BERMAIN : Anak-anak sedang bermain dengan ceria di kawasan Huntap Damai Bumi Semeru (ridoi/duta.co)

LUMAJANG | duta.co  – Tanah kelahiran sulit dilupakan oleh siapapun. Tanah kelahiran memiliki sejuta kenangan yang tidak bisa dilupakan sampai akhir hayat dan menjadi  momen yang menyenangkan bagi siapa saja yang kembali ke kampung halaman mengenang masa lalu.

Namun Bagi warga Desa Sumbermujur, Kecamatan Candipuro, Kabupaten Lumajang, Provinsi Jawa Timur harus melepas ego dengan meninggalkan kampung halaman untuk alasan keselamatan. Desa yang penduduknya terpaksa meninggalkan rumah-rumah mereka beserta seluruh harta benda akibat bencana awan panas guguran (APG) Gunung Semeru pada akhir tahun 2022 silam.

Meski berat hati, ribuan warga Desa di Kecamatan Candipuro harus meninggalkan kampung halamanna yang sudah tidak aman dari luncuran lava dan lahar dingin Gunung Semeru yang terus erupsi. Posisi Desa Sumbermujur sendiri berada pada lokasi terdekat lereng Gunung Semeru sehingga sangat rawan kalau terjadi erupsi da lahar dingin. Demi alasan keselamatan keluarga, ribuan warga harus rela direlokasi ke tempat baru yang sudah disiapkan pemerintah.

Bencana awan panas guguran dari gunung tertinggi di Pulau Jawa ini, dirasakan oleh ribuan warga yang ada di Kecamatan Candipuro dan Kecamatan Pronojiwo. Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) secara periodik mengamati kondisi Gunung Semeru pada 5 September 2024 berada pada status Level II atau Waspada.

“Oleh karenanya masyarakat dan wisatawan diimbau menghindari aktivitas di sekitar sungai dan puncak gunung,” kata Kepala Badan Geologi, P. Hadi Wijaya.

Kondisi Gunung Semeru menurut P. Hadi Wijaya tercatat 1.725 kali gempa letusan dan 155 kali gempa guguran lava pijar. adanya potensi bahaya terkait dengan awan panas ataupun lahar yang perlu diwaspadai masyarakat.

“Material guguran lava yang telah terakumulasi maupun pembentukan ‘scoria cones’ dapat sewaktu-waktu menjadi awan panas atau lahar, terutama jika hujan lebat turun di sekitar puncak. Selain itu, interaksi endapan material guguran lava atau yang bersuhu tinggi dengan air sungai akan berpotensi terjadinya erupsi sekunder” tambahnya.

Berdasarkan hasil evaluasi tersebut, Badan Geologi melalui PVMBG mengimbau masyarakat dan wisatawan yang tinggal atau berkunjung di sekitar Gunung Semeru untuk terus meningkatkan kewaspadaan dengan menghindari aktivitas dalam radius 8 km dari puncak gunung.

Hal ini terutama di sektor tenggara sepanjang Besuk Kobokan. Zona ini dinilai sangat berisiko terkena dampak letusan dan guguran lava pijar. Selain itu, masyarakat juga diharapkan untuk menghindari area sekitar kawah atau puncak gunung dalam radius 3 km yang dinilai rawan atas bahaya lontara batu (pijar) yang bisa terjadi sewaktu-waktu.

Masyarakat juga diingatkan untuk waspada terhadap kemungkinan terbentuknya lahar di sepanjang aliran sungai yang berhulu di puncak Gunung Semeru, seperti di Besuk Kobokan, Besuk Bang, Besuk Kembar, dan Besuk Sat. Lebih lanjut, masyarakat yang berada di luar daerah-daerah yang disebutkan juga perlu meminimalisir kegiatan dalam radius 500 meter dari tepi sungai, mengingat potensi aliran lahar dan awan panas yang dapat meluas hingga 13 km dari puncak dengan sangat cepat ketika hujan deras mengguyur wilayah puncak.

Kades : Tidak ada Kendala Adaptasi Warga Tinggal di Huntap

DAMAI : Suasana Huntap Bumi Damai Semeru yang tenang dan damai. (ridhoi/duta.co)

Mengantisipasi ribuan pengungsi yang tak lagi memiliki tempat tinggal, Pemerintah Provinsi Jawa Timur serta Pemerintah Kabupaten Lumajang  melalui Kementerian Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang membangun 1.951 unit hunian sementara kemudian dilanjutkan hunian tetap (huntap) bernama Bumi Damai Semeru, yang terletak di Desa Sumbermujur. Keindahan lokasinya tidak jauh beda dengan suasana sebelumnya, masih bisa melihat keindahan dan kegagahan Gunung Semeru, hijaunya hutan dan suasana desa yang sejuk dan damai.

Kawasan Hunian Tetap (huntap) yang terletak di lereng kaki Gunung berketinggian 3.676 mdpl tersebut terlihat asri dan sejuk dengan deretan pohon rindang yang mengelilingi area cluster. Dulunya kawasan tersebut merupakan kebun cengkeh seluas 82 hektar milik Perhutani yang kemudian digunakan untuk pemukiman relokasi sebanyak 1.951 rumah bagi warga terdampak yang mengungsi.

Secara bertahap, Huntap Bumi Damai Semeru ramai dihuni ribuan masyarakat yang kehilangan rumah tersapu lahar dingin Gunung Semeru. Layaknya hunian perumahan yang berada di Desa tepatnya masih di kawasan lereng Gunung semeru, masyarakat penghuni Huntap mulai bisa beradaptasi dengan lingkungan baru yang terbentuk dari pembangunan Huntap tersebut.

Anak-anak bercanda dengan sesame, juga ibu-ibu masih bisa bergurai kala membeli sayuran di Mlijo (sebutan penjual satur keliling) yang masuk ataupun berbelanja di toko yang ada. Sementara bapak-bapak juga ada yang nongkrong sambil ngopi melepas penat habis kerja.

Saat rombongan Jurnalis yang tergabung dalam Jurnalis Kelompok Kerja Grahadi tiba di lokasi Hunian Tetap, beberapa warga yang lalu lalang beraktivitas maupun berangkat bekerja dengan penuh harapan dengan berbagai pekerjaan yang mereka lakoni. Beberapa toko kelontong dan serta berbagai macam tempat usaha didirikan oleh warga demi menjaga kelangsungan hidup mereka.

Riang canda tawa anak-anak sekitar juga menyapa kami yang saat itu singgah di kawasan Bumi Damai Semeru tersebut untuk menggali informasi sebagai bahan liputan kami saat berada disana.

Kepala Desa Sumbermujur, Yayuk Sri Rahayu yang turut menyambut kami, menuturkan, semenjak menempati Huntap, para warga mengisi hari-harinya dengan menjadi pedagang, beternak, berladang dan juga kembali menjadi penambangan pasir layaknya pekerjaan dengan keahlian di lokasi sebelumnya.

”Tidak ada kendala berarti bagi kami. Namun karena pindah ke wilayah hunian baru, maka perlu penyesuaian, seperti kebiasaan warga yang dulunya hidup di bantaran sungai dengan air melimpah untuk kebutuhan sehari, kini harus menggunakan saluran air yang lebih terbatas,” ujarnya.

Yayuk mengungkapkan bahwa berbagai kendala sering dirinya temui saat pertama kali warga menempati kawasan Huntap. Seperti masalah kebersihan hunian. Untuk itu, Yayuk bersama timnya tak henti-hentinya melakukan sosialisasi serta memberikan pemahaman kepada warga seperti kebiasaan membuang sampah.

“Kadang masih ada yang buang sampah ke tempat asalnya. Ada sebagian yang belum tahu bahwa membuang sampah itu ada aturanya. Tidak dibuang ke sungai, sehingga lingkungan tetap terjaga bersih” ujarnya.

Kawasan Huntap ini terdapat 24 RT dan 5 RW. Beragam fasilitas umum juga dibangun guna menunjang kehidupan masyarakat untuk beraktifitas. seperti fasilitas pendidikan seperti Paud, TK, SD, MTS, juga disediakan untuk anak-anak yang masa pendidikannya harus tertunda karena dampak bencana alam.

Harapan Baru Tinggal di Huntap Bumi Damai Semeru

USAHA : Ngatumi, salah satu warga penyintas gunung Semeru yang mulai kehidupan baru di Huntap dengan keahliannya menjahit. (ridoi/duta.co)

Salah satu warga penyintas awan guguran panas Gunung Semeru, Ngatumi mengaku dirinya telah dua tahun menetap di huntap ini setelah menunggu penempatan di tahap ke-empat.

Warga Desa Kamar Kajang ini menuturkan kenangannya saat mengungsi di posko pengungsian Candipuro. Ngatumi menjelaskan dirinya tidak berani beranjak dari kediamannya setelah meluapnya aliran sungai depan rumahnya saat hujan menerpa, bahaya banjir lahar dingin yang menghantui.

Ia mengaku bersyukur mendapat bantuan hunian tetap ini, mengingat saat ini Ngatumi hanya tinggal bersama ketiga anaknya, karena sang suami telah lebih dulu meninggal sebelum erupsi terjadi.

Guna memenuhi kebutuhan sehari-hari, Ngatumi menggantungkan hidupnya dari  usaha menjahit di rumahnya untuk menjaga kelangsungan hidupnya bersama anak-anaknya.

”Anak saya 3, yang satu sudah kerja, yang dua masih duduk dibangku sekolah,” ujarnya sambil menjahit pesanan jahitan.

Ngatumi mengungkapkan bahwa ia bersama keluarga kecilnya ini, menempati huntap ini secara gratis. Tak hanya itu, untuk menunjang pekerjaannya sehari-hari, ia juga mendapatkan semua fasilitas seperti perkakas rumah tangga, alat dapur, serta kebutuhan air dan listrik.

Kondisi ini juga ditunjang dengan lingkungan bertetangga yang sangat baik, serta masjid untuk para warga yang beragama Muslim untuk menunaikan ibadah dan sekolah bagi anak-anak.

Ngatumi berharap kedepan, adanya adanya upaya membuka lahan pekerjaan untuk kaum ibu-ibu agar tetap produktif  di rumah atau tidak jauh dari rumah.

“Karena saya ini menggantungkan kebutuhan hidup dari menjahit ini, yang ordernya itu masih sebatas dilingkungan huntap ini sendiri. Yang notabenenya tidak banyak karena belum banyak yang tahu ada penjahit disini, di kawasan ini,” tukasnya.

Senada dengan Ngatumi saja yang menjadi korban ganasnya bencana awan panas guguran Gunung Semeru. Penyintas lain, Rukmini, warga Kajar Kuning yang kini telah mantab menetap di Lingkungan Hunian Tetap.

“Saya dari (dusun) Kajar Kuning, tinggal disini sejak 2022, dapat waktu (pembagian huntap) tahap pertama. Dapat tempat disini langsung saya tempati, gak pernah tidur di rumah asal, takut ada bencana lagi, kondisi rumah saya rusak parah, hancur bagian depan dan di belakang” tutur Rukmini, mengingat kembali kondisi rumahnya.

Rukmini mengaku tinggal di huntap membuatnya tenang, namun sumber ada kendala seperti penghidupan yang masih berada di dusun asalnya.

“Dari sini cukup jauh. harus pakai motor, Kalau orang tua-tua yang gak bisa naik sepeda itu ya jalan kaki ke Kamar Kajang. Suami itu masih berkebun di kajar kuning, tiap hari kesana, di bekas lahan rumah itu ditanami pisang, Kerjanya kan tebuan, seperti buruh tani Tebu,” Rukmini menjelaskan situasi yang dihadapi saat akan bekerja.

“Banyak warga yang memilih tinggal di sana, yang rumahnya masih bagus, Kamar Kajang, Kajar Kuning, Curah Kobokan itu ada. Pertimbangan pulang perginya untuk kerja itu, waktu sama jaraknya yang jauh,” lanjut Rukmini.

Saat terjadi wedus gembel, warga biasa menyebut awan panas guguran itu, Rukmini beserta suami dan warga langsung melarikan diri menjauh dari arah datangnya awan panas guguran

“Waktu itu saya Cari rumput terus pulang, ngasih makan kambing. Saya pernah diberitahu kalau ada wedus gembel itu, lihat arahnya, nah larinya ke arah lain jalur wedus gembel itu,” kenang Rukmini menceritakan ganasnya bencana kala itu.

Biasanya, Rukmini melanjutkan, saat malam hari, lahar dari kaldera gunung Semeru itu turun kebawah itu adalah pemandangan biasa bagi warga, bahkan bunyi letusan itu adalah hal rutin didengar warga, begitu pula pedar cahaya merah dari semeru kelihatan sebagaimana lazimnya pada gunung berapi aktif.

“Nah waktu kejadian itu gak bunyi, tiba-tiba wedus gembel, itu malah yang bahaya. Dikasih tahu tetangga itu, ya langsung lari, semua ditinggalkan” pungkas Rukmini, menyudahi ingatan kelamnya.

Di kawasan hunian tetap Bumi Damai Semeru itu, Penghuni paling banyak dari Dusun Curah Kobokan dan Dusun Kajar Kuning karena wilayah itu nyaris sepenuhnya hilang tertimbun material muntahan gunung Semeru. Pemerintah melalui SK Bupati Lumajang tentang penyerahan hunian tetap bagi penghuni dan melakukan pelepasan hak alih lahan dari Perhutani.

Penyintas dari Kecamatan Pronojiwo terdiri dari warga Dusun Sumbersari dan Dusun Curah Koboan. Sedangkan dari Kecamatan Candipuro berasal dari Desa Sumberwuluh yang meliputi Dusun Kajar Kuning, Dusun Kebondeli Utara, Dusun Kebondeli Selatan, Dusun Kamar Kajang, Dusun Kampung Renteng dan Desa Jugosari. Ridoi

 

 

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry