
dr Marinda Dwi Puspitarini, M.Si – Dosen Fakultas Kedokteran (FK)
DI tengah meningkatnya kekhawatiran akan penyebaran Tuberkulosis (TBC) di lingkungan padat, sebuah ide inspiratif muncul dari Pondok Pesantren Hidayatulloh Al-Muhajirin, Bangkalan.
Sebuah program bertajuk “Remaja Sehat Tanpa TBC” yang digagas oleh dr. Marinda Dwi Puspitarini, M.Si bersama tim dari Fakultas Kedokteran UNUSA, membawa angin segar bagi upaya pencegahan TBC di kalangan remaja.
Edukasi dan Skrining Terpadu untuk Santri
Program ini mengintegrasikan edukasi kesehatan dengan aktivitas skrining dan kampanye perilaku hidup bersih dan sehat. Kegiatan dimulai dengan pretest untuk mengukur pengetahuan awal para santri mengenai gejala, cara penularan, dan pencegahan TBC.
Setelah itu, santri mengikuti sesi edukasi interaktif yang mencakup materi tentang Cara penularan TBC melalui droplet udara, Gejala awal yang harus diwaspadai, Teknik etika batuk dan bersin, Pentingnya ventilasi dan kebersihan lingkungan dan Peran gizi dalam meningkatkan daya tahan tubuh.
Sesi edukasi disampaikan dalam bentuk penyuluhan, diskusi, kuis interaktif, serta pemutaran video dan infografis menarik. Materi juga dikaitkan dengan ajaran keislaman sehingga mudah diterima oleh santri. Setelah sesi selesai, dilakukan posttest untuk mengevaluasi peningkatan pemahaman santri. Hasilnya cukup menggembirakan: mayoritas santri menunjukkan peningkatan skor pemahaman lebih dari 30% dibanding sebelum mengikuti sesi.
Selain edukasi, program ini juga menyertakan skrining kesehatan fisik yang meliputi: Pengukuran berat badan (BB), Tinggi badan (TB), Tekanan darah (tensi), Konsultasi awal dengan tenaga medis, Pemeriksaan gejala TBC seperti batuk kronis dan penurunan berat badan, dan Pengobatan.
Menuju Pesantren Sehat Bebas TBC
Melalui pendekatan edukatif, pemeriksaan dini, dan pelibatan komunitas pesantren, kampanye “Remaja Sehat Tanpa TBC” diharapkan dapat menjadi model nasional dalam pencegahan penyakit menular berbasis pesantren. Tahun 2026, program ini ditargetkan direplikasi ke berbagai wilayah di Indonesia sebagai bagian dari upaya menurunkan prevalensi TBC nasional. Kami ingin membuktikan bahwa pesantren bukan hanya pusat pendidikan agama, tetapi juga garda depan dalam mewujudkan generasi sehat.
Program ini juga membuka ruang kolaborasi antara pesantren, tenaga kesehatan, dan institusi pendidikan tinggi. Mahasiswa UNUSA yang terlibat tidak hanya mendapatkan pengalaman lapangan dalam edukasi kesehatan masyarakat, tetapi juga memperkuat keterampilan komunikasi, kepemimpinan, dan empati sosial.
Melalui pendekatan partisipatif ini, kegiatan pengabdian tidak hanya menyasar perubahan perilaku individu, tetapi juga mendorong transformasi budaya kesehatan kolektif di lingkungan pesantren. Kolaborasi lintas sektor ini menjadi bukti bahwa pemberdayaan komunitas adalah kunci utama dalam memutus mata rantai penularan TBC. *