Tampak suasana sidang yang digelar di PN Surabaya. Kedua pihak, baik jaksa maupun tim penasehat hukum terdakwa saling klaim keyakinan mereka soal fakta hukum. (DUTA.CO/Henoch Kurniawan)

SURABAYA  | duta.co — Pihak jaksa maupun tim penasehat hukum terdakwa perkara Sipoa saling klaim soal keyakinan mereka terhadap proses hukum yang sedang berjalan. Setelah pihak jaksa merasa yakin dapat menjerat pidana terdakwa Budi Santoso dan Klemens Sukarno Candra, kini giliran tim penasehat hukum mengungkapkan ada upaya ‘perampokan’ aset PT Bumi Samudra Jedine (Sipoa Group) senilai Rp 800 miliar.

Ketua Tim Kuasa Hukum Sipoa Grup Sabron D Pasaribu mengatakan, dalam sidang semakin terkuak adanya fakta terjadi kriminalisasi dalam perkara ini.

Modusnya, kata dia, kedua terdakwa ditahan dan dipaksa menjual dengan harga hanya Rp 150 miliar kepada konsorsium beberapa orang yang dikenal sebagai mafia Surabaya. Semakin kental pula indikasi kedua terdakwa telah menjadi korban ‘peradilan sesat’. Dalam perkara ini juga terjadi error in pesona (keliru mengenai orang dimaksud melakukan perbuatan) dalam penetapan tersangka terhadap Budi Santoso dan Klemens Sukarno Candra.

Menurut Sabron, perkara pidana penipuan dan penggelapan yang menjadikan kedua kliennya menjadi terdakwa ini, sepanjang sejarah peradilan di Indonesia tergolong aneh dan langka. JPU mendakwa kedua terdakwa telah melakukan penipuan dan penggelapan terhadap 73 orang konsumen apartemen Alfatar World yang menjadi pelapor dalam perkara ini, dengan nilai kerugian korban sebesar  Rp 12,5 miliar.

Namun lucunya, harta benda milik kedua terdakwa yang disita oleh penyidik nilainya mencapai Rp 800 miliar, berupa sebidang tanah dengan status  HGB No. 71/Desa Kedungrejo, Kecamatan Waru, Kabupaten Sidoardjo, Luas 59.924 m2, berikut 2500 tiang pancang dan izin-izin yang telah diterbitkan, yang di atasnya akan dibangun  14 Tower Apartemen Royal Afatar World.

Lazimnyam lanjut dia, dalam perkara penipuan dan penggelapan, nilai kerugian korban jauh lebih besar dari harta benda milik pelaku yang disita penyidik.  “Sejak awal kasus ini tak lebih merupakan sebuah modus ‘perampokan asset’ yang dilakukan para mafia, dengan memakai tangan aparat penegak hukum. Kini majelis hakim yang cuci ‘piring kotor’nya,” ujar Sabron lagi.

Di depan majelis hakim kedua terdakwa menjelaskan secara runtut apa yang sejatinya terjadi dalam perkara ini. Menurut keterangan terdakwa Budi Santoso, sejak tahun 2013 hingga 2015, PT. Bumi Samudra Jedine mengalami 3 kali perubahan direksi. Ir. Klemens Sukarno Candra menjabat sebagai Dirut pada 26  Juli 2013, berdasarkan Akte No. 135, hingga  tanggal 17 Februari 2014. Kemudian  Yudi Hartanto menjadi Dirut, berdasarkan Akte No.  30 tanggal 17 Februari 2014, hingga April 2015. Dan dari bulan April tahun 2015 hingga kini terdakwa Budi Santoso menduduki jabatan Dirut, berdasarkan Akte Berita Acara Rapat PT. Bumi Samudra Jedine Nomor: 75 RUPS, tanggal 27 April 2015.

Menurut Budi Santoso, pada periode kepemimpinan Ir. Klemens Sukarno Chandra membukukan hasil penjualan unit sebesar Rp. 22,141,572,500,-. Pada periode Yudi Hartanto sebesar  Rp 120,32,184,205.  Sedangkan pada periode Dirut Budi Santoso sebesar  Rp 19.238.725.471.

Menurut Budi Santoso, kondisi persero sudah mengalami krisis liquiditas, pada saat dirinya ditetapkan sebagai Dirut PT. Bumi Samudra Jedine, berdasarkan Akte Berita Acara Rapat PT. Bumi Samudra Jedine Nomor: 75 RUPS, tanggal 27 April 2015. Menurutnya, krisis liquiditas inilah yang menjadi faktor penyebab terjadinya keterlambatan serah terima unit kepada konsumen apartemen Alfatar.

“Kas PT. Bumi Samudra Jedine kosong ketika saya mulai menjabat Dirut. Penyebabnya, ada  kebijakan Dirut Yudi Hartanto pada tahun 2014-2015, yang melakukan pengeluaran uang besar-besaran hingga mencapai sebesar Rp 180 miliar, dan mengalir ke Teguh Kinarto dan kawan-kawan. Di dalamnya mayoritas terdapat uang konsumen. Uang modal persero sebesar Rp 20 miliar pula ikut terbawa keluar. Antara lain mengalir kepada: (1) Tee Teguh Kinarto dan Widjijono (PT. Solid Gold Prima) sebesar Rp 60 miliar, (2) Widjijono Nurhadi sebesar Rp 20,2 miliar, (3) Nurhadi Sunyoto sebesar Rp 10,38 miliar, (4) Harikono Soebagyo sebesar Rp 41,140 miliar (5)  Miftahur Royan (LDII) sebesar Rp 31,1 miliar”. Hal ini memaksa kami harus berjuang mencari investor baru,” ujar Budi Santoso lagi.

Ketika dipertanyakan, apakah tidak ada upaya mediasi dengan 73 orang konsumen yang membuat laporan pidana ke Polda Jawa Timur sebelum perkara ini bergulir ke pengadilan? Budi Santoso menjawab, sebenarnya atas bantuan kawannya di Jakarta, persero telah memiliki kesiapan dana sebesar Rp 12,5 miliar, sesuai besarnya jumlah dana yang diperlukan untuk kepentingan refund 73 orang konsumen yang melapor ke Polda Jawa Timur.

Hal ini dimaksudkan agar dirinya bersama Ir. Klemens Sukarno Candra memperoleh Surat Penghentian Penyidikan (SP3) dari penyidik.

Lantaran sudah ada preseden hukum sebelumnya dimana penyidik menerbitkannya Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) No: S.Tap/59/III/RES.1.11/2018/Ditreskrimum tanggal 29 Maret 2018, terkait Laporan Polisi: LBP/009/I/2018/UM/JATIM tanggal 4 Januari 2018 atas nama Pelapor Siti Nurbaya, SH sebagai kuasa hukum Agus Sadono, pemesan unit apartemen Royal Afatar World E1623, sesuai surat pesanan No. 2746/SP-TAW/E1623/I/2015, tanggal 20 Februari 2015, dengan pertimbangan telah dilakukan refund (pengembalian uang) sebesar Rp 342.365.661,- kepada pihak pelapor.

Namun apa lacur yang terjadi, kepemimpinan Polda Jawa Timur yang lama menolak, dan persero diminta menyiapkan uang sebesar Tp. 162 miliar,  dengan dalih  untuk refund 1104 orang konsumen.

“Permintaan ini agak janggal, karena persero tak siap dengan dana Rp 162 miliar, dalam perkembangan berikutnya kami berdua ditahan penyidik. Setelah ditahan kegiatan operasional persero termasuk upaya untuk menghadirkan investor baru terkendala” ujarnya.

Namun menurutnya, meskipun direksinya tengah dipenjara, Sipoa Group berkomitmen untuk tetap memberikan refund kepada konsumen yang menginginkan, dengan memberikan jaminan asset yang dimiliki persero. ”Sampai saat ini sudah 35 orang konsumen yang telah menerima refund. Dan 200 konsumen dari Tim Baik-Baik (TB2) menerima jaminan pengembalian refund, dan 300 orang konsumen lagi yang sudah menyatakan bergabung dengan paguyuban TB2,” ujarnya lagi.

Sementara itu Sabron menyesalkan tidak dihadirkannya 9 orang saksi penting di persidangan, termasuk saksi Yudi Hartanto, mantan Dirut PT. Bumi Samudra Jedine periode 2014-2015 yang mengeluarkan kebijakan keluarnya uang persero sebanyak Rp 180 miliar, yang seharusnya duduk menjadi terdakwa dalam persidangan ini. ”Akhirnya perkara ini seperti plesetan judul film: Terdakwa yang Tertukar,” ujarnya lagi.

Masih Sabron, bukti-bukti yang dipakai JPU tidak memberikan gambaran adanya melawan hukum pidana yang didakwakan. Hubungan hukum yang terjadi antara PT. Bumi Samudra Jedine dengan pihak-pihak Pelapor adalah hubungan keperdataan, didasari dengan Surat Pesanan yang dilakukan dengan itikad baik, sebagai developer penyedia apartemen Royal Afatar Wolrd. Bahwa benar telah terjadinya keterlambatan dalam penyerahan unit antara PT. Bumi Samudra Jedine kepada pihak konsumen (pelapor) namun hal ini   bukan merupakan tindak pidana, melainkan suatu tindakan  wanpretasi sebagaimana diatur dalam Pasal 1234 KUHPerdata : “Perikatan ditujukan untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu ”.

Adanya peristiwa keterlambatan penyerahan unit, tidak berarti Budi Santoso dan Ir. Klemens Sukarno Candra berniat melakukan penipuan dan penggelapan, sebab PT. Bumi Samudra Jedine selaku pengembang sudah memiliki Izin Lokasi berdasarkan Putusan Bupati Sidoarjo Nomor 188/2/404.1.3.2/2014, dan telah dilakukan pemasangan tiang pancang sebanyak 2500 buah. (eno)

 

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry