Oleh Syarif Thayib (Dosen UINSA, PPIH Kloter 95 Surabaya)

PENGALAMAN itu kembali terulang. Seperti 2017, tahun ini 2024, sebagai Ketua Kloter, detail peristiwa atau kejadiannya saya harus tahu. Mulai dari penyebab, penanganan medis sebelum Jamaah meninggal, hingga dimana titik lokasi pemakaman.

Pas kejadian (Senin 11 Dzulhijjah) di Mina, posisi saya lagi rapat bersama seluruh Ketua Kloter yang tergabung dalam Maktab 70. Kami bersembilan sedang membahas persiapan kembali ke Hotel Makkah bagi mayoritas Jamaah haji yang mengambil Nafar Awal.

Ketika saya kembali ke Tenda, saya jumpai semua Jamaah sedang membaca Yasin dan dzikir bersama. Salah satu Jamaah berbisik, bahwa pak Imam Muhtar dari Trenggalek baru saja dirujuk ke rumah sakit (RS) pakai Ambulance Maktab setelah tidak sadarkan diri.

Selesai dari kamar mandi, berwudlu, dan menunggu Maghrib di Tenda, tiba-tiba pak Imam kejang. Dokter Kloter yang stand by di tenda Jamaah bergerak cepat, dan langsung melakukan penanganan medis, sebelum kemudian ditandu oleh sekitar 5-6 jemaah menuju Ambulance. Waktu perjalanan menuju RS itulah, pak Imam menghembuskan nafas terakhirnya.

*Jenazah Ditolak RS*

Mendengar kabar bahwa jenazah “ditolak” pihak RS, sontak saya meluncur ke RS dimaksud, namanya Al-Noor Hospital Makkah dekat Mina. Disana saya baru paham bahwa jenazah belum bisa dilayani oleh RS karena ada dokumen asli yang belum dilampirkan.

Hal itu terpaksa dilakukan oleh pihak RS katanya untuk menghindari masalah hukum yang terjadi di kemudian hari. Misalnya, ternyata kematian Jamaah tersebut ada unsur “kesengajaan” atau pidana dan seterusnya.

Mendengar penjelasan RS yang normatif seperti itu, tetap saja saya tidak puas. Apalagi posisi jenazah masih terlentang kaku di Ambulance, tanpa kain penutup, kecuali pakaian, celana pendek, dan sarung yang melekat sejak dari tenda.

Saya mengajak supir Ambulance untuk “memaksa” pihak RS supaya menerima dulu jenazah yang sudah 6 jam lebih di Ambulance. RS tak bergeming sama sekali. Mereka seperti mendewakan SOP (standard operation procedure) dalam tugas. SOP yang mengabaikan unsur kemanusiaan dan seterusnya, menurut saya.

Tembok SOP terlalu kuat untuk bisa ditembus. Maka seketika saya telpon ke pak Thareq yang orang asli Saudi, pemilik Maktab 70. Saya tahu, bahwa pihak Maktab lah yang bertanggungjawab mengurusi jenazah. Petugas haji atau PPIH (panitia penyelenggara ibadah haji) kewajibannya hanya sampai mengurus COD (certificate of death) yang dikeluarkan pihak Klinik Kesehatan Haji Indonesia (KKHI).

Saya menelpon persis seperti gaya pak Thareq ketika ngobrak-ngobrak PPIH Kloter untuk meeting, mengumpulkan dan mengambil ini – itu buat keperluan bersama. Sekarang giliran saya gupuin, meminta dia gerak cepat, supaya RS mau menerima jenazah yang (maaf) sudah beraroma beda di Ambulance.

_“Ya Syeikh, kali ini ana benar-benar minta tolong antum. Please.. gimana cara antum yang orang asli Saudi dan punya jaringan luas dengan pihak Kerajaan, supaya jenazah tamu Allah ini segera dapat layanan kemanusiaan yang layak. Ini tamu Allah Syeikh..!! lebih mulia dari tamu raja atau siapapun. Kalau masalah ini terjadi di Indonesia, Wah.. sudah ramai ditulis koran dan disiarkan Live oleh puluhan stasiun TV, bahwa ada RS menolak jenazah Jemaah haji dengan alasan sepele, yaitu surat COD aslinya belum dilampirkan. Khan, itu bisa menyusul Syeikh..!! kami sudah mengirim Soft File nya. Ayo Syeikh, please.. mumpung wartawan Indonesia belum dengar..!!”_

Itulah kurang lebih Bahasa telpon saya ke Syeikh Thoriq yang sudah lancar berbahasa Indonesia.

Entah, apa karena telpon bernada “ancaman” itu atau karena alasan lain, tiba-tiba tiga atau lima menit kemudian kamar mayat RS itu dibuka, dan jenazah diperkenankan masuk. Alhamdulillah.. lega rasanya.

*Memburu Waktu Dishalatkan Shubuh*

Waktu sudah berganti hari. Jam di HP menunjukkan 00.48 waktu Arab Saudi. Dengan Bahasa Arab campur English lumayanan, saya meminta pada dokter jaga di kamar mayat itu untuk membantu proses cepat, agar keburu waktu jenazah bisa dishalatkan waktu Shubuh di Masjidilharam.

Akhirnya bisa. Dengan berbekal surat pengantar resmi dari dokter jaga RS Al-Noor Makkah itulah, kemudian jenazah diangkut ke Ambulance lain untuk dibawa ke tempat khusus memandikan dan mengkafani jenazah Jemaah haji sebelum dishalatkan di Masjidilharam.

Perjalanan dari RS Al-Noor ke *Maghsalatul amwat al-Khairiyah bi jami’it Tauhid* (tempat memandikan jenazah yang dikelola oleh semacam Baitul Maal “Khoiriyah”) Makkah membutuhkan waktu juga sekitar 15-20 menit.

