
LAMONGAN | duta.co – Pakar Hukum Ilmu Pidana, Universitas Islam Lamongan (Unisla) Ayu Dian Ningtias SH, MH, berkomentar terkait Komisi III DPR yang menargetkan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) baru dapat berlaku pada 1 Januari 2026.
Hal itu bersamaan dengan mulai berlakunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang direvisi pada 2022.
Menurut Ayu, sapaan akrabnya, KUHAP harus juga disesuaikan, karena KUHP akan diberlakukan pada tahun 2026. “Ini yang perlu dikoreksi adalah tentang penyidikan, ini harus dipahami betul oleh kepolisian dan kejaksaan, dua Lembaga ini merupakan komponen dari Criminal Justice System,” kata Ayu, Sabtu (25/1/25).
Ia mengungkapkan, sistem peradilan pidana itu dimulai dari subsistem kepolisian, Gatekeeper Criminal Justice System loh. Mengutip pendapat Didik Endro Purwoleksono dalam bukunya Hukum Acara Pidana, kepolisian berkaitan erat dengan fungsi represif terhadap kejahatan.
“Kecepatan jajaran kepolisian untuk mengungkap suatu kasus sangat menentukan peran dan kinerja dari subsistem peradilan pidana,” ucapnya.
Pada sistem peradilan pidana, kata dia, terdapat subsistem yang berperan penting dalam mencapi tujuan dari sistem peradilan pidana ini, dimana terdapat empat aparat penegak hukum yaitu (kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan).
Sedangkan kejaksaan, lanjut Ayu, sebagai master of the procedure Criminal Justice System, maka dikatakan Jaksa merupakan penyaring utama untuk perkara-perkara yang diterima dari penyidik manapun.
“Sebenarnya, secara universal, wewenang tersebut atau the power to prosecute berada di tangan Jaksa. KUHAP secara tegas memisahkan tugas antara penyidikan dan penuntutan, dengan penyidikan menjadi bagian tanggung jawab kepolisian,” tutur Ayu.
“Ini bukan bermaksud untuk limitasi, KUHAP menganut sebuah sistem penyelesaian pidana secara terpadu atau integrated criminal justice systems atau integrated criminal justice proces. Sebagai suatu sistem, proses penegakan hukum pidana ditandai dengan adanya diferensiasi (pembedaan) wewenang diantara setiap komponen atau aparat penegak hukum, yaitu polisi sebagai penyidik, kejaksaan sebagai penuntut, dan hakim sebagai aparat yang berwenang mengadili,” imbuh dia.
Diferensiasi tersebut, menurut dia, dimaksudkan agar setiap aparat penegak hukum memahami ruang lingkup serta batas-batas wewenangnya. Dengan demikian, diharapkan di satu sisi tidak terjadi pelaksanaan wewenang yang tumpang tindih, di sisi lain tidak akan ada perkara yang tidak ditangani oleh aparat sama sekali. “Artinya ketika ada perkara, ada aparat yang khusus menanganinya,” tandasnya. (ard)