menilik kembali kinerja dan produktivitas DPRD Jombang, tepat setahun setelah mereka dilantik, di tengah polemik kenaikan tunjangan yang menuai sorotan publik.
Ketua DPRD Jombang, Hadi Atmaji, menjelaskan bahwa pemberian tunjangan tidak serta-merta lahir dari kehendak dewan. “Kebijakan terkait tunjangan anggota dewan diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 18 Tahun 2017 tentang Hak Keuangan dan Administratif Pimpinan serta Anggota DPRD. Aturan tersebut menjadi dasar pemberian tunjangan, baik untuk pimpinan maupun anggota DPRD,” ujarnya, Selasa (26/8).
Menurut Hadi, DPRD hanya melaksanakan ketentuan resmi yang berlaku. “Seluruh hak keuangan maupun administratif yang diterima anggota dewan merupakan bagian dari regulasi yang ada dan kewenangan eksekutif,” tegasnya.
Lebih lanjut, ia menjelaskan, tunjangan ini berlaku sejak tahun 2024, tidak adanya kenaikan tunjangan perumahan, namun dalam transportasi adanya kenaikan hanya sebesar Rp600.000 (enam ratus ribuan rupiah), itu pun karena adanya kenaikan harga pasar transportasi.
Berdasarkan data yang dihimpun, besaran tunjangan yang diterima DPRD Jombang adalah sebagai berikut: Ketua DPRD: Tunjangan perumahan Rp37.945.000 per bulan, Wakil Ketua DPRD: Rp26.623.000 per bulan. Anggota DPRD: Rp18.865.000 per bulan dan Tunjangan transportasi anggota DPRD Rp13.500.000 per bulan. Nominal yang cukup fantastis ini sontak menimbulkan pro-kontra, terutama karena muncul di saat masyarakat kecil masih tercekik beban kenaikan PBB–P2.
Hal senada juga disampaikan anggota DPRD, Kartiyono. Ia menyebut bahwa penyesuaian tunjangan dilakukan dengan mekanisme appraisal. “Kenaikan maupun penurunan tunjangan itu mengikuti kondisi pasar. Jika transportasi naik, maka tunjangan juga menyesuaikan,” ungkapnya.
Lebih lanjut, Ia menjelaskan tidak tahu menahu adanya kenaikan dalam tunjangan tersebut karena pihaknya tidak pernah dilibatkan keputusan Perbup. Hal tersebut kewenangan eksekutif, yakni Bupati Jombang.
“Kadang kita juga mengalami penurun dan baru kita ketahui beberapa bulan kemudian karena perhitungan berdasarkan appraisal,” tegasnya.
Meski memiliki landasan hukum, publik wajar mempertanyakan, apakah kenaikan tunjangan sebanding dengan kinerja dewan selama setahun terakhir?
Catatan duta.co menyebut, sepanjang setahun pasca dilantik, DPRD Jombang hanya melahirkan 12 Perda, dengan hanya 3 Perda yang merupakan inisiatif dewan. Sisanya berasal dari eksekutif. Angka ini dianggap minim, jika dibandingkan dengan ekspektasi masyarakat terhadap wakil rakyat yang diharapkan mampu menyuarakan kepetingan dan kesejukan wong cilik. Apa lagi kondisi dalam masyarakat sekarang berbagai masalah sosial-ekonomi masih menumpuk mulai dari kemiskinan, pengangguran, hingga keresahan akibat kenaikan PBB. (din)