PERINGATAN: Pemimpin militan Rohingya atau ARSA, Attaullah Abu Ammar Jununi, merilis video di YouTube, 28 Agustus 2017. (ist)

YANGON | duta.co – Tanggal 24 Agustus 2017, saat mantan Sekretaris Jenderal PBB Kofi Annan menyelesaikan penyelidikan terhadap konflik di Rakhine, Myanmar, yang berlangsung setahun terakhir. Kofi Annan memperingatkan, reaksi militer berlebihan terhadap praktik kekerasan yang terjadi, hanya akan memperburuk konflik antara pengungsi Rohingya dengan pasukan militer Myanmar.

Sekitar tiga jam kemudian, atau sesaat setelah pukul 20.00 waktu setempat, pemimpin militan Rohingya atau ARSA, Attaullah Abu Ammar Jununi, mengirimkan pesan ke para pendukungnya. Isi pesan itu meminta para pendukungnya bergerak ke kawasan pegunungan terpencil Mayu dengan membawa benda logam sebagai senjata.

Sesaat setelah tengah malam, di lokasi berjarak 600 kilometer dari Yangon –kota terbesar di Myanmar, para pendukung militan Rohingya yang terdiri dari berbagai macam orang itu menyerang 30 pos kepolisian dan sebuah pangkalan militer. Mereka membawa pisau, tongkat, dan bom rakitan.

“Jika 200 atau 300 orang maju, 50 orang akan tewas. Insya Allah, sisanya 150 orang bisa membunuh mereka dengan pisau,” ucap Attaullah dalam pesan suara kepada para pendukungnya seperti dilansir Reuters, Kamis (7/9/2017). Pesan suara itu disebarluaskan melalui aplikasi chat ponsel dan Reuters telah mendengarkannya langsung.

Gelombang serangan dari pendukung militan Rohingya dimulai sekitar pukul 01.00 waktu setempat, hingga matahari terbit pada 25 Agustus 2017. Sebagian besar serangan terjadi di wilayah Maungdaw, Rakhine, tempat Attaullah melancarkan tiga serangan pada Oktober 2016.

Jika dihitung, titik serangan paling utara dengan titik serangan paling selatan mencapai 100 kilometer panjangnya. Militan Rohingya juga menyerang bagian utara kota Buthidaung, yang menjadi lokasi salah satu pangkalan militer Myanmar.

“Kami terkejut mereka mampu menyerang area geografis seluas itu –serangan itu mengguncang seluruh kawasan,” ucap salah satu sumber militer Myanmar. Sedikitnya 13 personel pasukan keamanan Myanmar tewas dalam serangan itu.

Penyerangan oleh militan Rohingya pada 25 Agustus itu tercatat sebagai yang terbesar. Saat kelompok ini pertama kali muncul pada Oktober 2016, mereka hanya menyerang tiga pos perbatasan dengan melibatkan 400 militan. Militer Myanmar memperkirakan ada sekitar 6.500 militan yang terlibat dalam serangan 25 Agustus 2017.

Pada 28 Agustus 2017, Ataullah Abu Ammar Jununi pun mengirim pesan lewat youtube. “Kalian harus memberikan seluruh hak yang seharusnya dimiliki Rohingya dalam keadaan apapun. Kalian telah melanggar hukum internasional dengan membunuh anak-anak dan wanita tak berdosa (termasuk lansia). Jika kalian ingin perang, silahkan lakukan itu dengan kami (ARSA). Bukan dengan wanita dan anak-anak yang lemah. Anak-anak dan wanita tidak melakukan kesalahan apapun terhadap kalian. Jangan sesekali sentuh mereka. Dan hentikan membumihanguskan rumah-rumah (milik Rohingya).” Demikian salah satu penggelan pesan itu.

Kemampuan militan Rohingya untuk melakukan serangan lebih besar ini mengindikasikan banyak pria-pria muda Rohingya yang tertarik mendukung mereka. Jumlah dukungan terhadap Rohingya disinyalir meningkat drastis setelah konflik pecah di Rakhine pada Oktober 2016 lalu.

Dalam beberapa bulan terakhir, militan Rohingya berusaha menghentikan aliran informasi soal aktivitas mereka kepada otoritas Myanmar. Bahkan dilaporkan mereka tega membunuh warga muslim Rohingya yang dianggap membocorkan informasi ke otoritas Myanmar.

Siapa ARSA?

Tentara Pembebasan Rohingya Arakan (Arakan Rohingya Salvation Army, ARSA) beroperasi di Negara Bagian Rakhine di Myanmar utara, tempat mayoritas-muslim Rohingya menghadapi persekusi. Pemerintah Myanmar menolak memberikan mereka kewarganegaraan dan memandang mereka sebagai imigran ilegal dari Bangladesh.

Bentrokan terjadi secara berkala di antara kelompok-kelompok etnik, namun tahun lalu sebuah kelompok pemberontak bersenjata Rohingya berkembang. ARSA sebelumnya dikenal dengan nama lain termasuk Harakah al-Yaqin.

Pemerintah Myanmar menyebut ARSA sebagai ‘ekstremis teroris Benggala’, merujuk pada sebutan mereka sebagai imigran ilegal dari Bangladesh. Myanmar juga menuding ARSA telah membantai warga sipil di Rakhine.

Pemerintah Myanmar menyebut kelompok ini sebagai organisasi teroris dan mengatakan pemimpin-pemimpinnya telah dilatih di luar negeri. Kelompok Krisis Internasional (International Crisis Group, ICG) juga mengatakan bahwa para anggota ARSA telah dilatih di luar negeri.

Pemimpinnya adalah Attaullah Abu Ammar Jununi, lahir dari orang tua Rohingya di Karachi, Pakistan, dan dibesarkan di Makkah, Arab Saudi.

Meski begitu, seorang juru bicara kelompok ini membantah hal ini dan mengatakan ke Asia Times bahwa kelompok ini tidak ada hubungannya dengan kelompok jihad dan hanya berjuang untuk orang Rohingya agar diakui sebagai sebuah kelompok etnik.

 

Jenis Senjata ARSA

Pemerintah Myanmar mengatakan bahwa serangan pada 25 Agustus 2017 dilakukan dengan pisau dan bom molotov. Senjata mereka tampaknya kebanyakan dibuat sendiri namun laporan ICG menyiratkan bahwa mereka tidak sepenuhnya amatir dan menunjukkan beberapa bukti bahwa mereka dibantu oleh beberapa veteran dari konflik lain, termasuk orang-orang dari Afghanistan.

 

Kapan ARSA Berdiri?

Juru bicara ARSA yang berbicara ke Asia Times mengatakan, ARSA telah melatih orang sejak 2013. Namun serangan pertama mereka adalah pada Oktober 2016, saat mereka membunuh sembilan petugas polisi.

 

Misi ARSA

ARSA mengatakan kelompok itu bertujuan untuk “membela, menyelamatkan dan melindungi” kelompok Rohingya dari penindasan negara. Aksi pembelaan itu “sejalan dengan prinsip pertahanan diri”.

ARSA juga menolak label teroris dengan mengatakan bahwa kelompok itu tidak menyerang penduduk sipil. Meski begitu, ada beberapa laporan bahwa kelompok itu membunuh informan saat melatih anggotanya.

ICG mengatakan, anggota ARSA adalah laki-laki muda Rohingya yang marah terhadap respons pemerintah Myanmar saat kerusuhan yang mematikan pada 2012.

Anak-anak muda yang berusaha meninggalkan area itu dulunya bisa melakukannya dengan menggunakan kapal ke Malaysia, namun Angkatan Laut Malaysia memblokir rute itu pada 2015. Hal ini menyebabkan ribuan orang terdampar di laut dan, kata ICG, yang lain mempertimbangkan untuk melakukan kekerasan.

Dalam kondisi kemiskinan ekstrem, tanpa kewarganegaraan dan pembatasan pada pergerakan orang Rohingya, ARSA beraksi. Konsekuensinya, aparat keamanan membalas kekerasan dengan kekerasan.

Sebuah laporan PBB pada Februari mendeskripsikan “kekejaman yang menghancurkan” dari para prajurit yang telah memukuli, memperkosa, dan membunuh orang-orang sejak wilayah Rakhine ditutup setelah serangan Oktober 2016.

Pelapor khusus PBB mengenai situasi HAM di Myanmar telah mengatakan bahwa skala penghancuran saat ini “jauh melebihi” tahun lalu.

Efek Serangan Balasan

Serangan ke pasukan keamanan telah memicu kekerasan dari pihak militer, yang mengatakan bahwa mereka berjuang melawan militan yang menyerang penduduk sipil. Lebih dari 100.000 orang Rohingya telah meninggalkan desa mereka dan menyeberang perbatasan ke Bangladesh, tempat kamp-kamp pengungsian terisi penuh.

Banyak dari mereka mengatakan militer dibantu biksu Buddha, telah meratakan desa-desa dan membunuh warga sipil. Pemerintah mengatakan kelompok Buddha dan Hindu juga telah meninggalkan daerah itu akibat kekerasan yang ada.

Akses media ke Rakhine, tempat terjadinya kekerasan, sangat terbatas, membuat sulit untuk memverifikasi situasi di lapangan.

Para aktivis dan politikus di seluruh dunia telah menyatakan keprihatinan mereka atas situasi pengungsi ini, dari kekurangan tempat bernaung, air, dan makanan. Ada laporan anak-anak terluka akibat ranjau darat saat mereka berusaha meninggalkan negara itu.

Seorang perwakilan PBB dan penerima Nobel Perdamaian Malala Yousafzai, meminta pemimpin de facto Myanmar, Aun Sang Suu Kyi, untuk menghentikan kekerasan yang ada. Suu Kyi sebelumnya mengatakan bahwa ada “banyak kekerasan” di area itu namun pembersihan etnik adalah “terminologi yang terlalu kuat” untuk digunakan.

“Kami Mati atau Mereka Mati?”

Melalui Twitter, ARSA memang mengklaim bertanggung jawab atas rentetan serangan terhadap pos kepolisian Myanmar beberapa waktu terakhir. Namun ARSA menegaskan diri sebagai pejuang kebebasan dan menyebut serangan itu sebagai ‘langkah sah’ untuk mengembalikan hak-hak Rohingya, yang tertindas dan tidak memiliki status kewarganegaraan di Myanmar.

Salah satu anggota ARSA yang bersedia berbicara via sambungan telepon dengan The Guardian, menegaskan tujuan utama dari kelompoknya.

“Sekarang, kami tidak mati dan tidak juga hidup, jadi kami perlu melakukan sesuatu,” tegas Hashem (26), seorang warga Rohingya yang mengaku telah bergabung dengan kelompok militan ARSA. Dia merujuk pada nasib warga Rohingya di Rakhine juga di kamp pengungsian di Bangladesh yang tidak layak huni.

“Kami ingin hak-hak kami. Jika ini tidak terjadi, kami mati atau mereka yang mati,” imbuhnya dari sebuah kamp pengungsian di Bangladesh.

Rohingya yang jumlahnya mencapai 1,1 juta jiwa di Rakhine, tidak mendapat akses pada pekerjaan dan pendidikan di Myanmar. Warga Rohingya yang banyak menganut Islam ini juga tidak memiliki status kewarganegaraan. Para pengungsi Rohingya menyebut militer Myanmar melakukan kekerasan dalam operasinya di Rakhine, dengan membakar desa-desa setempat dan menembak secara membabi-buta.

Namun otoritas Myanmar menegaskan mereka melakukan operasi militer di Rakhine secara legal. “Untuk alasan keamanan, tidak ada cukup personel polisi lokal dan pasukan penjaga perbatasan, itulah mengapa militer membantu mereka dalam pengamanan,” sebut Menteri Kesejahteraan Sosial Myanmar, Win Myat Are, kepada The Guardian. hud, rtr, afp, grd, dit

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry