JAKARTA | duta.co – Pembunuhan sadis menewaskan 31 pekerja PT Istaka Karya (BUMN) yang ditugaskan menggarap proyek pembangunan jembatan di Kali Yigi-Kali Auruk, Distrik Yigi, Kabupaten Nduga, Papua, sudah sangat keterlaluan. Negara tidak boleh kalah meski kenyataannya banyak korban tewas.
Lebih menyedihkan OPM sudah berkali-kali menyerang warga dan aparat TNI-Polri yang bertugas di Papua. Korban berjatuhan. Aksi sadis itu kebetulan terjadi berbarengan dengan aksi para mahasiswa memperingati hari kemerdekaan Papua Barat di Surabaya yang sempat ricuh. Sebanyak 233 mahasiswa dan masyarakat Papua di Surabaya pun diamankan pada Minggu 2 Desember 2018.
Namun yang terjadi selama ini, masalah OPM belum juga selesai. Papua yang sudah dimanja dengan pembangunan infrastruktur secara besar-besaran di era Presiden Jokowi tetap saja belum aman. OPM semakin merajalela.
Yang unik, polisi tidak mau memakai nama OPM sebagai pelaku penyerangan melainkan kelompok sipil bersenjata. Namun demikian TNI menyebut mereka OPM.
Silang sengkarut di Papua jauh beda dengan penanganan Pemerintah terhadap kasus Poso dan Aceh. Terkesan ada beda cara pandang. Secara kebetulan di Poso dan Aceh banyak umat Islam yang dituduh sebagai biang konflik dan teror. Sementara di Papua hampir semua Nasrani. Papua menjadi perhatian dunia dan bahkan banyak melibatkan negara-negara lain, sementara Poso dan Aceh dianggap masalah lokal. Karena itu, penumpasan di dua wilayah itu pun dinilai berbeda.
Sejak TNI dilibatkan dalam Satuan Tugas Tinombala teroris di Poso pun dilibas. Satgas Tinombala dibentuk untuk melumpuhkan dan menangkap jaringan teroris Mujahidin Indonesia Timur (MIT) yang dipimpin Santoso. Adapun Santoso telah tewas setelah baku tembak dengan satgas pada 18 Juli lalu. Setelah kematian Santoso, anak buahnya berturut-turut turun gunung.
Sementara di Papua sejak awal TNI memang dilibatkan mengingat di sana ada proyek vital Freeport. Namun kemudian yang banyak berperan adalah Brimob. Baik anggota TNI maupun Brimob sudah berkali-kali kontak senjata dengan OPM dan sebagian di antara mereka gugur dalam tugas. Karena itu, saatnya dilakukan operasi militer besar-besaran di Papua untuk membersihkan bumi Cenderawasih dari OPM yang sudah terbukti merongrong kedaulatan NKRI. Mereka harus ditumpas bila tidak mau menyerah.
Operasi sudah pernah dilakukan tahun lalu. Operasi penumpasan Tentara Pembebasan Nasional Organisasi Papua Merdeka (TPN/OPM) di Distrik Tembagapura, Papua, Jumat (17/11/2017) itu semata-mata demi me­nyelamatkan rakyat sipil.“Gerakan OPM ini sudah melakukan pembunuhan. Kemudian melakukan pe­nyan­deraan. Penyanderaan itu bukan disekap dalam satu ruangan, tetapi di suatu lokasi dan membuat mereka tidak bisa kemana-mana,” kata tokoh masyarakat Suku Amungme, Yohanes Kum kepada awak media di Tembagapura.
“Masyarakat yang disandera juga terintimidasi, bahkan 12 wanita dilaporkan mengalami kekerasan seksual. Tidak itu saja, sebagian warga sipil mengaku dijarah dan dirampas harta bendanya,” katanya saat itu.
Yohanes kembali menegaskan bahwa, berdasarkan data yang diterimanya selaku tokoh masyarakat Tembagapura, jumlah uang yang dirampas oleh kelompok TPN/OPM ini men­capai Rp.107,5 juta, emas hasil dulangan yang dijarah seberat 254,4 gram, dan sebanyak 200-an ponsel disita mereka.
“Tindakan tersebut tidak bisa dibiarkan terus berlangsung sehingga negara melalui aparat POLRI dan TNI harus hadir untuk menyelamatkan masyarakat sipil,”katanya.
Polisi sudah menggunakan berbagai macam cara untuk bernegosiasi. Salah satunya dengan menghubungi tokoh masyarakat, tokoh gereja, Pemda dan semua upaya-upaya telah dilakukan namun kelopok TPN/OPM ini sama sekali tidak menghiraukan himbauan mereka.
“Kami masyarakat Tembagapura telah bersatu meminta kepada pemerintah dalam hal ini aparat keamanan untuk membubarkan OPM. Menumpas OPM agar kami aman,” katanya.(hud/wis)
Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry