SENGKETA: Seminar Hukum Perumahsakitan dengan tema "Hubungan Kontraktual dalam Layanan Jasa Kesehatan di Rumah Sakit” yang diselenggarakan atas kerjasama Program Studi Magister Hukum Peminatan Hukum Kesehatan UHT Surabaya dengan RSJ Sambang Lihum, Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Duta/Humas UHT

SURABAYA | duta.coSetiap tindakan yang dilakukan oleh dokter, perawat, tenaga medis, yang ada rumah sakit baik dalam bentuk tindakan medis maupun non medis, pada prinsipnya sangat berdekatan dengan aspek hukum. Artinya, setiap tindakan tenaga kesehatan ini mempunyai risiko, dan setiap risiko selalu ada konsekuensi hukumnya.

Hal ini disampaikan oleh Prof Dr. Agus Yudha Hernoko dalam Seminar Hukum Perumahsakitan dengan tema “Hubungan Kontraktual dalam Layanan Jasa Kesehatan di Rumah Sakit”, di Aula Rumah Sakit Jiwa Sambang Lihum, Banjarmasin, Kalimantan Selatan, Selasa (31/7/2018).

Seminar ini terselenggara atas kerjasama dari Program Studi Magister Hukum Universitas Hang Tuah Surabaya dengan Rumah Sakit Jiwa Sambang Lihum, Banjarmasin.

Hadir dalam kegiatan ini adalah Ketua Program Studi Magister Hukum Universitas Hang Tuah Surabaya, Dr M Khoirul Huda dan Sekretaris Prodi Magister Hukum UHT Bambang Ariyanto.

Prof Agus Yudha menjelaskan setiap aspek dari kegiatan di rumah sakit, selalu diiring dengan aspek hukumnya. Hal yang sederhana saja dari proses pendirian rumah sakit. Rumah sakit boleh berdiri apabila sudah mendapatkan izin, baik Izin Mendirikan Bangunan, Izin Gangguan, Izin HO, dan lain sebagainya. Ketika bangunan rumah sakit sudah berdiri, maka rumah sakit wajib mendapatkan izin operasional dari Menteri Kesehatan. Izin operasional sudah diperoleh, untuk perekrutan karyawan, baik dokter, perawat, pegawai administrasi itu tetap melalui prosedur yang berlaku dan harus menandatangi kontrak. Termasuk ketika sudah memberikan pelayanan kesehatan. Ada istilah inform consent, rekam medik, yang merupakan dokumen hukum yang bisa dijadikan alat bukti apabila ada sengketa pasien dengan dokter.

Hal ini diamini oleh dr Carolina, SpB, SH, MH. Dokter yang berpraktek di Malang ini menyatakan bahwa inform consent atau biasa disebut persetujuan tindakan merupakan bentuk tindakan yang telah diatur dalam peraturan perundang-undangan. Ada di Pasal 56 UU No 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, Pasal 45 UU No 29 Tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran, Pasal 58 UU No 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan, Pasal 32 huruf j dan k UU No 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit, dan Peraturan Menteri Kesehatan No 290/Menkes/PER/III/2008 tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran. ”Sejumlah regulasi ini mengatur tentang inform consent, dan ada konsekuensi hukum bila inform consent tidak diinformasikan kepada pasien,” tegasnya.

Tidak Perlu ke Pengadilan

Untuk itu, kata Carolina, ada tujuh unsur yang harus dipegang dalam menyampaikan inform consent. Tujuh unsur itu meliputi: (a) kompetensi; (b) kebebasan; (c) penyampaikan informasi oleh dokter, pasien/wali berhak mendapat informasi yang benar, baik, jujur dan komplet dengan tetap memperhatikan kondisi psikologis/mental pasien; (d) rekomendasi; (e) pemahaman oleh pasien; (f) keputusan atas rencana; (g) otorisasi, diwujudkan secara verbal maupun tertulis.

Sementara itu, Dosen Program Studi Magister Hukum Dr. Sutarno mengungkapkan bahwa jikalau terjadi sengketa baik antara dokter dengan pasien, pasien dengan rumah sakit, penyelesaiannya tidak perlu ke pengadilan. Pengadilan itu adalah jalan terakhir apabila langkah-langkah lain tidak bisa dibicarakan. Ada mekanisme yang sangat efektif melalui alternatif dispute resolution (ADR) yang meliputi mediasi, negoisasi, dan rekonsialisasi. Ketiga langkah ini merupakan penyelesaian di luar pengadilan, dan cukup efektif untuk menyelesaikan sengketa di bidang hukum perumahsakitan. rum

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry