Prihandoyo Kuswanto (FT/IST)
“…Ini yang tidak dibaca oleh pengamandemen UUD 1945. Dengan begitu, bagi bangsa ini, harus berjihad mengembalikan UUD 1945 Asli. Ini keharusan bagi kita yang mencintai Indonesia.”
Oleh Prihandoyo Kuswanto*

DIUBAHNYA Pasal 1 Ayat 2, itu sama dengan meruntuhkan bangunan NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia). Aliran pemikiran, sebagaimana dalam UUD (Undang Undang Dasar 1945) mewujud dalam bentuk Lembaga Tertinggi Negara, yaitu MPR  (Majelis Permusyawaratan Rakyat). MPR ini pemegang kekuasaan tertinggi di Negara Republik Indonesia.

Di dalam Sidang II BPUPKI, Panitia Kecil Perancang UUD, setelah mengkaji belasan konstitusi dari negara-negara merdeka dan berpengaruh di dunia, seperti Konstitusi-konstitusi USA, Inggris, Weimar (nama sebelum menjadi Jerman), Jermania, Perancis, Belanda, Cekoslovakia, Jepang, Philipina, Uni Sovyet, Burma, dan lain-lain, BPUPKI kemudian memilih sistem sendiri dalam ketata-negaraannya. Yang kemudian dikenal oleh dunia pada saat itu adalah sistem presidensial (sebagaimana dianut USA) dan sistem parlementer yang dianut Inggris.

Tetapi, sistem presidensial ala USA, ditolak. Begitu juga sistem parlementer ala Inggris juga ditolak. Panitia kecil perancang UUD, kemudian menciptakan apa yang kemudian disebut dengan Sistem Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). MPR ini sengaja dirancang sebagai penjelmaan dari seluruh rakyat Indonesia.

Nah, sistem MPR ini diyakini merupakan perwujudan dari kedaulatan rakyat, bukan kedaulatan individu. Kedaulatan rakyat di dalam keanekaragaman rakyat Indonesia yang berbhinneka, baik dalam suku, agama, ras, serta bahasa.

Di dalam MPR ini lah seluruh rakyat Indonesia — melalui wakil-wakilnya — berkumpul atau dikumpulkan (collecting) untuk melakukan permusyawaratan guna merumuskan haluan negara (GBHN). Mereka memilih dan meminta pertanggungjawaban presiden dan wakil presiden, serta membuat dan mengubah Undang-undang Dasar.

Kedaulatan rakyat (jelas) bukan kedaulatan individu. Artinya kedaulatan rakyat dalam pengertian jamak, bukan individu. Sesuai dengan sifat sosial dari masyarakat yang hidup dalam kelompok-kelompok, maka, dengan keterwakilan dari kelompok-kelompok, golongan-golongan itulah rakyat terwakili kedaulatannya di lembaga yang bernama MPR.

Karena itulah, MPR di dalam ketatanegaraan Negara Republik Indonesia sebagai lembaga tertinggi negara. Sebagai lembaga tertinggi negara, MPR tidak bersidang setiap saat atau setiap tahun, tetapi sekurang-kurangnya sekali dalam lima tahun.

Ini harus dipahami, mengingat MPR sebenarnya bukanlah lembaga politik, seperti Presiden (eksekutif), DPR (legislatif), dan Mahkamah Agung (yudikatif), melainkan lembaga yang menjadi sumber dari kekuasaan dan kedaulatan bagi lembaga-lembaga di bawah MPR (representasi kedaulatan rakyat).

Lembaga-lembaga di bawah MPR adalah lembaga-lembaga tinggi negara yang, bekerja setiap hari dan, setiap saat sesuai dengan haluan negara yang telah ditentukan dan diamanahkan kepada lembaga-lembaga negara tersebut.

Nah, sebagai lembaga perwujudan seluruh rakyat Indonesia, MPR disusun dengan keanggotaan tersendiri, terdiri dari Anggota DPR, utusan-utusan Daerah, dan utusan-utusan Golongan. Oleh karena itu, anggota MPR akan menjadi sangat besar, sehingga MPR tidak perlu bersidang setiap saat. MPR bersidang sekurang-kurangnya sekali dalam lima tahun.

Menjadi menarik mencermati penggunaan istilah “utusan-utusan” dalam susunan anggota MPR. Utusan-utusan ini maksudnya adalah bahwa ‘utusan-utusan’ tersebut datang ke Jakarta hanya ketika bersidang setiap sekurang-kurangnya sekali dalam lima tahun sesuai dengan ketentuan UUD, atau ketika situasi dalam kondisi tertentu sehingga pimpinan MPR memanggil anggota MPR untuk bersidang.

Jadi, setelah Sidang 5 tahunan selesai, utusan-utusan daerah dan utusan-utusan golongan ini kembali ke tempat masing-masing. Setelah itu menjadi kewajiban dari lembaga-lembaga tinggi negara dalam menyelenggarakan pemerintahan dengan mengacu kepada Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) yang telah dibuat dan ditetapkan oleh Sidang MPR.

Sistem MPR sebagai sistem sendiri, sebagai bentuk kreatif dari founding fathers dalam merancang bangunan ketatanegaraan Negara Republik Indonesia.

Dengan memahami hal ini, maka, ketika UUD Pasal 1 ayat 2, yang semula berbunyi, “Kedaulatan ada ditangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat”, lalu, diamandemen sehingga bunyinya “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-undang Dasar”, maka, saat itulah bangunan Negara Kesatuan Republik Indonesia runtuh, ambruk. Susah payah para founding fathers dalam merancang bangunan ketatanegaraan, pun menjadi sirna.

Mengapa? Dalam sistem presidensial seperti sekarang ini (versi UUD 2002) kedaulatan rakyat menjadi kabur. Kedaulatan rakyat dalam sistem presidensial (versi UUD 2002) telah diterjemahkan menjadi kedaulatan individu (dengan memilih langsung presiden dan kepala daerah). Kedaulatan rakyat dikaburkan menjadi pemilihan langsung presiden dan kepala daerah. Celakanya, dalam sistem presidensial ini, presiden menjalankan politiknya sendiri, bukan menjalankan politik rakyat.

Dalam sistem MPR (versi UUD 1945 Naskah Asli) kehendak rakyat yang sebenarnya, melalui wakil-wakilnya, kemudian dimusyawarahkan sehingga menjadi ‘politik rakyat’ dalam bentuk haluan negara (GBHN) yang harus dijalankan oleh mandataris (presiden yang dipilih oleh MPR).

Jadi dalam sistem MPR ini, presiden seharusnya tidak boleh menjalankan politiknya sendiri, melainkan harus menjalankan politik rakyat yang tertuang di dalam GBHN. Dengan sistem seperti ini, maka MPR dapat meminta pertanggungjawaban presiden selaku mandataris MPR jika diketahui presiden telah melanggar atau menyimpang dari GBHN.

Di sisi lain, DPR dengan sistem ini (UUD 1945 Naskah Asli) pun memiliki standar parameter dalam melakukan pengawasan (controlling) terhadap pelaksanaan GBHN oleh Presiden.

Sekarang, kita kita harus berjuang untuk kembali pada Konstitusi Proklamasi, karena kita tahu sejarahnya, Undang-Undang Dasar itu adalah Undan-Undang dasar yang seperti diucapkan Bung Karno dalam laporan pembahasan UUD pada sidang BPUPKI. Kurang lebihnya seperti ini:

Alangkah keramatnja, toean2 dan njonja2 jang terhormat, oendang2 dasar bagi sesoeatoe bangsa. Tidakkah oendang2 sesoeatoe bangsa itoe biasanja didahoeloei lebih doeloe, sebeloem dia lahir, dengan pertentangan paham jang maha hebat, dengan perselisihan pendirian2 jang maha hebat, bahkan kadang2 dengan revolutie jang maha hebat, dengan pertoempahan darah jang maha hebat, sehingga sering kali sesoeatoe bangsa melahirkan dia poenja oendang2 dasar itoe dengan sesoenggoehnja di dalam laoeatan darah dan laoetan air mata.

Oleh karena itoe njatalah bahwa sesoeatoe oendang2 dasar sebenarnja adalah satoe hal jang amat keramat bagi sesoeatoe rakjat, dan djika kita poen hendak menetapkan oendang2 dasar kita, kita perloe mengingatkan kekeramatan pekerdjaan itoe.

Dan oleh karena itoe kita beberapa hari jang laloe sadar akan pentingnja dan keramatnja pekerdjaan kita itoe. Kita beberapa hari jang laloe memohon petoendjoek kepada Allah S.W.T., mohon dipimpin Allah S.W.T., mengoetjapkan: Rabana, ihdinasjsiratal moestaqiem, siratal lazina anamta alaihim, ghoiril maghadoebi alaihim waladhalin.

Dengan pimpinan Allah S.W.T., kita telah menentoekan bentoek daripada oendang2 dasar kita, bentoeknja negara kita, jaitoe sebagai jang tertoelis atau soedah dipoetoeskan: Indonesia Merdeka adalah satoe Republik. Maka terhoeboeng dengan itoe poen pasal 1 daripada rantjangan oendang2 dasar jang kita persembahkan ini boenjinja: “Negara Indonesia ialah Negara Kesatoean jang berbentoek Republik.”…..” 

Jadi? Sangat yakinlah kita bahwa UUD 1945 itu dibuat bukan dengan sementara, dengan singkat, tetapi dengan izin Allah Swt. Hal inilah yang tidak dibaca oleh pengamandemen UUD 1945. Dengan begitu, bagi bangsa ini, harus berjihad mengembalikan UUD 1945 Asli. Ini keharusan bagi kita yang mencintai Indonesia.(*)

*Prihandoyo Kuswanto  adalah Ketua Pusat Studi Rumah Pancasila

 

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry