
“Dunia teks di pesantren dipersempit menjadi sekedar tradisi membaca. Dunia tulis, keberanian memproduksi teori apalagi mendorong teori menjadi terapan, hal sangat asing di dunia pesantren.”
Oleh M Sholeh Basyari*
RABU 5 Februari 2025 adalah puncak peringatan Harlah NU ke-102. Peringatan Harlah kali ini didahului oleh dua kongres: Pendidikan dan Keluarga Maslahat. Pendidikan dan keluarga adalah dua entitas penting lintas peradaban.
Pendidikan secara khusus adalah kata kunci peradaban modern. Sejauh ini, representasi kiprah kependidikan NU mewujud dalam pesantren, madrasah dan belakangan hadirnya universitas NU yang massif.
Hingga era AI (Artificial Integency), kiprah keilmuan madrasah maupun kampus-kampus NU ‘belum’ terlihat jejaknya. Beda halnya dengan pesantren. Pesantren yang bisa disebut sebagai sistem pendidikan Islam khas NU, produk asli Nusantara, telah banyak melahirkan karya dan tokoh.
Sejumlah karya ‘akademisi’ pesantren dikenal luas oleh kalangan terpelajar Islam Indonesia. tafsir Al Ibriz karya Bisri Musthofa, kitab tasawuf Sirajut Thalibin anggitan Ihsan Mohamad Dahlan, Jampes – Kediri maupun kamus Arab Indonesia ‘Al Munawir’, karangan Warson Munawir, adalah sejumlah produk akademisi pesantren.
Menariknya, baik Sirajut Tholibin maupun kamus Almunawir, ‘proses pengerjaanya’ dilakukan ketika penyusunnya belum pernah melakukan perjalanan ke Jazirah Arab, termasuk haji atau umroh sekalipun. Dua karya tersebut benar-benar mengandalkan ‘talenta alam’ belaka.
Setelah era Bisri Musthofa, Ihsan Mohamad Dahlan dan Warson Munawir, muncul generasi terbaru akademisi pesantren dengan karya yang berkelas dalam bahasa arab; Muhammad Afifuddin Dimyathi.
Kiai muda pesantren Darul Ulum Jombang ini mengambil program sarjana hingga doktornya di Kairo dan Khourthum. Di antara karyanya dalam bahasa arab: Mawarid al Bayan fi Ulum al-Qur’an, Ilmu al-Tafsir: Ushuluhu wa Manahijuhu, juga, Al-Syamil fi Balaghah al-Quran.
Lemahnya Tradisi Lisan dan Tulis
Sejumlah pesantren iconik, mengajarkan gramatikal bahasa arab mulai basic (Jurumiyah), intermediate (Imrithi) hingga advance (Alfiyah). Tidak beda dengan gramatikal mana pun, penguasaan nahwu diberbagai tingkatan, tidak saja memiliki tujuan khusus, tetapi juga mencerminkan kemampuan berbahasa seseorang.
Berbahasa dalam konteks lisan (berbicara) maupun tulisan (karya tulis). Capaian seseorang menghafal dan memahami alfiyah Ibnu Malik, yang tidak dibarengi dengan kemampuan berbahasa arab tulis apalagi lisan, adalah hal jenaka dan (sejujurnya) anomali.
Kenapa? Level adcance (alfiyah), dalam konteks pengajaran bahasa apapun, meniscayakan percakapan yang lancar dan tepat dalam berbagai situasi. level gramatikal ini juga idealnya tidak hanya mampu memahami teks yang rumit, tetapi juga penggunaan bahasa arab untuk kepentingan akademis dan profesional. Di atas semua itu, yang tidak kalah penting, seseorang dengan penguasaan alfiyah, niscaya mampu mengemukakan gagasan secara lisan dan tulisan dengan spontan, fasih, dan percaya diri.
Menjadi menarik di sini, adakah yang salah dengan pembelajaran alfiyah kita, sehingga kemampuan hafalan dan pemahaman orang-orang pesantren, tidak linier dengan kecakapan berbicara dan menuangkan gagasan dalam bahasa arab? Ataukah pembelajaran di pesantren secara umum dan alfiyah secara khusus dipersempit ‘hanya’ untuk memahami teks?
Hanya Muhafadzah ala al-Qadim?
Dengan mengambil paragon pengajaran alfiyah di pesantren, memberi gambaran pada kita, bahwa pendidikan pesantren secara umum berorientasi pada al-Muhafadzah ala Qadiim Sholih, ’sekedar’ melestarikan tradisi.
Di era AI, yang berkembang menjadi madzhab Amerika (chatgpt) melawan madzhab China (deepseek), penyempitan kajian keilmuan di pesantren seperti yang tergambar dalam pengajaran alfiyah, idealnya melahirkan pemikir dan intelektual dengan spesialisasi yang kuat.
Penyempitan keilmuan model ini, menjadi benteng tangguh karakter, tradisi dan adat istiadat. Tetapi tidak menghasilkan orang-orang yang mampu menghadirkan al-akhdu bil jadid, orang-orang kreatif yang secara brilian menawarkan kreatifitas dan pembaruan sebagai jawaban atas kekinian.
Keilmuan Pesantren ‘Close Source’
Pendidikan pesantren dengan orientasi utama al-Muhafadzah, makin nampak dengan ciri dan karakter transmisi keilmuan yang berbasis sanad dan ijazah. Dengan transmisi model ini, keilmuan pesantren bersifat “Close Sources”. Transmisi keilmuan ini berbeda dengan model keilmuan di luar pesantren yang umumnya bersifat “Open Sources“.
Dengan close sourse, keilmuan pesantren, kuat mengirim dan mengusung pesan, tidak saja pelestari tradisi, tetapi juga membangun tembok tebal aristokrasi khas keilmuan dalam hinduisme.
Konsepsi keilmuan hinduisme, dibangun di atas kasta. Bahwa yang berhak atas pengembangan dan penguasaan keilmuan adalah hanya mereka yang berkasta brahmana dan ksatria. Merujuk Nurcholish Madjid, gagalnya kita (mayoritas orang Nusantara), mengakses maha karya Sri Aji Joyoboyo, sebab dalam hinduisme, akses terhadap keilmuan menjadi otoritas dua kasta tertinggi tersebut.
Sebaliknya, meski Ihya Ulumuddin, Karya al-Ghazali, pemikir Islam Persia, yang ditulis sezaman dengan Jongko Joyoboyo, hingga kini marak dikaji di seantero pesantren di Nusantara . Nasib Ihya yang bagus dari Jongko Joyoboyo, salah satu sebabnya adalah bahwa keilmuan bagi pemeluk Islam merupakan open Sources.
Juga, sejatinya dengan memilih close resources melalui sistem sanad dan ijazah, spirit untuk mengembangkan keilmuan, tradisi riset serius, yang merupakan etos utama kesarjanaan seta tradisi akademik, pesantren gagal membedakan pelestarian vs pengembangan keilmuan.
Dalam kasus ini, tergambar dari hafal alfitah seakan menjadi goal utama. Padahal alfiyah adakah alat untuk membaca dan menulis. Produktifitas alfiyah diukur dari seberapa banyak karya ditulis oleh para akademisi pesantren?
Penutup
Dunia teks di pesantren dipersempit menjadi sekedar tradisi membaca. Dunia tulis, keberanian memproduksi teori apalagi mendorong teori menjadi terapan, hal sangat asing di dunia pesantren. Padahal buah dari hafal alfiyah adalah pengembangan teori ke arah keilmuan terapan.
Kalau hanya sebagian kecil dunia teks yang dimainkan pesantren, maupun alumni pesantren, bekal apa yang dimiliki untuk bertarung n memenangkan dunia di luar teks? Dunia tambang, dunia bisnis, korporasi, perdagangan internasional,apalagi startup, tidak ada yg berbasis alfiyah. semua berbasis IA.
Lebih dari itu, konsepsi ijazah dan sanad yang sangat rigid sedikit berhadapan sabda kanjeng Rasulullah yang merupakan ‘ijazah mutlak’: Taraktu fiikum Amraini…” Wallahu A’lam. (*)
*Penulis adalah Direktur Ekskutif CSIIS, Dosen Pascasarjana Insuri Ponorogo dan Presidium Nasional FK-GMNU.