
“Langkah solutif yang dapat diambil adalah dengan membuka ruang diskusi lebih luas melalui mekanisme public hearing yang lebih inklusif. Pemerintah dan DPR harus mengadopsi prinsip deliberative democracy.”
Oleh Galih F Qurbany*
REVISI Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI) menjadi perdebatan serius, menyita perhatian publik. Sejumlah pihak mencemaskan potensi kembalinya dwifungsi militer, sementara pemerintah dan DPR berargumen bahwa perubahan ini bertujuan menyesuaikan TNI dengan dinamika global serta tantangan kontemporer.
Namun, di tengah perdebatan ini, satu hal yang tidak boleh diabaikan adalah esensi dari supremasi sipil dalam demokrasi dan profesionalisme militer dalam negara hukum.
Samuel P. Huntington dalam The Soldier and the State (1957) menegaskan bahwa hubungan sipil-militer dalam negara demokratis harus didasarkan pada prinsip “objective control“, di mana militer tetap profesional dan tunduk pada otoritas sipil tanpa intervensi dalam ranah politik dan pemerintahan.
Dalam konteks revisi UU TNI, prinsip ini harus dijadikan rujukan utama agar tidak terjadi distorsi yang justru mereduksi nilai demokrasi yang telah diperjuangkan sejak Reformasi 1998.
Kekhawatiran masyarakat terhadap revisi ini bukan tanpa dasar. Usulan perubahan Pasal 47 Ayat (2) yang memperluas jabatan sipil bagi prajurit aktif dari 10 menjadi 16 institusi berpotensi melanggar prinsip profesionalisme dan supremasi sipil.
Dalam sistem demokrasi yang sehat, militer seharusnya memiliki peran terbatas dalam ranah non-militer guna menghindari tumpang tindih kewenangan dengan institusi sipil yang telah memiliki fungsi dan otoritas yang jelas.
Pelibatan militer dalam jabatan-jabatan sipil secara masif dapat mengarah pada “civil-military fusion“, yang dalam jangka panjang justru melemahkan demokrasi dan tata kelola pemerintahan yang berbasis rule of law.
Selain itu, revisi ini juga memasukkan ketentuan tentang peningkatan tugas non-perang, termasuk dalam pemberantasan narkoba dan kejahatan siber. Secara substansi, gagasan ini berangkat dari urgensi ancaman keamanan non-tradisional yang semakin kompleks.
Namun, tanpa batasan yang jelas, tugas ini dapat tumpang tindih dengan kewenangan institusi lain seperti Polri, BNN, dan Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN).
Ketidaktegasan dalam delineasi (penataan ulang) peran ini bisa menciptakan military overstretch, yakni kondisi di mana militer menjalankan fungsi di luar kapasitas intinya, yang berisiko mengurangi efektivitasnya dalam tugas pertahanan utama.
Satu hal yang harus dipahami oleh pembentuk kebijakan adalah bahwa sebuah perubahan regulasi yang memiliki dampak luas terhadap kehidupan bernegara tidak boleh dilakukan secara terburu-buru dan tertutup. Reformasi sektor keamanan, termasuk dalam konteks revisi UU TNI, harus mengakomodasi partisipasi publik yang luas dan substantif. Diskursus ini tidak boleh hanya menjadi domain elite politik, melainkan harus menjadi bagian dari deliberasi publik yang melibatkan akademisi, organisasi masyarakat sipil, dan praktisi hukum.
Langkah solutif yang dapat diambil adalah dengan membuka ruang diskusi lebih luas melalui mekanisme public hearing yang lebih inklusif. Pemerintah dan DPR harus mengadopsi prinsip deliberative democracy yang menekankan transparansi dan akuntabilitas dalam proses legislasi.
Konsep ini sejalan dengan gagasan Jurgen Habermas dalam The Theory of Communicative Action (1981), yang menekankan bahwa kebijakan publik harus dibentuk melalui diskusi rasional yang memungkinkan berbagai perspektif untuk berkontribusi.
Selain itu, revisi ini harus menegaskan kembali komitmen terhadap profesionalisme militer dengan memperjelas batasan tugas TNI dalam konteks pertahanan negara. Penguatan sistem meritokrasi dalam institusi militer perlu dijadikan prioritas agar profesionalisme prajurit tidak tergerus oleh kepentingan politik. Dalam hal peran militer di luar fungsi pertahanan, mekanisme civilian oversight harus diperkuat agar tidak terjadi penyalahgunaan wewenang.
Revisi UU TNI harus menjadi momentum untuk memperkuat institusi pertahanan negara dalam koridor supremasi sipil, bukan justru membuka celah bagi politisasi dan ekspansi peran militer yang tidak sesuai dengan prinsip demokrasi. Dengan memastikan proses yang transparan, akuntabel, dan partisipatif, kita dapat melahirkan regulasi yang tidak hanya menjawab tantangan zaman, tetapi juga tetap menjaga amanat Reformasi. Sebab, militer yang kuat bukanlah militer yang mengintervensi ranah sipil, tetapi militer yang profesional, tunduk pada konstitusi, dan tetap menjadi alat pertahanan negara yang terpercaya.
Dalam konteks ini, pemerintahan Prabowo Subianto memiliki peran strategis dalam memastikan revisi UU TNI tidak menciptakan ketegangan baru dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Di tengah dinamika politik dan ekonomi nasional maupun global yang semakin kompleks, kebijakan pertahanan harus tetap selaras dengan prinsip demokrasi dan supremasi sipil.
Pemerintah harus mampu menjaga stabilitas nasional dengan mengedepankan dialog konstruktif dan keterbukaan dalam setiap kebijakan strategis. Dengan demikian, revisi ini tidak hanya memperkuat pertahanan negara, tetapi juga memperkokoh harmoni sosial serta memastikan bahwa militer tetap menjadi pilar pertahanan yang profesional dan terpercaya bagi bangsa dan negara. (*)
*Galih F Qurbany adalah Pengamat Informasi & Kebijakan Strategis, PAKIS, Aktivis 98.