Oleh: Suparto Wijoyo *

PEKAN-PEKAN ke depan sangat sayang dilewatkan tanpa menyimak laku aktor politik yang kian kentara. Rakyat dibuat sibuk memutarkan bola mata untuk mampu mengenali siapa calon pemimpin yang hendak berlaga.

Jelang pendaftaran Capres-Cawapres yang diusung “sakgendong sakpikulan” sama-sama bermain silat yang tetap saja ada misteri di dalamnya. Para calon itu saling intip untuk kemudian jumpa pers membusungkan cita  kerumunannya yang tangguh. Baru pada era rezim ini terjadi kelindan para penyokong  yang tidak pernah tahu juntrungannya tetapi terus dipelihara dalam perang medsos untuk “memperkusi” pihak yang tidak seperhaluan.

Istilah yang dirujuk dan disematkan  menampilan olok-olok yang tidak sepatutnya dan itu dimulai dari titik singgsana yang dikukuhi untuk dipertahankan. Kaum akademisi dan para pengkritik sosial terlihat “berkedurung” untuk aman dalam dekapan kepangkatan dengan rajin-rajinlah membuat tulisan di jurnal yang bereputasi saja. Mahasiswa terpotret nyaris tanpa daya untuk memberikan peran selaku pemanggul kekuatan intelektual dan moral. Situasinya menjadi kelam secara nalar dengan kerja-kerja-kerja mengerjakan tugas-tugas perkuliahan sambil “ngopi” tanpa perlu lagi menjaga daulat rakyat.

NU Jatim Sebagai Obor Penerang tidak Tergerhanai Kekuasaan

Kenaikan harga-harga pangan dan rupiah yang terlindas kedigdayaan dolar sejatinya merintihkan perihnya negara. Rupiah hadir tanpa daulat apa pun sebelum akhirnya pasrah terseret pusaran ekonomi global yang digunakan sebagai alasan pembenar atas terpelantingnya harga diri bangsa. Sementara itu saya menyaksi situasi ini lebih senyap dari masa NKK-BKK yang saya turut menikmatinya tetapi masih memiliki kelonggaran untuk menyelenggarakan panggung pengawalan atas nasib penderitaan rakyat. Mahasiswa yang terjaring dalam kelambu SKS sejurus waktu tersedot dayanya dengan kewajiban-kewajiban untuk menjadi anak manis yang duduk rapi meski tumpahan air mata rakyat itu sedemikian dahsyatnya. Kaum tani sudah  terseok untuk mampu membeli air dan pupuk guna menyegarkan tanamannya.

Semua kekuatan sedang fokus ke arah mempertahankan jabatan dengan sang petahana yang tidak hendak bergeser dari kursi dampar kencono. Pemegang kekuasaan terlihat ‘gupuh’ untuk menjamu pengurus parpol agar tidak lari digondol orang lain. Dia memanfaatkan iklim kuasa yang menyorotkan pendar cahaya agar laron-laron itu menggerubutinya.

Sedemikian kentaranya bahwa para punggawa itu merendahkan dirinya dengan menjadi laron yang menempuh jalan panjang memenuhi undangan agar dapat makan bersama orang yang tidak menjadi inti partai sekalipun. Kenapa tidak ada niatan untuk merapatkan diri sesama ketua partai menjadi orang nomor wahid yang diperebutkan. Dari sinilah kita semua mendengar meski samar-samar bahwa semua sedang tersandera atau menyanderakan dirinya.

Dalam lingkup itulah biar saja saya menyimak dengan hasil Musyawarah Wilayah NU Jatim dengan menghadirkan pengurus baru. Saya percaya para kiai dan santri yang ketiban sampur mandat umat dapat membawa NU Jatim sebagai obor penerang yang tidak tergerhanai kekuasaan. Walaupun secara personal pengurus itu punya pilihan tetapi mampu bertindak bijaksana sesuai dengan Khittah NU 1926. Pelajaran Pilgub kemarin di mana sang  petinggi NU Jatim turun maqom sebagai penyuara untuk mendukung pasangan tertentu sangatlah berharga sekadar dikenang.

Suasananya memang berbarengan dengan helatan nasional yang selalu menarik perhatian. Hadirnya Ijtima Ulama’ dan Tokoh Nasional di Jakarta 27-29 Juli 2018 yang menghasilkan rekomendasi berbagai bidang itu mengerucut pula kepada sosok calon presiden dan calon wakil presiden. Ada kekuatan baru dalam gerakan yang memberikan konstruksi sosial keumatan bagi kehidupan NKRI. Kini semua pihak harus menoleh ulama dengan segala tipologinya tetapi yang jelas adalah semua hendak mendarmakan baktinya bagi kebaikan Indonesia. Ketua-ketua partai politik saling melempar senyum untuk “menggantang silaturahmi” membentuk koalisi guna Pilpres 2019 nanti.

Adakah itu adalah wujud dari safari paripurna sebagaimana seorang ibu yang pergi malam hari ke toko dan tak kembali lagi karena di perjalanan ketemu para bandit. Apa yang terjadi? Aku tak tahu, Ayahku pun pergi pada suatu hari dan tak pernah kembali; tetapi ia ikut perang? Begitu  ceritanya dimulai dalam kisah Safari Paripurna yang termuat di buku “Jump and Other Stories” karya Nadine Gordimer, Peraih Hadiah Nobel 1991.

Kisah yang dipungkasi dengan narasi besar bahwa setiap kita memang akan pergi untuk tidak kembali atau justru kembali kepada Sang Abadi. Mari terus kita eja setiap gerakan para pemungut kekuasaan itu dengan degup keagungan bahwa dia sedang menempuh safari pamungkasnya hendak berbakti. Para caleg dan capres-cawapres berebutlah untuk memberi yang terbaik pada rakyat negeri ini. Hanya yang seperti itulah yang sejatinya layak dipilih karena berintegritas tinggi. Selamat bertanding.

* Kolomnis, Akademisi Fakultas Hukum, dan Koordinator Magister Sains Hukum & Pembangunan Sekolah Pascasarjana Universitas Airlangga

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry