Tampak kiai KH Miftahul Akhyar (dua dari kiri) bersama KH Makruf Amin (dua dari kanan) dalam sebuah acara. (FT/Fiqhmenjawab)

SURABAYA | duta.co  — Wakil Rais Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU),  KH Miftahul Akhyar, menolak keras isi kesaksian KH Ishomuddin untuk meringankan terdakwa Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok di persidangan kasus dugaan penistaan agama yang digelar di Auditorum Kementan Jakarta Selatan, Selasa (21/3/2017).

“Andaikan kami diberi waktu bersaksi setelah Pak Ishom, tentu argumentasinya akan terjawab semua, sebagaimana dia mau me-nol-kan argumen-argumen saksi sebelumnya,” demikian disampaikan KH Miftahul Akhyar, kepada duta.co Kamis (23/03/2017).

Menurut Kiai Miftah, kata Auliya dalam QS al-Maidah 51 itu harusnya, kalau dimaknai menjadikan nonmuslim sebagai teman setia saja, tidak boleh, apalagi dijadikan sebagai pemimpin.  Ini jelas, pendapat ulama NU tersebut berasal dari kitab tafsir karya Imam Aulawi, Imam Al Qurtubi, Imam Ibnu Athiya, Imam Hambal hingga Imam Haromain.

“Memangnya Gus Ishom itu lebih alim dan faqih keilmuannya daripada para imam-imam pengarang kitab tafsir tersebut. Kaidah tafsir al Maidah 51 bukan terletak pada Asbanun Nuzul, tetapi pada keumuman indikasi,” jelas Kiai Miftah.

Ijtihad para ulama NU, lanjutnya, juga mengkaitkan tafsir QS al Maidah 51 dengan ayat yang lain, seperti QS an-Nisa 138-139 terkait larang orang muslim membantu nonmuslim dalam hal tertentu karena bisa dianggap munafik. Atau QS al Imron 118 terkait larangan menjadikan orang nonmuslim sebagai bithonah (teman kepercayaan).

Jadi?  Menurut Kiai Miftah, langkah Gus Ishom yang tidak mengindahkan peringatan PBNU, dengan sengaja hadir menjadi saksi meringankan terdakwa Ahok, jelas merupakan bentuk pelanggaran berat terhadap organisasi.

“Semua pengurus PBNU sudah faham dan harus paham, selain tahu aturan Tatib dalam menyampaikan pandangan hukum. Kalau NU sebesar ini, lalu pengurusnya semaunya sendiri dengan dalih ‘tidak boleh ada diskriminasi’, maka rusaklah sebuah organisasi, dan ini sangat memalukan,” tambah Wakil Rais Aam PBNU ini.

Menurut mantan Rais Syuriah PWNU Jatim, Tatib NU sudah jelas, menyatakan, bahwa pengurus NU dalam berpandangan harus mengacu atau tidak boleh bertentangan dengan hasil keputusan Muktamar, Munas, jajaran syuriah dan atau tujuh orang yang sudah digariskan dalam Tatib.

“Di antara ketujuh orang yang pendapatnya menjadi rujukan pengurus NU dalam berpendapat, yakni Rais Aam, Katib Aam, Ketua Umum, Wakil Ketua Umum dan Sekjen PBNU,” terang pengasuh Ponpes Miftahus Sunnah, Kedung Pengkol, Surabaya.

Ia juga menegaskan bahwa pengurus NU di berbagai tingkatan, tidak bisa melepaskan diri secara pribadi. Sebab jika dipisahkan, itu sama halnya dengan orang munafik karena penyataan di dalam organisasi bilang begini, dan di luar organisasi bilang begitu.

Terlebih saat dilantik atau baiat sebagai pengurus NU, di situ disebutkan bahwa antara pribadi dan pengurus adalah satu kesatuan. Ini jelas. “Baiat pengurus NU menggunakan kalimat syahadatain dan atau kutipan-kutipan ayat Alquran, itu berdampak mengikat para pengurus. Dengan berbaiat, berarti pengurus telah berjanji untuk melaksanakan amanah organisasi,” ungkap Kiai Miftahul Akhyar.

Ia juga berharap seluruh pengurus NU mematuhi, Anggaran Dasar, dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) NU dan segala peraturan organisasi, serta menaati fatwa para ulama, untuk kepentingan NU, kepentingan umat Islam, kepentingan bangsa dan negara, serta bertindak dalam kapasitas pribadi, maupun organisasi.

“Apalagi sebagai syuriah atau owner NU, kalau sampai berani melepaskan kapasitas pribadi dan organisasi itu sangat memalukan dan pencideraan terhadap NU,” tegasnya.

Kiai Miftah memastikan ada sanksi terhadap Gus Ishom, karena ini pelanggaran berat. Namun PBNU belum rapat untuk memutuskan sanksi yang harus diterima karena masih ada kesibukan. “Kiai Makruf masih ada di Medan dan saya bersama Syech Ali Marbun ada di Sibolga untuk mendampingi presiden dalam peresmian titik nol kilometer,” ungkapnya.

Menurut Kiai Miftah, sikap tegas PBNU, khususnya syuriah sangat diperlukan agar pengurus NU tidak menjadi liberal. Kalau dibiarkan akan menular ke pengurus yang lain di masa depan, sehingga membahayakan NU.  “Syuriah PBNU harus tegas seperti zaman Mbah Bisri. Subhan ZE tetap harus tunduk pada Mbah Bisri, bahkan ketika muncul SK pemecatan, dia masih begitu hormat kepada Mbah Bisri,” jelasnya.

Senada, Syech Ali Marbun salah seorang pengurus PBNU lainnya menambahkan bahwa pengurus NU itu jabatan otomatis yang selalu melekat para pribadi seseorang, termasuk Gus Ishom. “Tak ada haknya dia (Gus Ishom,red) menjawab itu karena sudah ada Rais Aam yang berpendapat itu. Sebab NU itu organisasi, kalau semua pengurus ditanya lalu menjawab walaupun dia tidak paham betul dengan ilmu tafsir, tentu jawabnya akan berbeda dan bisa membahayakan organisasi,” pungkasnya. (ud)

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry