
JOMBANG | duta.co — Suasana aula tempat bedah buku KH. Abdul Wahab Hasbullah Pendiri NU, Penggerak NKRI karya H. Abdul Mun’im DZ terasa hangat sekaligus penuh energi, Sabtu (27/9/25). Deretan kursi terisi tokoh, aktivis, hingga santri muda yang larut dalam kisah perjuangan Mbah Wahab, pendiri NU sekaligus penggerak nasionalisme Indonesia.
Di tengah diskusi, muncul refleksi kritis: banyak kader NU hari ini cenderung pasif. Mereka hanya menjadi penonton atau sekadar “buzzer” istilah lokal untuk penyemangat tanpa peran nyata. Padahal, sejak awal, NU lahir dari denyut perjuangan politik dan nasionalisme aktif.
KH. Abdul Wahab Hasbullah, yang akrab disebut Mbah Wahab, bahkan pernah masuk dalam pusaran politik Nasakom. Bagi beliau, agama dan negara bukanlah dua hal yang dipisahkan. “Kebutuhan negara adalah amanah keagamaan,” begitu kira-kira semangat yang tergambar dalam buku itu.
Zainul Munasikin, anggota DPR RI dari Fraksi PKB, tampak bersemangat ketika menegaskan pesan Mbah Wahab. “Kalau sholat saja itu tidak cukup menjadi santri ala Mbah Wahab,” ujarnya, disambut anggukan peserta. Baginya, santri harus hadir dengan intelektual, sosial, dan politik yang matang, bukan sekadar mengaji lalu diam di pinggir panggung kebangsaan.
“Pemikiran Mbah Wahab sangat relevan dalam menghadapi konsolidasi dan tantangan kebangsaan masa kini,” tambah alumni MAN 3 Jombang dan Pesantren Bahrul Ulum Tambakberas ini.
Ia mengajak para peserta beda buku, dari santri hingga aktivis muda NU, diajak mengingat kembali bahwa dalam sejarah NU, aktivitas keulamaan dan politik tak pernah bisa dipisahkan. Warisan Mbah Wahab menjadi tantangan baru: jangan berhenti di tepian, tapi turun ke gelanggang. (din)





