Sesampainya disana, (awalnya) pengantar tidak diperkenankan masuk. Tetapi dengan gaya panik dan untuk pertanggungjawaban moral sebagai petugas haji Indonesia kepada keluarga Almarhum, akhirnya saya diperbolehkan masuk ke ruang pemandian.

Petugasnya bertanya kepada saya, apakah mau ikut bantu memandikan? “thob’an,,!!” jawab saya. Yang artinya “tentu saja..!!”.

Nama petugas itu Noor Umar dari Burma (Asia). Dia sudah 25 tahun lebih bekerja disitu sebagai petugas memandikan jenazah. Dia menyemangati saya sambil berdalil, mengutip hadits yang sangat dia hapal, bahwa Barang siapa memandikan mayit, lalu menutupi keburukannya, maka ia akan diampuni sebanyak 40 kali.

Syeikh Umar, demikian saya memanggilnya, kemudian menjelaskan apa saja bahan yang dipakai untuk memandikan jenazah selain air. Ada sabun Sidr dan kapur barus yang ditempatkan di ember berbeda. Semuanya dalam bentuk cairan.

Dia sangat mahir sekali melakukan gerakan ke tubuh jenazah yang sudah terbujur sangat kaku. Beberapa kali saya diminta untuk memegangnya. Kaos dalam, baju, celana pendek, dan sarung digunting semua. Gelang Jemaah hajinya dia berikan ke saya.

Aroma jenazah jadi harum. Ruangan itu sama sekali tidak seperti kamar pemandian jenazah pada umumnya, yang konon sering membuat orang mendadak mual dan muntah-muntah karena baunya orang mati.

Jam 02.10 proses memandikan dan mengkafani kelar. Bergegas saya kembali duduk di samping pak supir Ambulance untuk bergerak menuju Masjidilharam, yang jarak tempuhnya juga berkisar 15 – 20 menit.

Tiba di Masjidilharam, untuk yang kedua kalinya saya naik mobil golf pengangkut jenazah melalui pintu 6. Tepat jam 03.00 jenazah pak Imam yang kami bawa sudah siap untuk dishalatkan bersama sekitar 40-an syuhada’ (Jemaah haji) dari seluruh penjuru dunia.

Jenazah laki-laki ada yang wajahnya dibiarkan terbuka, sementara semua jenazah wanita tertutup, dan diberi alat seperti gundukan makam di atas dadanya, sehingga mudah dibedakan antara jenazah laki dan perempuan.

Semua pengantar dan Jemaah Masjidilharam dilarang mengambil gambar. Video HP saya pun dihapus langsung oleh polisi Masjidilharam. Mereka menyebutnya “haram” mendokumentasikan jenazah yang mau dishalatkan.

Setelah shalat Shubuh, 40-an jenazah itu dishalatkan dan dipimpin langsung oleh imam shalat Shubuh. Jenazah perempuan dishalatkan terlebih dahulu, empat takbir satu salam. Disusul barisan jenazah laki-laki, juga dishakatkan pakai empat takbir dan satu salam.

Karena tidak kebagian tempat duduk di mobil golf jenazah, maka saya pun berlari-lari kencang mengikuti mobil pengangkut jenazah itu menuju parkiran Ambulance setelah dishalatkan. Lumayan ngos-ngosan harus lari semi sprint sekitar 2 kiloan, hingga tidak sanggup lagi mengangkat keranda jenazah.

Kini, para Syuhada’ haji beruntung. Mereka bisa dimakamkan di Shoraya yang masih termasuk wilayah Makkah. Banyak umat Islam berdoa untuk bisa dimakamkan di tempat ini, karena jaminannya adalah Surga.

Berikut terjemahan dalil haditsnya: “ Rasulullah SAW bersabda: Siapapun yang meninggal di salah satu kota suci, Makkah dan Madinah, maka dia berhak mendapat syafaatku, dan kelak dia termasuk orang-orang yang selamat.” (HR. Baihaqi).

Alhamdulillah.. Prosesi pemakamannya super cepat. 40-an jenazah itu tuntas dimakamkan kurang dari 40 menit. Ketika jenazah pak Imam diturunkan ke liang lahat, saya tidak ikut terjun ke dalam pakai tangga dengan panjang 3 meteran itu. Saya hanya mengadzani dan qamat di permukaan makam saja, sambil tangan memegang HP dengan posisi on came.

Keluarga atau pengantar pasti dikasih kertas kecil bertuliskan nomor dan blok makam, supaya kalau keluarganya ingin ziarah di Shoraya, bisa mengambil posisi persis di atas makam tujuan.

Benar-benar unmemorable experience (pengalaman yang tak terlupakan). Ternyata sama, semua tubuh-tubuh sebelum dikuburkan disana hanya dibungkus oleh sehelai kain putih, persis seperti kain yang dikenakan Jamaah Wuquf.

Seketika saya teringat ibu yang masih hidup di Cirebon. Kelak ketika beliau kembali keharibaanNya (karena semua makhluk pasti kembali ke Penciptanya), maka kain yang saya pakai Wuquf kemarin, akan kusertakan bersama kain kafannya. Wujud dari pengharapan seorang anak untuk wafatnya Ibu, supaya juga bergelar Syuhada’.

_Rabbighfirli warhamnie, waghfir waalidayya warham huma, kama Rabbayanie shagieraa.._ (wahai Allah, ampuni dan kasihanilah kami, serta ampuni kedua orang tua kami. Sayangilah keduanya, sebagaimana mereka menyayangi kami sejak kecil). Alfatihah.(*)

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry