Ilustrasi: Ka'bah masa lampau. (Foto: Pinterest)
“Ketika dunia masih meraba-raba dalam keremangan peradaban, Arab-Hijaz sudah berbabad-abad lamanya berjibaku dengan sastra, dan sudah mengenal ilmu tata bahasa (linguistik).”

Oleh Aguk Irawan MN*

JAZIRAH Arab, dalam hal ini terkhusus Kota Mekkah adalah wilayah yang sangat penting untuk dibicarakan dalam konteks qablah risalah (sebelum kedatangan islam) dan fathu Mekkah (saat menerima Islam).

Kota ini merupakan satu-satunya di daerah Arab yang belum pernah dijajah oleh kerajaan manapun. Hal ini karena, selain tanahnya yang gersang, tandus dan kurang strategis, juga dilatar belakangi kondisi sosial dengan tingkat kesukuan yang amat kuat. Sehingga kerajaan manapun, akan berpikir dua kali untuk menaklukan.

Pada awalnya Mekkah dikuasai suku Amaliqah, kemudian pindah tangan ke suku Jurhum. Di masa akhir kekuasaan suku Jurhum inilah Nabi Ibrahim as. datang ke Mekkah bersama istrinya Hajar, berikut putra mungilnya Ismail, yang kemudian mengubah kondisi yang gersang menjadi subur, berkat air zam-zam, kemudian menetap di sana.

Kelak, setelah Ismail cukup umur, ia menikah dengan salah seorang putri pembesar suku Jurhum, kemudian dari sinilah lahir Bani Ismail, dan salah satu keturunannya adalah Nabi Muhammad Saw.

Sebagaimana cerita yang sering kita dengar, selanjutnya kisah keluarga itu mendirikan bangunan kubus, berupa Ka’bah sebagai pusat peribadatan agama tauhid. Karena proses perpindahan Mekkah dari gersang menuju subur berkat serangkaian kisah ajaib berupa air zam-zam.

Kemudian penduduk Mekkah menjadikankan Ka’bah dan sekitarnya sebagai tempat suci dan keramat, karena itu hampir semua kerajaan menaruh hormat dan menghargai keberadaannya, kecuali satu kerajaan, yaitu Habasyah, dengan rajanya Abrahah al-Asyram. Tetapi penaklukan Mekkah dan Ka’bah itupun gagal karena serangkaian kisah yang ajaib pula, dengan datangnya burung ababil sebagai pasukan Tuhan. (Syed Amir Ali, The Spirit of Islam, 125)

Karena serangkaian kisah heroik dan mistis itu, keadaan Mekkah begitu terkenal, hingga pada suatu waktu datanglah suku Khuza’ah, dari Negeri Yaman dengan jumlah pasukan yang sangat besar, sehingga berhasil merangsek keberadaan suku Jurhum yang sudah eksis berabad-abad.

Tentu yang menjadi motif utama selain Ka’bah sebagai pusat peribadatan, juga motif ekonomi yaitu Mekkah sebagai pusat perdagangan. Tetapi suku Khuza’ah ini tak sampai lama menguasai Mekkah, sebab suku Quraisy datang menggantikan.

Suku Quraisy ini adalah keturunan dari Bani Ismail yang terkenal dengan sebutan Bani Adnan, dari Bani Adnan inilah muncul nama Fihr Ibnu Malik yang disebut Quraisy, dan salah satu dari keturunannya, lahir Qusai Ibnu Kilab, tokoh inilah yang merebut Mekkah dari tangan Khuzu’ah, kemudian estafet diteruskan oleh Abdul Muthalib, yaitu kakek Nabi Muhammad, tokoh besar yang begitu dihormati. Ia berprofesi sebagai Siqya, yaitu pelayan Ka’bah dan kota suci Mekkah.

Sejak suku Khuza’ah menetap di Mekkah hingga estafet kepemimpinan berganti ke suku Quraisy inilah masyarakat arab pada umumnya, telah berjibaku dengan dunia seni, terutama seni sastra (syair; puisi) dan seni rupa.

Karya Seni Sastra

Zaman Jahiliyah itu, sastra adalah tolak ukur dari segalanya; pengetahuan, juga kehormatan, dan sastrawan atau penyair, menempati tempat yang istimewa di tengah kaum Arab-Jahiliyah. Penyair-penyair ulung dikukuhkan posisinya di atas apapun; ia sang otoritas, orang- orang yang kebetulan menghampirinya di pasar atau di jalan menyambutnya dengan cara memuji-mujinya sambil memberinya sekantong uang, bahkan yang kebetulan tidak punya uang, sampai dengan cara bersujud. (Sulam al-Jumahi, dalam bukunya Thabaqat Fuhul asy-Syuara,37)

Kenapa sampai dengan cara bersujud menghormati penyair? Karena, para penyair dengan puisi-puisinya yang hebat, dapat meninggikan derajat seseorang yang tadinya rendah menjadi mulia, atau merendahkan yang derajatnya tadinya mulia menjadi hina dina.

Quriasy Syihab mengibaratkan kedudukan puisi saat itu seperti media massa pada zaman sekarang yang dapat menyebarkan informasi negatif maupun positif atas posisi seseorang untuk menjatuhkan maupun mengangkatnya.

Memang, ketika dunia masih meraba-raba dalam keremangan peradaban, Arab-Hijaz sudah berbabad-abad lamanya berjibaku dengan sastra, dan sudah mengenal ilmu tata bahasa (linguistik). Beberapa antologi puisi terkenal yang dapat diangap mewakili masa Jahiliyah adalah; muallaqat sab’ah, al-mufaddiliyat, diwan al-Hamasah, hamasah buhtari, kitab al-aghani, mukhtarat dan Jamharat. Bahkan dalam beberapa abad kemudian, puisi-puisi hebat ini pengaruhnya sampai ke tanah Eropa, salah satunya adalah Goethe. (DM. Dunlop, Arab Civilization to AD 1500, 28)

Karya Seni Rupa

Kehidupan keagamaan di wilayah Hijaz secara umum, dan Mekkah secara khusus, pada awalnya penganut agama tauhid (hanif) yang dibawa oleh Nabi Ibrahim As. Kemudian dilanjutkan oleh putranya Nabi Ismail.

Perjalanan hidup Nabi Ibrahim, Istrinya Siti Hajar, dan Putranya Nabi Ismail melahirkan beberapa syariat Islam dan kebudayaan yang sampai sekarang terpelihara. Seperti ka’bah, maqam Ibrahim, dan peristiwa qurban. Bahkan Proses perjalanan kehidupan keluarga ini ditiru dan disimulasikan oleh umat Islam dalam bentuk manasik haji. Manasik haji merupakan rangkai dari usaha ketiga makhluk Allah dalam mendekatkan diri kepada tuhannya yang maham Esa.

Tidak dapat diketahui dengan pasti, sejak kapan ajaran tauhid ini bercampur atau diganti dengan karya seni, berupa patung atau berhala (politheisme). Bebarapa hal yang penting diungkapkan disini menurut al-Faruqi, yang paling penting adalah masyarakat arab selama  berabad-abad sudah punya tradisi mencipta karya seni rupa, berupa patung-patung. Bahkan, dikisahkan, bila ada keluarga yang tidak bisa membuat patung, maka posisi keluarga tersebut di tengah masyarakat menempati sratata yang paling rendah  (Ismail R. Al-Faruqi dan LL. al-Faruqi, The Cultural Atlas of Islam, 63).

Festival Seni di Bulan Haji

Salah satu kebiasaan mereka adalah berkumpul untuk meramaikan festival seni. Menurut Ahmad Syalabi, dalam Mau’suat a-Tarikh al-Islami,ada momentum besar setahun sekali perhelatan festival seni akbar itu diselenggarakan yaitu ketika memasuki bulan dul-qo’dzah dan dzul-hijjah, yaitu berbarengan dengan musim haji. Pada momen itulah masyarakat arab dari berbagai suku  datang dan bersatu padu, tentus selain menjalankan laku ritual, juga berlangsungnya festival seni.

Pusat kegiatan dan area festivalnya adalah di samping Ka’bah sebagai tempat pembukaan dan final, adapun tempat lain yang digunakan dalam helatan ini adalah pasar Ukaz, Wuhaj, Majinnah dan Dzu al-Majaz. Di tempat tersebut, para penyair, sebagai wakil dari suku-suku menampilkan puisi-puisi terbaiknya. Masyarakat yang diwakili sukunya mengelilingi sambil memuji penyairnya dan merasa bangga. Puisi yang dianggap terbaik akan digantung di Ka’bah (muallaqat). (Ahmad Syalabi, Mau’suat a-Tarikh al-Islami, 233-235).

Biasanya selama berlangsung ritual juga berlangsung pula festival sastra dan diikuti pula festival seni rupa, berupa hasil pahatan kayu, logam atau batu, yaitu berupa patung (berhala), dan yang terpilih menjadi terbaik akan diletakkan di samping Ka’bah menemani puisi muallaqat. Selain disandarkan di dinding Ka’bah, patung-patung itu juga diletakkan di tiap gerbang kota, atau pasar-pasar.

Biasanya puisi-puisi yang terpilih sering dari bani Doush, sementara untuk pemahat terpilih lebih sering dari bani Najjar dan Bani Tsaqif. Tak mengherankan, sebab Bani Najjar dikenal sebagai masyarakat pemahat dari kayu dan logam mulia, sementara Bani Tsaqif dikenal dengan masyarakat kerajinan gerabahnya yang unik (dari tanah dan batu-batuan). (Ismail R. Al-Faruqi dan LL. al-Faruqi, The Cultural Atlas of Islam, 105).

Demikianlah bangsa arab yang pernah begitu menghargai karya seni, sampai-sampai pada masanya, cintanya berlebihan pada seni rupa telah berubah menjadi sesembahan, Wallahu’alam bishawab.

*Aguk Irawan MN adalah Pengasuh Pesantren Baitul Kilmah Bantul dan Wakil Sekretaris IPHI DIY.

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry