KH Ali Mstawa
KH Ali Mstawa

Belum reda isu pelecehan ulama menyusul ‘kesombongan’ Ahok dan pengacaranya terhadap KH Ma’ruf Amin,  kini umat Islam sudah digegerkan dengan pendataan ulama yang dilakukan polisi. Ini mengingatkan aksi serupa menjelang G30-S/PKI. Lalu, untuk apa polisi sibuk mendata kiai?

 

“Alhamdulillah, belakangan Babinsa ‘rajin’ jumatan. Saya tidak tahu, apakah itu bagian dari kerja intel atau tidak. Tetapi, yang jelas, sekarang para kiai sedang mempertanyakan kerja polisi yang sedang mendata ulama. Untuk apa?” demikian disampaikan salah seorang kiai di daerah Jombang kepada Duta, Sabtu (04/02/2017) kemarin.

 

Dua hari sebelumnya, dunia medsos (media sosial) sempat diramaikan dengan foto yang diunggah oleh seorang netizen bernama Irfan Yusuf. Belakangan data foto itu sudah dihapus. Dalam tulisan di Facebook, Irfan Yusuf menulis sebagai berikut:

“Gambar yang saya upload beberapa hari lalu direspon kawan-kawan dengan berbagai tafsir. Alhamdulillah pesan ‘tersirat’ sudah dipahami. Semalam gambar sudah saya delete, agar tidak semakin ‘ramai’. Cukup ‘Engkoh’ itu saja yang bikin ramai,” tulisnya di Facebook.

Gus Irfan Yusuf (kanan). (FT/duta)

Berhenti? Tidak, berikutnya justru beredar surat (perintah) telegram atas nama Kapolda Jatim di media sosial. Surat tertanggal 30 Januari 2017 itu menambah hebohnya isu pendataan ulama. Maklum, isinya sama, permintaan daftar nama para ulama berpengaruh di jajaran Polda Jatim. Masih dari surat itu, kerja polisi ini  dideadline sampai Rabu 1 Februari 2017.

Belakangan Mohamad Irfan Yusuf, sepupu Gus Solah (KH Salahuddin Wahid) yang juga merupakan putra KH Yusuf Hasyim, menyoal aksi pendataan kiai.

Pengasuh Pondok Pesantren Al Farros, Cukir, Kecamatan Diwek, Kabupaten Jombang ini, menyebut pendataan yang dilakukan polisi mirip menjelang peristiwa G30S/PKI.

Hal itu bukan tanpa sebab, menurut cucu pendiri NU KH Hasyim As’ary ini, baru pertama kali selama 30 tahun menjadi pengasuh pesantren ada pendataan ulama. “Ini kan aneh, semenjak saya menjadi pengasuh pesantren baru pertama kali ada pendataan seperti ini,” ungkapnya kepada wartawan.

Fenomena pendataan ulama ini, mirip dengan situasi menjelang meletusnya Gerakan G 30/S PKI yang berakhir pada penculikan oleh kelompok makar. Dengan demikian, tidak salah, kalau para kiai mempertanyakannya. “Jadi kekhawatiran ini bukan tanpa alasan,” jelas cucu almaghfurlah KH Hasyim As’ary ini.

Menurut Gus Irfan, pendataan yang ditujukan kepada para kiai ini sangat meresahkan.  Pasalnya, dari form pendataan yang ditinggalkan petugas polisi, ada beberapa pertanyaan yang dinilai ada keganjilan di kalangan para kiai.

Formulir itu berisikan sejumlah data terkait aktivitas kiai dan pondok pesantren diantaranya nama dan tempat tanggal lahir kiai, pendidikan kiai, uraian singkat pondok pesantren, dan jumlah santri. Menariknya dalam formulir itu juga dirumuskan terkait aktivitas kiai di bidang politik dan pemerintahan serta pejabat mana saja yang berkunjung ke ponpes.

Kekhawatiran ini juga dialami oleh pengasuh lainnya, karena tak hanya satu pesantren. “Pengasuh Pondok Pesantren (Ponpes) Tebuireng, Kecamatan Diwek Jombang juga mengalami hal yang sama. Ada sekitar 4 Kiai pimpinan pondok yang juga sama khawatir atas pendataan ini,” pungkasnya.

Ternyata tidak hanya di Jombang, daerah lain juga dilakukan hal yang sama. Sebagaimana ditulis media Malangtimes setelah melakukan penelusuran terkait formulir tersebut di Kota Malang. Kasat Binmas Polres Malang Kota AKP Wisnu Setiyawan Kuncoro menjelaskan bahwa sebelum postingan itu viral di Facebook, Polres Malang Kota sudah lama melakukan pendataan tokoh agama dan masyarakat yang berpengaruh di Malang.

