Keterangan foto detik.com dan Habibi (kanan)

JAKARTA | duta.co – Akhirnya Presiden Prabowo Subianto mereshuffle atau kocok ulang Kabinet Merah Putih, Senin (8/9/25) sore. Lima menteri diganti – dari Menteri Koordinator Politik dan Keamanan Budi Gunawan, Menteri Keuangan Sri Mulyani, Menteri Perlindungan Pekerja Migran Indonesia Abdul Kadir Karding, Menteri Koperasi Budi Arie Setiadi dan Menteri Pemuda dan Olahraga Dito Ariotedjo. Bersamaan dengan itu, presiden melantik Mochamad Irfan Yusuf alias Gus Irfan sebagai Menteri Haji dan Umrah.

“Atas berbagai pertimbangan, masukan dan evaluasi yang dilakukan terus menerus oleh bapak presiden maka pada sore hari ini sekaligus bapak presiden memutuskan untuk melakukan perubahan susunan Kabinet Merah Putih pada beberapa jabatan kementerian,” ujar Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi di dampingi Sekretaris Kabinet Teddy Indra Wijaya di Istana, Jakarta, Senin (8/9/2025).

Presiden melantik Menteri Keuangan, Purbaya Yudhi Sadewa. Menteri Perlindungan Pekerja Migran, Mukhtarudin. Menteri Koperasi, Ferry Juliantono. Menteri Haji dan Umrah, Mochamad Irfan Yusuf (Gus Irfan) serta Wakil Menteri Haji dan Umrah, Dahnil Anzar Simanjuntak.

Tetapi, selain formasi kabinet, publik juga menyorot rangkap jabatan di tubuh Kabinet Prabowo. Bahkan ini sudah diajukan ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dua menteri dan 33 wakil menteri (Wamen) disebut merangkap jabatan sebagai komisaris BUMN (Badan Usaha Milik Negara).

M Habibi MSi, alumni UI (Universitas Indonesia) jurusan Kajian Intelijen Stratejig mengungkapkan, fenomena ini dinilai tidak hanya melanggar etika tata kelola pemerintahan, tetapi juga berpotensi membuka ruang konflik kepentingan, gratifikasi terselubung, dan praktik rente politik.

Dalam daftar yang beredar, sejumlah nama pejabat menempati posisi strategis di perusahaan pelat merah. Secara normatif, aturan mengenai rangkap jabatan pejabat publik diatur dalam beberapa regulasi, di antaranya: UU No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, yang menegaskan pejabat publik wajib fokus pada tugas pokoknya.

UU No. 19 Tahun 2003 tentang BUMN, yang mengatur bahwa pengangkatan komisaris harus memperhatikan prinsip profesionalitas, bebas dari konflik kepentingan, dan integritas.

Peraturan Pemerintah No. 45 Tahun 2005 tentang pendirian, pengurusan, pengawasan, dan pembubaran BUMN. KPK juga sebelumnya (2011 dan 2017) pernah menegaskan bahwa rangkap jabatan menteri atau wamen sebagai komisaris berpotensi konflik kepentingan dan penyalahgunaan wewenang.

Pun Pengamat politik Universitas Gadjah Mada, Zainal Arifin Mochtar, pernah menyoroti bahwa rangkap jabatan pejabat publik di BUMN adalah bentuk “perampasan profesionalitas” yang membuat BUMN tidak independen dan rawan disalahgunakan untuk kepentingan politik, sebagaimana dinggah Kompas, 2022.

Hal serupa disampaikan peneliti Transparency International Indonesia (TII), yang menyebut praktik ini sebagai bentuk “oligarki kekuasaan” karena pejabat publik bisa mengendalikan sumber daya negara sekaligus duduk di jajaran direksi/komisaris perusahaan negara (TII, 2021).

M Habibi MSi menilai dari sisi ekonomi, potensi kerugian negara juga besar. Studi KPK tahun 2018 menemukan bahwa penempatan pejabat politik sebagai komisaris BUMN tidak berbanding lurus dengan kinerja BUMN, bahkan justru memperbesar risiko tata kelola buruk.

“Polemik rangkap jabatan yang menyeret 2 menteri dan 33 wakil menteri memperlihatkan betapa rapuhnya komitmen tata kelola pemerintahan bersih di Indonesia. Publik kini semakin gencar mendesak presiden untuk segera melakukan reshuffle kabinet sebagai jalan keluar. Tak kalah mendesaknya adalah melepas rangkap jabatan,” tegasnya.

Rangkap jabatan pejabat publik sebagai komisaris BUMN menimbulkan konflik kepentingan struktural. Seorang wakil menteri, misalnya, memiliki kewenangan membuat kebijakan yang langsung berdampak pada sektor yang sama di mana ia duduk sebagai komisaris. Dalam teori tata kelola publik, kondisi ini dikenal sebagai regulatory capture, di mana pengambil kebijakan justru dikuasai oleh kepentingan korporasi yang seharusnya diawasi.

“Akibatnya, publik menilai pemerintah tidak lagi mengutamakan kepentingan rakyat, melainkan mengabdi pada jaringan oligarki dan rente jabatan. Trust deficit atau krisis kepercayaan ini berbahaya bagi legitimasi politik Presiden,” tambahnya.

Survei LSI (2023) mencatat, 62% responden menganggap rangkap jabatan di pemerintahan menurunkan kredibilitas negara. Jika desakan reshuffle diabaikan, bukan tidak mungkin gelombang ketidakpercayaan akan membesar menjadi perlawanan sosial dan politik.

Efisiensi yang Tergerus

Prinsip utama manajemen pemerintahan adalah efisiensi dan fokus kerja. Seorang pejabat publik yang merangkap jabatan jelas akan kehilangan konsentrasi. Wamen yang juga duduk sebagai komisaris akan menghadapi dilema prioritas: apakah mengurus kementerian atau mengurus rapat-rapat bisnis di BUMN?

Kajian KPK tahun 2018 menyebut, pejabat rangkap jabatan memiliki kecenderungan absen dalam rapat-rapat kementerian, menunda pengambilan keputusan, serta tidak optimal dalam mendorong reformasi birokrasi. Efisiensi pemerintahan pun terganggu.

Dalam konteks ini, reshuffle bukan hanya soal “pergantian kursi politik”, tetapi merupakan strategi manajemen krisis  agar pemerintahan kembali bekerja efektif.

Reshuffle sebagai Sinyal Politik

Reshuffle kabinet juga memiliki makna simbolik. Di mata publik, langkah ini akan menjadi sinyal politik bersih-bersih, bahwa Presiden tidak menoleransi penyalahgunaan jabatan dan kepentingan oligarki. Sebaliknya, jika Presiden membiarkan kasus ini menggantung, muncul kesan bahwa pemerintahan lebih berpihak pada kompromi elit ketimbang kepentingan rakyat.

Sejak reformasi 1998, salah satu cita-cita utama adalah mewujudkan pemerintahan yang transparan dan akuntabel. Namun rangkap jabatan justru menunjukkan kemunduran. Dalam laporan Transparency International Indonesia (2021), Indonesia masih berada di posisi rawan dalam Indeks Persepsi Korupsi (CPI) dengan skor 34/100, dan salah satu faktornya adalah lemahnya pencegahan konflik kepentingan di birokrasi.

Dengan demikian, reshuffle kabinet bukan hanya agenda politik sesaat, melainkan bagian dari restorasi marwah reformasi: membebaskan jabatan publik dari praktik rente, memastikan birokrasi profesional, dan memperkuat komitmen antikorupsi.

Ketidakstabilan ekonomi-politik: pasar dan investor merespons negatif jika BUMN dipandang dikuasai oleh kepentingan politik. Warisan buruk pemerintahan: sejarah akan mencatat bahwa kabinet lebih mementingkan kursi daripada rakyat. Nah, desakan reshuffle kabinet dalam kasus rangkap jabatan ini bukan sekadar tuntutan moral, tetapi kebutuhan struktural, politis, dan historis.

“Presiden harus menunjukkan bahwa ia tidak tersandera oleh oligarki, melainkan berpihak pada rakyat dan cita-cita reformasi maka presiden harus mencari sosok meritokrasi,  bukan lagi Mediokrasi yang bisa menyulut amarah rakyat,” terangnya.

Ia menyebut sosok yang pantas dan mampu  seperti Harvick Hasnul Qolbi  begawan ekonom Indonesia untuk mengembalikan kekuatan ekonomi bangsa. Harvick Hasnul Qolbi adalah wakil menteri pertanian yang dilantik Presiden Jokowi pada 23 Desember 2020. Dia mendampingi Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo di kementerian tersebut di sisa masa Kabinet Indonesia Maju kepemimpinan Presiden Jokowi-Ma’ruf Amin periode 2019-2024.

Harvick Hasnul Qolbi lahir di Jakarta 17 November 1974  sehingga kini berusia 51 tahun. Dia merupakan darah Minang asal Batusangkar, Padang, Sumatera Barat. Harvick adalah alumni SMA Negeri 3 Teladan Jakarta  tahun 1992. Dia kemudian menempuh pendidikan sarjana teknik industri Universitas Persada Indonesia YAI.

Harvick adalah salah satu kader dan menjadi salah satu Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) era kepemimpinan KH Said Aqil siroj. Jabatan terakhirnya di organisasi itu adalah Bendahara, karena kepiawaian nya dalam membangun Nahdlatul Tujjar ( kebangkitan ekonomi) yang tidak di ragukan, sampai lah terbentuk Mart NU di seluruh pelosok negeri berkat ide dan gagasanya. Sebelum jadi Bendahara NU, Harvick pernah mengemban tugas dalam Lembaga Perekonomian Nahdlatul Ulama (LPNU) yang mengurusi perekonomian masyarakat NU.

“Semoga reshuffle ini menjadi langkah korektif, mengembalikan fokus pemerintahan pada pelayanan publik, sekaligus menjadi sinyal tegas bahwa negara tidak boleh menjadi ladang rente bagi elit politik. Kini bola panas ada di tangan Presiden dan KPK”, tegasnya.

“Jika KPK serius menindaklanjuti laporan, hal ini bisa menjadi momentum untuk membongkar praktik rangkap jabatan yang bertahun-tahun menjadi budaya politik di Indonesia. Publik menunggu apakah kasus ini akan benar-benar berlanjut ke meja hukum, atau sekadar menjadi isu politik sesaat. Namun yang jelas, reshuffle kabinet menjadi kebutuhan mendesak demi menjaga kredibilitas pemerintahan dan mengembalikan kepercayaan publik,” pungkas Habibi. (mky)

Bagaimana reaksi anda?
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry