PETARUNG : Mbah Mujiono hidup di atas rumah kecil dipenuhi barang rongsokan (M. Fikri)

KEDIRI | duta.co – Orang seperti Mbah Mujiono ini, tidak banyak, bisa dihitung jumlahnya. Dilahirkan sebelum bangsa ini merdeka. Pada di usia 6 tahun, sampai sekarang memorinya masih tajam untuk mengenang gelegar bom para sekutu berikut berondongan suara peluru.

Waktu pun berlalu. Dan kini, Mbah No, sapaan akrab Mujiono (79) warga Jl. Abusono RT. 08 RW. 02 Nomor 20 Kelurahan Ngampel Kecamatan Mojoroto Kota Kediri, menghabiskan sisa waktunya menjadi pemulung untuk bertahan hidup dengan barang rongsokan.

Usia, baginya, tidak bisa menjadi alasan untuk meninggalkan pengabdian kepada bangsa, negara dan juga menjaga para ulama. Meski telah renta, namun semangat hidupnya dibuktikan dengan bergabung menjadi anggota Banser Ranting Ngampel.

Hampir di semua kegiatan di Kota Kediri, sosok kakek bercucu dua ini, selalu tidak lepas dari sepeda unta yang mengantarkan ke mana pun dia pergi.  “Saya dulu menggembala kambing milik Mbah Kiai Mahrus Aly. Saat itu, Tahun 1950, dari Cirebon diminta datang ke Pondok Lirboyo,” tutur Mbah No ditemui di rumahnya, hanya seluas 2 x 4 meter dengan dikelilingi barang rongsokan.

Ikut Diklat Banser di Jombang

Memang, selain mengembala kambing titipan milik para tetangga, Mbah No juga mencari barang bekas berkeliling Kota Kediri dengan berjalan kaki. Barang-barang tersebut kemudian dikumpulkan di rumahnya, lalu ada yang datang untuk mengambil.

Hasil yang didapat dari usaha ini, kisaran Rp900 ribu dalam sebulan. “Ya cukup buat makan sehari–hari, karena ketika sakit sudah mendapat keringanan bantuan dari pemerintah,” kata Mbah No sangat polos.

Penghasilannya juga menyokong kebutuhan anak perempuan dan kedua cucunya yang masih duduk di bangku TK. “Saya mulai  mencari barang bekas sejak Tahun 2006,  setelah ditinggal mati istri. Anak dua, yang pertama laki-laki bekerja di proyek.  Yang kedua perempuan telah lama cerai sama suaminya, tinggal di rumah bersama dua anaknya masih TK,” jelasnya.

Terkait keikutsertaannya di organisasi GP Ansor, jelasnya, ini sudah dijalani sejak Tahun 1943 ketika merantau ke Cirebon, Jawa Barat. Ketekukannya menjadi pasukan Banser sehingga mempertemukannya dengan Mbah Kiai Mahrus Aly tahun 1950. Sedangkan Diklat Banser, ia ikuti sekitar tahun 2000 di Jombang.

Mengabdi kepada Kiai dan organisasi sudah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari hidupnya. Baginya sekali Banser tetap Banser. Seiring meninggalnya Mbah Kiai Mahrus Aly, Mbah Mo memutuskan aktif di organisasi Banser untuk mengisi waktu luangnya. Meski di bawah garis kemiskianan, namun sosok Mbah No tetaplah santun dan terlihat semangat yang luar bisa untuk mengisi waktu sehari–harinya. Tenaganya juga sering dibutuhkan untuk pengamanan acara. (fik/nng)

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry