Oleh Tomy Michael

 Ketika masyarakat berbicara memberikan kritik kepada pemerintah melalui cuapan di media sosial maka negara merenggutnya. Lantas jika demikian, seberapa bebaskah hidup di Indonesia?

BERBURU kelinci dapat dengan mudah dilakukan di Indonesia. Kelinci disini adalah permasalahan yang muncul setelah orang menunjukkan sikap bebasnya di depan masyarakat umum. Apakah bebas hanya terbatas dengan sikap misalnya seorang perempuan tidak menggunakan baju di pasar umum? Atau bebas itu muncul ketika adanya kesalahan dari pemimpin? Kebebasan di Indonesia sering kali menjadi dasar untuk mengekang kebebasannya. Cukup ngeri ketika berbicara hoaks dan berbicara benar dengan kritikan menjadi sama perlakuannya dalam hukum. Secara normatif juga diatur dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Rpublik Indonesia Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat Di Muka Umum bahwa setiap warga negara, secara perorangan atau kelompok, bebas menyampaikan pendapat sebagai perwujudan hak dan tanggung jawab berdemokrasi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Undang-undang yang muncul setelah orde baru ini sebetulnya ingin mengindisaikan bahwa kebebasan menyampaikan pendapat adalah hal baru di Indonesia. Kebebasan menjadi hal yang membuat negera menjadi takut untuk menghadapinya. Padahal demokrasi pun juga bagian dari kebebasan menyampaikan pendapat yang jamak.

James B Thayer dalam “The Origin and Scope of the American Doctrine of Constitutional Law” mengemukakan bahwa pengadilan agar membatasi diri untuk membuat kebijakan yang menjadi ranah kewenangan legislator, eksekutif dan pembentuk peraturan perundang-undangan lainnya. Saya menggunakan pengadilan sebagai hal yang utama karena seorang hakim diberi kewenangan memutus tanpa ada ikatan dengan apapun. Hakim dalam tradisi civil law dan common law memiliki tradisi yang berbeda namun didalamnya cenderung mendudukkan dirinya sebagai hakim yang berhak dan berwenang untuk memberikan pertimbangan terhadap kebijakan (sosial, politik dan ekonomi). Adakalanya juga hakim membuat aturan hukum berdasarkan pemikiran personalnya. Apakah hal tersebut berlebihan? Nyatanya tidak dan itu diakui secara normatif dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman bahwa Hakim dan Hakim Konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.

Kebebasan yang demikian adalah adil dari sudut pandang hakim sehingga muncul concurring opinion dan dissenting opinion, sedangkan kebulatan suara mereka yang disebut unanimous sering terjadi juga. Namun dari sudut masyarakat, bisa adil ataupun tidak adil.

Kebebasan hakim, masih terkalahkan dengan kebebasan milik presiden. Dengan hak prerogatif yang melekat pada dirinya, hakim dapat mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang. Hak prerogatif ini harus dapat digunakan dengan bijaksana karena hak ini bisa menjadi senjata makan tuan bagi presiden. Presiden yang mengeluarkan namun pihak lain yang membatalkannya.

Ketika lembaga yudisial dan eksekutif memiliki kebebasan yang sebetulnya membebaskan suatu hal maka kebebasan yang dibebaskan tersebut sebenarnya sedang direbut sebagian atau seutuhnya dari pihak yang memiliki kebebasan sebelumnya. Hal-hal demikian mengakibatkan keadaan negara menjadi bebas secara kelembagaan. Kebebasan yang terakhir adalah kebebasan milik lembaga legislatif.

Mengacu Pasal 22E ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 dinyatakan bahwa peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah partai politik. Pasal tersebut menunjukkan bahwa seorang anggota DPR adalah mandat dari partai politik. Jika seseorang tidak memiliki partai politik maka tidak akan bisa menjadi anggota DPR. Kebebasan partai politik tersebut juga terbagi dalam fraksi.

Fraksi yang merupakan representasi makna partai politik sebenarnya di DPR menjadikan kebebasan anggota dalam satu kaki namun di tempat yang berbeda. Anggota DPR yang awal mulanya harus mengetahui hakikat partai politik melalui AD/ART maka harus membatasi kebebasannya karena partai politik yang mengusungnya juga wajib mengawasi anggota-anggotanya di DPR. Pertanggungjawaban yang disebut hak recall ini sebetulnya sarat dengan berbagai kepentingan. Hak recall dapat dimaknai sebagai hak partai politik untuk menarik kembali atau mengusulkan pemberhentian anggota DPR/DPRD dari jabatannya sebelum masa jabatan anggota mereka berakhir. Dari sini terlihat bahwa ketika anggota DPR dikenakan hak recall maka kebebasan masyarakatlah yang dilanggar.

Masyarakat yang memilih secara langsung menjadi terbatasi kebebasannya ketika hak recall terjadi. Jika ketiga lembaga yang menjadi penentu hidupnya Indonesia memiliki kebebasan secara utuh, kebebasan artifisial, kebebasan sebagian ataupun kebebasan alienasi maka seberapa bebaskah kebebasan tersebut dapat dilakukan di Indonesia?

Kebebasan-kebebasan demikian tidak tercermin dalam ketiga lembaga namun dalam bentuk protes masyarakat. Ketika harga bensin naik, maka masyarakat melakukan unjuk rasa. Ketika terjadi penggusuran oleh negara maka masyarakat menggugat negara. Ketika masyarakat berbicara memberikan kritik kepada pemerintah melalui cuapan di media sosial maka negara merenggutnya. Lantas jika demikian, seberapa bebaskah hidup di Indonesia? Pertanyaan tersebut hanya dapat dijawab ketika Anda tidak memikirkan kebebasan sebagai jalan keluar terakhir karena kebebasan yang demikian sebetulnya ketidakmauan seseorang untuk tetap berusaha mencari jalan lainnya. Mungkin kebebasan berpikir dan kebebasan menulis tidak dapat dikekang negara karena bagaimanapun juga makna Pasal 28E ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 tersebut merupakan pasal antara Tuhan dan manusia yang dicintai-Nya.

*Penulis adalah tenaga edukatif FH Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya.

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry