M. Shoim Anwar (dok/duta.co)

Oleh :  M. Shoim Anwar, Sastrawan, dosen Universitas Adi Buana Suarabaya

Akhir bulan September  hingga  Oktober adalah bulan penting dalam sejarah  Indonesia. Sejarah seharusnya adalah fakta. Sejarah adalah peristiwa yang benar-benar terjadi dan bukan opini, tapi sejarah  sering diperdebatkan, bahkan diubah, karena berbagai kepentingan. Teks sejarah berada dalam ketegangan  dalam mencapai kemapanan. Jika begitu, kehadiran karya sastra yang mengangkat peristiwa bersejarah menjadi penting karena tidak dapat diusik pihak lain.

Karya sastra adalah bagian dari teks sejarah. Sebelum Sumpah Pemuda dikumandangkan pada 28 Oktober 1928, Mohammad Yamin telah menulis puisi panjang pada 26 Oktober 1928 dengan judul “Indonesia, Tumpah Darahku”. Puisi ini pula yang nantinya dikristalkan menjadi teks Sumpah Pemuda.

Sejarah adalah jejak kehidupan dalam berbangsa. Pada sejarah kita  belajar kehidupan. Jangan sekali-kali melupakan sejarah (Jasmerah) adalah akronim penting yang pernah dilontarkan Bung Karno. Terhadap  pertistiswa bersejarah yang paling pahit pun, generasi sesudahnya perlu memahami agar tidak  terperosok ke lubang yang sama.

Rentang pascakemerdekaan  hingga sekarang adalah sejarah kontemporer. Para pelaku atau saksi sejarah masih banyak yang hidup. Pertarungan sengit sejarah justru terjadi saat di sini. Berbagai kepentingan, baik dari pelaku sejarah maupun keluarga/kelompoknya, diperebutkan antara yang pro dan yang kontra. Mereka berebut menjadi “hero”, dengan harapan citra positif akan terus melekat pada mereka.

Perkataan  bahwa sejarah disetir oleh pihak yang berkuasa sudah lazim kita dengar.  Peran intelektual dan sejarawan ditantang untuk tetap memegang fakta sejarah. Jika mereka terlanjur dikooptasi/ditekan/dihegemoni oleh penguasa, karya sastra pada zamannya menjadi penting.   Penguasa akan berusaha keras menghapus citra buruk yang melibatkan kelompoknya.  Sebelum reformasi tahun 1998, tiap akhir bulan September TVRI selalu memutar film Pengkhiatan G30S PKI yang diproduksi tahun 1984. Pascareformasi, film itu tidak lagi diputar oleh TVRI. Yang memutar justru beberapa  teve swasta dan kanal perseorangan di media sosial.

Gerakan 30S/PKI adalah peristiwa nyata. Pelaku dan saksi sejarah banyak yang masih hidup. Peristiwa itu mulai dikaburkan pada buku pelajaran sejarah Indonesia untuk SMP dan SMA berdasar Kurikulum 2004 dengan tidak mencantumkan “Partai Komunis Indonesia/PKI” untuk peristiwa Pemberontakan Madiun 1948 dan Gerakan 30 September 1965. Kejaksaan Agung pada bulan Maret 2007 melarang penerbitan dan peredaran buku-buku di atas karena dinilai meresahkan dan  mengingkari fakta sejarah.

Tahun 2003 buku Kaum Merah Menjarah karya sejarawan Aminudin Kasdi secara diam-diam “dihilangkan” dari pasaran. Buku itu dengan jelas mengungkap aksi sepihak PKI/BTI di Jawa Timur tahun 1960-1965. Ada pihak-pihak yang tidak suka dengan buku tersebut.  Pernah ramai diberitakan bahwa Rancangan Undang-undang Haluan Ideologi Pancasila (2020) yang diusulkan Fraksi PDIP tidak mencantumkan Tap MPRS No. XXV Tahun 1966 tentang pembubaran dan pelarangan PKI. Sementara itu Mantan Panglima TNI, Jendral (Purn) Gatot Nurmantyo, tahun 2021 lalu menyatakan bahwa deorama   G30S PKI di Markas Kostrat (Jakarta) dikabarkan  “hilang”.

Taufiq Ismail dan D.S. Moeljanto, sebagai sastrawan dan saksi sejarah, meluncurkan buku Prahara Budaya: Kilas-Balik Ofensif Lekta/PKI dkk. (1985) dan Katastrofi Mendunia (2004) untuk meyakinkan kita. Pengarang menyajikan fakta bahwa PKI beserta gerakannya benar-benar ada. Buku-buku tersebut berisi surat-surat, puisi, berita, artikel, tajuk rencana, bahkan karikatur yang dimuat  oleh media massa  berhaluan komunis sebelum tahun 1966.  Penulis kedua buku tersebut mulai merasakan adanya pihak-pihak yang ingin memanipulasi sejarah.

Indonesia memiliki pengarang sekaligus saksi sejarah yang menulis karya sastra bersumber dari peristiwa sejarah kontemporer. Keberadaan PKI beserta gerakannya mengilhami Umar Kayam menulis cerpen  Sri Sumarah, Bawuk, Musim Gugur Kembali di Connecticut (1975), juga novel Para Priyayi (1992) dan Jalan Menikung (2000).  Satyagraha Hoerip  menulis tema serupa melalui  cerpen Pada Titik Kulminasi (1966). Hal serupa dilakukan Ahmad Tohari melalui novel Kubah (1980), Ronggeng Dukuh Paruk (1982), Jantera Bianglala (1986), serta Lintang Kemukus Dini Hari (1988). Prof.Dr.H.Soekemi,M.A., melalui bukunya Sang Guru: Catatan Biografis (2007), khususnya bab “Bercak-bercak Darah Madiun Affairs” melukiskan kesaksiannya pada gerakan dan kekejaman PKI di Madiun dan sekitarnya sebelum tahun 1966.  Buku-buku di atas, juga buku-buku sejenis lainnya, dapat dirujuk pula sebagai teks sejarah, sebagai teks tandingan jika buku-buku sejarah diselewengkan.

 Usaha berebut citra dengan mengaburkan peristiwa sejarah tidak selalu terkait dengan sesuatu yang negatif. Pandangan politis yang berbeda dapat mengakibatkan “tumpes kelor”, yakni menghilangkan segala jejak/peninggalan/jasa dari penguasa  terdahulu. Khalayak dunia banyak yang mengenal BJ Habibie sebagai ilmuwan di bidang kedirgantaraan,  karya-karya dan hak  patennya diakui, di samping pernah menjabat menteri, wakil presiden, dan presiden.  Tapi, pernah ramai diberitakan,  jejak kepakaran dan jasanya justru dihilangkan di linimasa Iptek di Markas Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN). BJ Habibie adalah bagian dari sejarah kontemporer. Dia dikagumi kecerdasan dan keahliannya hingga saat ini.Tidak mengapresiasi terhadapnya adalah sikap yang culas karena memberangus sejarah iptek di negeri ini.

Sejarah tidak hanya  bersumber dari tulisan para sejarawan, termasuk sejarah Indonesia pada bulan September dan Oktober di masa lampau. Karya sastra dapat memberi informasi sejarah secara lebih mandiri.  Isi buku sejarah bisa diganti oleh rezim yang berkuasa, tapi karya sastra yang sudah beredar akan menjadi catatan tanding.  Sastra dan luka sejarah akan terus berada dalam wacana kita. (*)

 

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry