Suasana Seminar Nasional Sarung Nusantara di Gedung PBNU, Jakarta Pusat. (Duta.co/Huda)

JAKARTA | duta.co – Indonesia dikenal sebagai negara yang kaya akan keberagaman agama, suku, bahasa, seni bahkan sampai pakaian. Dari segi pakaian, sarung sudah ada di Indonesia sejak ratusan tahun yang lalu.

Sarung bukan hanya menjadi simbol perlawanan kolonialisme, tetapi juga telah menjelma menjadi simbol dan identitas budaya Nusantara. Selain itu, sarung yang identik dengan santri juga mampu membentuk akhlak luhur sebab secara nyata digunakan untuk beribadah, ngaji, dan kegiatan-kegiatan positif lainnya.

“Sarung sejak ratusan tahun yang lalu sudah menjadi bagian hidup orang Indonesia, seminar ini juga untuk melestarikan budaya Nusantara,” ujar Ketua Panitia Seminar Nasional Sarung Nusantara H Muiz Ali Murtadho mengawali sambutannya di Gedung PBNU, Jakarta Pusat, Kamis (6/4)

Dalam seminarnya, Guru Besar UIN Maulana Malik Ibrahim Malang, Imam Suprayogo mengungkapkan bahwa sarung mempunyai banyak fungsi ketika dipakai. Ia menyontohkan santri di pesantren yang selama ini lekat dengan sarung di berbagai kegiatannya.

“Jika sudah memakai sarung, maka tidak perlu memakai celana karena ia sudah bisa menggantikan celana. Sarung juga bisa menggantikan selimut, maka dari itu tidak ada santri yang memakai selimut. Sarung itulah selimut mereka,” paparnya di hadapan ratusan undangan yang mayoritas bersarung.

Ia menerangkan, sarung yang dipakai santri dan masyarakat Indonesia pada umumnya tidak hanya berhasil menjadikan identitas budaya, tetapi juga mampu menumbuhkan akhlak baik. Selain dipakai oleh orang-orang mulia seperti kiai, sarung juga mampu menundukkan santri dari hal-hal negatif.

Berbeda dengan Imam Suprayogo, Budayawan sekaligus Bupati Purwakarta, Dedi Mulyadi mengurai sarung secara filosofis, terutama dalam perspektif budaya Sunda. Dia mengartikan sarung dengan mengurai kata “Sa” dan “Rung”.

“Sa dalam bahasa Sunda berarti tidak terbatas, berlebihan. Ini sifat dasar manusia yang di dalam dirinya mengandung tanah, air, udara, dan api. Sudah mempunyai sertifikat tanah, tetapi manusia terus ingin memperlebar kepemilikan tanahnya,” ujar Kang Dedi, sapaan akrabnya.

Begitu juga dengan air, imbuhnya, manusia mempunyai kecenderungan memompa air sebanyak-banyaknya, padahal yang diminum hanya dua gelas. Menurutnya, udara dan api juga sama yang jika dimanfaatkan atau dikuasai secara belebihan akan mendatangkan bencana.

“Sebab itu diteruskan dengan kata ‘Rung’, artinya dikurung. Segala ketamakan manusia yang terdapat dalam keempat unsur tersebut berusaha dibatasi atau dikurung,” jelas Kepala Daerah yang mempunyai misi penguatan seni dan budaya Indonesia dalam tata kelola pemerintahannya ini.

Sementara itu, Ketua Lesbumi PBNU KH Agus Sunyoto memaparkan sarung secara historis. Ia mengungkapkan bahwa sebetulnya sarung lahir dari bangsa Yaman. Tetapi bangsa Indonesia berhasil memodifikasi sarung sesuai dengan identitas lokal masing-masing dari orang-orang Nusantara sejak dulu.

Sebab itu, lanjutnya,  kain sarung yang lahir dari sejumlah suku di Indonesia mempunyai nama-nama yang berbeda seperti di antaranya Songket yang banyak diproduksi di sejumlah daerah, Ulos di Sumatera Utara. “Tapis di Lampung, dan sarung tenun yang terdapat di berbagai wilayah di Indonesia,” pungkasnya. (hud)