Oleh : Zulfikar Ardiwardana Wanda
SELASA sore (20/08/2024) beberapa jam pasca terbitnya 2 (dua) Putusan Mahkamah Konstitusi (MK), publik digegerkan oleh manuver kilat Badan Legislasi (Baleg) DPR yang menggelar Rapat Kerja Revisi Rancangan UU No. 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Umum Gubernur, Bupati dan Walikota (RUU Pilkada) yang sempat tertunda pembahasannya sejak 23 Oktober 2023.
Pasalnya, rapat kerja dadakan tersebut disinyalir sebagai bentuk ‘kepanikan’ Baleg DPR pasca MK menjatuhkan Putusan Nomor 60/PUU-XXII/2024 dan Nomor 70/PUU-XXII/2024 terkait ambang batas pencalonan (threshold) kepala daerah sebesar 6,5%-10% sesuai dengan sebaran jumlah penduduk kabupaten/kota/provinsi yang bersangkutan serta batas usia minimum calon kepala daerah yang ditentukan pada saat “ditetapkan” oleh KPU yang berbeda dengan pemaknaan Putusan Mahkamah Agung (MA) Nomor 23/P Tahun 2024 yang memaknai pada saat “pelantikan”.
Keesokan harinya hanya berselang sehari setelah putusan tersebut terbit, Baleg DPR secara kilat memutuskan untuk merevisi RUU Pilkada yang yang justru membangkang terhadap 2 (dua) Putusan MK yang dianggap sebagai ‘angin segar’ demokrasi.
Sontak publik pun beramai-ramai menggelar aksi demontrasi di berbagai wilayah dan memasang tagar ‘Peringatan Darurat Indonesia’ di media sosial sebagai bentuk protes dan kekecewaan atas ‘pembegalan’ Putusan MK yang hendak dilakukan Baleg DPR atas revisi RUU Pilkada yang telah disetujui 8 (delapan) dari 9 (Sembilan) Fraksi Partai Politik di DPR.
Aksi demonstrasi jalanan maupun serangan di dunia maya oleh komponen masyarakat serta tidak terpenuhi kuorum persidangan DPR memberikan ‘pukulan telak’ kepada Baleg dan Komisi II DPR yang pada akhirnya batal meloloskan revisi RUU Pilkada dalam Sidang Paripurna (22/8/2024).
Hal itu kemudian segera ditindaklanjuti oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) dengan men-draft revisi dan menetapkan Peraturan KPU No. 10 Tahun 2024 tentang Perubahan atas Peraturan KPU Nomor 8 Tahun 2024 tentang Pencalonan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati serta Walikota dan Wakil Walikota (PKPU Pencalonan Kepala Daerah) yang berubah 180 derajat dari PKPU sebelumnya dengan mengakomodir 2 (dua) Putusan MK tersebut pada 25 Agustus 2024, dua hari sebelum masa dimulainya pendaftaran bakal calon kepala daerah. Fenomena ‘people power’ ini menunjukkan kemarahan publik atas percobaan pembangkangan Putusan MK yang hendak dilakukan oleh DPR.
Status Kedudukan Hukum Putusan MK Lebih Tinggi dari UU
Secara yuridis konstitusional 2 (dua) Putusan MK terkait ambang batas pencalonan dan syarat batas minimum usia calon kepala daerah adalah final dan memiliki kekuatan hukum mengikat seketika setelah diucapkan di persidangan yang terbuka untuk umum sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 47 UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK). Dengan kata lain, Putusan MK tersebut menjadi dasar hukum konstitusional yang langsung dapat dilaksanakan oleh semua pihak yang berkepentingan, termasuk DPR dan KPU sebagai stakeholders yang berkepentingan langsung dalam merevisi RUU Pilkada dan penyusunan draft PKPU Pencalonan Kepala Daerah yang baru.
Menjadi pertanyaan apakah pertimbangan hukum (ratio decidendi) dan amar yang digariskan dalam 2 (dua) Putusan MK di atas harus diakomodir dalam materi muatan revisi RUU Pilkada dan PKPU Pencalonan Kepala Daerah? Bukankah Putusan MK dan undang-undang (UU) memiliki status kedudukan hukum yang setara?
Secara materiil, kedudukan Putusan MK setara dengan UU karena norma hukum yang terkandung di dalamnya merupakan kategori yurisprudensi (memiliki kekuatan hukum tetap/inkracht) sehingga keberlakuannya mengikat dan dapat langsung diberlakukan kepada siapa saja yang terikat dan berkepentingan karena sifatnya yang erga omnes.
Karakter putusan semacam ini tidak ditemukan di dalam putusan pengadilan konvensional yang hanya mengikat kepada para pihak yang berperkara saja di dalamnya (inter partes).
Meskipun Putusan MK lahir dari permohonan pemohon yang kepentingan konstitusionalnya dirugikan, namun pada prinsipnya juga mewakili kepentingan dan kerugian konstitusional segenap warga negara (publik) atas keberlakuan UU yang sifatnya mengikat untuk umum yang dapat disepadankan dengan sifat erga omnes yang terletak dalam Putusan MK.
Selain itu, kesetaraan kedudukan Putusan MK dan UU dipahami juga dalam rangka menjabarkan ketentuan konstitusi yang lebih konkret untuk dapat dilaksanakan dalam konteks yang berbeda.
Namun, UU dalam konteks tertentu harus tunduk pada Putusan MK karena berdasarkan Pasal 10 huruf d UU No. 12 Tahun 2011 sebagaimana yang telah diubah terakhir dalam UU No. 13 Tahun 2022 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU PPP) diuraikan bahwa materi muatan produk hukum UU salah satunya berisi tindak lanjut atas Putusan MK selain pengaturan lebih lanjut mengenai ketentuan UUD 1945, perintah suatu UU untuk diatur dalam UU, pengesahan perjanjian internasional tertentu dan pemenuhan kebutuhan hukum dalam masyarakat.
Bahkan RUU yang ada sejak dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) pun harus mengakomodir apa yang telah digariskan oleh Putusan MK. Oleh karena itu, di dalam Pasal 23 UU PPP pun disediakan mekanisme Daftar Kumulatif Terbuka (DKT) yang termuat dalam Prolegnas apabila terdapat undang-undang yang terdampak akibat terbitnya Putusan MK melalui mekanisme judicial review selain juga karena akibat pengesahan perjanjian internasional tertentu, APBN, pembentukan, pemekaran, pemisahan dan penggabungan wilayah serta penetapan/pencabutan Perppu, maka harus segera ditindaklanjuti dengan revisi atau pembuatan RUU yang baru.
MK sebagai lembaga penafsir akhir konstitusi (the final interpreter of constitution) yang berwenang menguji UU dengan parameter batu uji UUD 1945, secara teoretis dapat dikatakan bahwa status kedudukan hukum Putusan MK lebih tinggi dari UU karena ia merupakan produk hukum yang dihasilkan dari praktik pengujian UU dengan batu uji UUD 1945 sebagai hukum tertinggi dalam tata urutan peraturan perundangan-undangan yang diadopsi dari ajaran stufenbautheory yang diperkenalkan oleh Hans Kelsen.
Bahkan lebih jauh secara filosofis, Putusan MK menempati posisi puncak sistem hukum nasional karena ia merupakan tafsir dan terjemahan resmi UUD 1945 yang dilandasi oleh nilai-nilai Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum. Berangkat dari pemikiran teoretis dan filosofis demikian, maka lahirlah ketentuan Pasal 10 dan Pasal 23 UU PPP yang secara normatif meletakkan produk Putusan MK lebih tinggi kedudukannya dari UU.
Putusan MK Dapat Langsung Dilaksanakan Tanpa Perlu Tindak Lanjut UU
Sebagaimana telah disinggung di awal bahwa Putusan MK langsung dapat dilaksanakan tanpa harus adanya tindak lanjut penerbitan undang-undang baru atau upaya paksa dari aparat untuk melaksanakannya karena Putusan MK dalam perkara pengujian konstitusionalitas undang-undang bersifat deklaratoir-constitutief.
Karakteristik putusan yang demikian hanya sebatas menyatakan atau mendeklarasikan norma dalam UU apakah konstitusional atau sebaliknya yang tertuang pada bagian amar putusan sekaligus pada saat yang sama dapat dilacak adanya peniadaan atau pembentukan keadaan hukum baru putusan tersebut sebagai konsekuensi logis yang sifatnya constitutief.
Putusan MK Nomor 60/PUU-XXII/2024 dan Nomor 70/PUU-XXII/2024 yang lahir melalui permohonan pengujian konstitusionalitas UU yang dimohonkan oleh Partai Buruh-Partai Gelora dan Fahrur Rozi-Anthony Lee adalah final (tidak lagi adanya upaya hukum) dan langsung memiliki kekuatan hukum mengikat (binding) tanpa terlebih dahulu memerlukan pengaturan produk hukum lebih lanjut.
Jadi walaupun DPR tidak atau belum sempat menindaklanjuti 2 (dua) Putusan MK tersebut dengan pengesahan Revisi UU Pilkada yang baru guna mengakomodir apa yang digariskan oleh Putusan MK, tidak mengurangi atau menegasikan keberlakuannya yang bersifat final and binding.
Kondisi yang sama juga berlaku kepada KPU meskipun tidak atau belum sempat menetapkan PKPU Pencalonan Kepala Daerah yang baru, tidak akan terjadi persoalan atau kekosongan hukum (rechtsvacuum) karena PKPU yang lama gugur/tidak berlaku dengan sendirinya pasca terbitnya Putusan MK tanpa harus menerbitkan PKPU yang baru. Logika hukumnya jangankan hanya tingkat PKPU, tingkat UU pun otomatis gugur dengan terbitnya Putusan MK sesuai karakteristik sebagaimana diuraikan di atas.
Berbeda dengan karakteristik putusan dalam perkara Tata Usaha Negara (TUN) di PTUN meskipun putusannya telah inkracht, tidak otomatis dapat diberlakukan seketika setelah diucapkan dalam sidang yang terbuka untuk umum layaknya Putusan MK. Namun harus ada tindak lanjut berupa pencabutan maupun penerbitan keputusan dan/atau perbuatan dari pejabat yang mengeluarkan KTUN tersebut sebagai pengejawantahan asas contrarius actus.
Apabila Putusan PTUN tidak dilaksanakan oleh pejabat selaku tergugat sesuai addressaat-nya, maka penggugat harus mengajukan permohonan kepada Ketua PTUN. Upaya hukum terakhirnya pun bergantung pada ‘political will’ Presiden selaku pemegang kekuasaan pemerintahan tertinggi untuk memerintahkan pejabat tersebut untuk melaksanakan Putusan PTUN yang telah inkracht selain juga diajukan kepada DPR sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 116 ayat (6) UU PTUN.
Kondisi yang relatif sama juga terjadi pada Putusan MK dalam perkara pemakzulan/impeachment yang mana Presiden dan/atau Wakil Presiden dinyatakan terbukti bersalah melakukan pelanggaran hukum oleh MK namun pelaksanaan Putusan MK tersebut tidak otomatis berlaku karena bergantung pada ‘political will’ dan keputusan Sidang Paripurna MPR sebagaimana yang diuraikan dalam Pasal 7B UUD 1945.
Penerapan asas contrarius actus yang seringkali kita jumpai pada Putusan PTUN tidak dapat diberlakukan terhadap Putusan MK Nomor 60/PUU-XXII/2024 dan Nomor 70/PUU-XXII/2024 karena keduanya memiliki perbedaan karakterisrik yang berbeda sebagaimana telah digariskan dalam ketentuan UU. Pengesahan Revisi RUU Pilkada dan Penetapan PKPU Pencalonan Kepala Daerah yang baru sifatnya hanyalah untuk tertib administratif dan promulgation (pengumuman) saja karena 2 (dua) Putusan MK di atas sudah sangat kuat sebagai dasar hukum bagi DPR dan KPU dalam menjalankan tahapan dan aturan main perhelatan Pilkada serentak tahun 2024. Jangan sampai perihal tertib administratif tersebut mengangkangi atau bahkan membegal Putusan MK yang sifatnya substansial demi menjaga iklim demokrasi Indonesia tetap sehat.
* Analis Hukum Ahli Pertama Kanwil Kementerian Hukum dan HAM Jawa Timur