Wisnu menjelaskan pendataan kiai tidak ada hubungannya dengan situasi politik dan agama yang sedang hangat di Jakarta.

“Sudah ada jauh sebelum berita ini ramai, yakni pendapaat tokoh berpengaruh atau tidak. Kembali lagi kepada tupoksi kami sesuai UU. Yang salah satunya memelihara Hankamtibmas. Dalam lingkup kecil yaitu di Malang Kota,” jelasnya.

Walau tak menjelaskan detail seperti apa pendataan yang dilakukan di Kota Malang, Wisnu meyakinkan bahwa bukan saja para kiai (pesantren) yang didata.  Gereja pun didata. Pendeta juga dilakukan pendataan. Seorang sumber di gereja yang berada di kawasan Alun-alun Kota Malang menyebut bahwa pernah dua kali polisi datang dan bertanya nama pendeta di gereja tersebut.

Apakah ini terkait dengan kebijakan pusat? Entah, yang jelas, Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin bersama anggota DPR pernah membahas soal sertifikasi khotib. Itu terjadi ketika rapat dengar pendapat dengan Komisi VIII DPR, Senin (30/1) akhir bulan kemarin.

Salah satu hal yang dibahas adalah sertifikasi khatib. Pemerintah rupanya merasa kewalahan dengan materi khotbah jumat yang kadang kelewat melenceng. Dalam rapat kerja tersebut, Lukman mengatakan usulan sertifikasi khatib muncul karena banyak penceramah yang justru saling mencela atau menciptakan kegaduhan. Namun, ia menilai pemerintah tidak bisa langsung menyetujui sertifikasi khatib karena Indonesia bukan negara agama formal.

“Akhirnya Kemenag ambil titik moderat. Kaitannya dengan salat Jumat misalnya, karena khutbah tidak bisa dipisahkan dengan salat. Ini jadi prioritas. Fokus pada khatib salat Jumat,” ujar Lukman seusai raker di Gedung DPR, Jalan Gatot Subroto, Jakarta Selatan.

 

Menurut Lukman, Kemenag tidak punya niat sedikit pun membatasi orang yang ingin berceramah. Ia mengatakan standardisasi bukanlah domain pemerintah. “Kita tidak mau mengatur yang kaitannya dengan batas kompetensi atau kualitas yang harus dipenuhi. Itu domain ulama,” jelasnya.

Ia melanjutkan jika posisi pemerintah dalam hal ini hanya sebagai fasilitator. Pemerintah hanya akan memediasi ormas-ormas. Tapi, rumusan soal kualifikasi diserahkan kepada ulama. “Baru nanti dibuat kebijakan-kebijakan,” ujarnya.

Berbeda dengan pemerintah, Komisi VIII justru mendesak adanya sertifikasi bagi khatib. Anggota Komisi VIII dari fraksi PAN Desy Ratnasari mengkhawatirkan kondisi masyarakat jika tidak ada khatib yang memenuhi standar. Di akhir rapat, Komisi VIII mengusulkan agar istilah sertifikasi diganti menjadi peningkatan kompetensi dan kapasitas pemuka agama.

 Pemerintah menanggapi positif-positif saja usulan tersebut. Lukman mengatakan peningkatan kompetensi lebih bisa diterima dibandingkan sertifikasi. “Ada kekhawatiran karena terminologi sertifikasi yang punya konotasi negatif, seakan-akan pemerintah mau ikut mengintervensi.”

Lalu apa kaitannya dengan kerja polisi? Apakah pendataan itu terkait dengan sertifikasi? Kapolres Jombang AKBP Agung Marliyanto, menjelaskan, bahwa polisi tidak memiliki maksud untuk membatasi ulama. Agung justru minta maaf kepada para kiai dan ulama atas kesalahpahaman mengenai pendataan terhadap para ulama di wilayah Kabupaten Jombang.

Menurut Kapolres yang terjadi sebenarnya hanyalah pendataan terhadap potensi wilayah yang ada di masyarakat bukan khusus terhadap para kiai.

“Bisa data potensi bencana, harga-harga kebutuhan pokok, nama-nama tokoh masyarakat dan masih banyak lagi,” jelas Kapolres kepada wartawan.

Kapolres juga menambahkan, bahwa, dalam menjalankan tugaslah Babinkamtibmas selaku pemegang wilayah. Kendati begitu bukan ulamanya yang harus diberi angket dan disuruh mengisi seperti yang terjadi di wilayah Kecamatan Diwek sehingga membuat sejumlah kiai resah.

AKBP Agung Marlianto juga menolak anggapan bahwa pendataan tersebut sebagaimana yang terjadi pada zaman PKI. Menurutnya, yang terjadi hanyalah pendataan terhadap potensi wilayah yang ada di masyarakat. “Mungkin ada kesalahan teknis dalam hal pendataan di lapangan yang dilakukan oleh anggota kepolisian. Atas kesalahpahaman ini, kami meminta maaf kepada para kiai,” pungkasnya.

Di samping itu, yang perlu dijelaskan adalah terbitnya surat telegram (ST) dari Kapolda Jatim. ST ini sudah beredar luas di medsos. Isinya sama, sejalan dengan pendataan para ulama berpengaruh.  Surat bernomor: ST/209/1/2017/RO SDM ini  memberikan deadline sampai Rabu, tanggal 1 Februari 2017. Apalagi sejumlah daerah sudah melakukannya.

Menanggapi kegaduhan ini, Kapolda Jatim Irjen Pol Machfud Arifin, langsung menggelar pertemuan dengan KH Salahuddin Wahid (Gus Solah), pengasuh Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang. Keduanya menggelar pertemuan tertutup di kediaman Gus Solah. Dalam pertemuan ini juga dihadiri Bupati Jombang Nyono Suherli.

Kabid Humas Polda Jatim Kombes Pol F Barung Mangera kepada wartawan mengatakan, pertemuan tersebut adalah silaturahim dengan para ulama yang dilakukan oleh Kapolda. “Silaturahmi, ini diterima langsung oleh pengasuh ponpes,” kata Barung.

Barung mengatakan, pertemuan ini adalah meminta masukan dan pendapat dari para ulama guna menentukan langkah-langkah pihak kepolisian untuk menjalankan tugas-tugas Kamtibmas.  Setelah dari Ponpes Tebuireng ini, rombongan Kapolda menuju Ponpes Shidiqiyah di Desa Ploso, Kecamatan Ploso, Kabupaten Jombang. Di tempat tersebut Kapolda bertemu dengan KH Muchtar Muhti.

Ketika ditanya apakah pertemuan dengan para ulama ini terkiat isu pendataan ulama di Jombang yang dilakukan oleh pihak kepolisian, Barung menegaskan, isu tersebut sudah dikonfirmasi oleh Kapolda Jatim.  “Sudah dikonfirmasi tadi. Beliau (Kapolda) minta maaf, mendata ulama adalah untuk sowan dan silaturahim,” pungkasnya.

Gus Solah sendiri sempat menyayangkan tindakan kepolisian yang mendata para kiai di Jombang, Jawa Timur. Gus Solah menjelaskan, para kiai dan pesantren saat ini masih cukup trauma dengan pengalaman buruk yang pernah terjadi pada masa PKI atau orde baru, sehingga seharusnya polisi tidak melakukan hal tersebut.

“Saya sempat kecewa atas adanya pendataan yang dilakukan polisi. Wajar jika para kiai merasa resah karena tidak tahu maksud dan tujuan dari pendataan itu ,” kata adik kandung Gus Dur ini.

Gus Solah kemudian menuturkan, di pesantren yang dipimpinnya beberapa waktu  lalu juga didatangi polisi yang meminta dirinya menuliskan biodata secara lengkap. Ironisnya, form biodatanya dititipkan di pos keamanan pondok pesantren.

“Sikap polisi seperti itu sangat tidak etis. Jika memang ingin data, seharusnya polisi yang bersangkutan menyampaikan maksud dan tujuan dari pendataan terlebih dahulu, tidak serta merta meminta begitu saja,” ujar pengasuh Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang ini sebagaimana dikutip panjimas.

Sementara Ketua PWNU Jawa Timur KH Hasan Mutawakkil Alallah, saat dikonfirmasi mengatakan bahwa pendataan tersebut  untuk proses sertifikasi khatib di masjid-masjid.

“Pak Kapolda sudah bertemu saya dan bertemu beberapa  ulama di Jatim, beliau mengatakan untuk pendataan  sertifikasi ulama,”ujar Kiai Mutawakkil sambil menjelaskan bahwa pendataan seperti ini, memang sangat mungkin terjadi kesalahpahaman.

Diakui oleh Kiai Mutawakkil, bahwa, program sertifikasi khotib ini memang menjadi wacana kementrian agama.  Mengenai sertifikasi tersebut, lanjutnya, karena masih banyak para khatib yang isi ceramahnya seperti garis keras, sehingga bisa membahayakan persatuan dan kesatuan bangsa, ancaman bagi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Kalau ini maksudnya, maka, pemerintah semestinya menggunakan standar yang bagus, tidak bisa dengan gebyah uyah. Pemerintah melalui badan intelejennya mestinya sudah memiliki peta ulama garis keras yang notabene anti NKRI.

“Lha kalau ini tujuannya, maka, pemerintah tidak perlu mengawasi kiai-kiai NU. Mengapa? Karena salah satu tugas kiai NU itu menjaga NKRI. Ibarat emas, NU itu 24 karat, demi keutuhan NKRI. Jadi tidak perlu buang-buang energy untuk mengawasi ulama-ulama (pesantren) NU,” jelas KH Ali Mustawa, pengasuh PP Syahlaniyah, Krian, Sidoarjo kepada Duta, Sabtu (04/02/2017).

Di sisi lain, masih menurut Kiai Ali, panggilan akrabnya, kalau pemerintah ingin meningkatkan kwalitas khotib, maka, cukup dengan pembekalan, tidak perlu pendataan.

“Sudah ada takmir masjid. Takmir masjid ini memiliki ortoritas penuh untuk menentukan siapa yang bakal berkhotbah. Kalau khotib itu tidak bermutu, maka, takmir tidak akan memakai. Nah, kalau pemerintah mau menitipkan misi NKRI, cukup dengan pembekalan, toh mereka-mereka ini (para khotib NU) sudah sangat NKRI,” tambahnya.

Hal yang sama disampaikan Wakil Presiden M Jusuf Kalla. Menurut JK, panggilan akrabnya, keinginan Kementerian Agama melakukan sertifikasi khatib Jumat bukanlah persoalan mudah. Alasannya, masjid di Indonesia dibangun dan dimiliki oleh masyarakat, bukan pemerintah.

“Kalau pemerintah merencanakan sertifikasi, ya, mungkin kalau itu dilakukan, ya, memang tidak terlalu mudah memang, karena masjid saja ada hampir 1 juta. Jadi mubalighnya bisa 2-3 jutaan, imam, macam-macam,” kata JK di kantor Wakil Presiden, Jalan Medan Merdeka Utara, Jakarta.

JK yang juga Ketua Umum Dewan Masjid Indonesia (DMI) mengatakan, masjid yang ada di Indonesia dimiliki masyarakat. Di dunia ini, kata dia, ada sekitar dua sampai tiga negara di mana masjid dibangun dan dimiliki secara swadaya oleh masyarakat. Negara tersebut adalah Indonesia, Pakistan, dan India. Di negara lainnya, masjid dimiliki dan diatur negara. Ini terjadi di Malaysia, Brunei, dan negara-negara Timur Tengah, seperti Arab Saudi, Kuwait, Mesir, Turki.

Kepemilikan masjid oleh masyarakat itu, kata JK, membuat dakwah di Indonesia itu menjadi dakwah komunitas. “Dakwah dilakukan oleh masyarakat, sehingga tidak mudah untuk mengatur itu,” jelasnya.

Kondisi ini berbeda dengan di Malaysia di mana khutbah tersentralisasi. Khutbah Jumat di seluruh masjid dibikin sama di Kuala Lumpur. Ini bisa terjadi karena imam-imam masjid di Malaysia adalah pegawai pemerintah. “Karena masjid itu dibangun pemerintah semua,” katanya.

Alih-alih membuat sertifikasi, Kalla mengatakan yang sebenarnya dibutuhkan adalah klasifikasi khatib. Ini pula yang dilakukan DMI melalui aplikasi Masjidku. Dalam aplikasi tersebut, terdapat menu klasifikasi penceramah yang mempunyai keahlian di bidang tertentu, misalnya tafsir, fikih, dan lain sebagainya. Ini membuat masyarakat yang ingin mengundang penceramah menjadi lebih mudah menemukannya.

“Kalau Anda lihat aplikasi di masjidku, di situ ada. Baru mulai Jakarta Masjidku. Masjid di mana, khotib juga ketahuan, sehingga nanti secara tidak sadar akan terjadi klasifikasi,” kata Kalla.

Menurut Kalla, selain tidak mudah melakukan sertifikasi, sebenarnya masyarakat juga mempunyai seleksi sendiri untuk mendatangkan khatib. “Kalau ada mubaligh yang keras, sebenarnya itu hanya penilaian masyarakat. Kalau dia terlalu macam-macam, ya, tidak diundang oleh masyarakat, gitu saja,” kata Kalla. (hud,sov)

 

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry