Dr Sufyanto

Surabaya|duta.co- Peneliti utama The Republic Institute TRI) dan dosen politik Univiversitas  Muhammadiyah Sidoarjo (Umsida) Dr  Sufyanto menilai ada fonemena menarik menghadapi Pemilu 2024 nanti.

Dalam rilisnya Minggu (2/1)   TRI sebagai lembaga riset menemukan sebuah fakta perubahan politik yang nyata akan pilihan masyarakat Indonesia, yang semakin hari menunjukkan perkembangan yang cukup mengkhawatirkan terkait bagaimana pemahaman masyarakat pada keberadaan partai politik sebagai lembaga yang konstitusional.

Data yang dimiliki oleh TRI menunjukkan adanya penurunan pilihan masyarakat terhadap bendera atau gambar partai politik dan peningkatan pilihan terhadap aktor politik atau yang biasa disebut caleg. Sehingga demokrasi melalui Pemilu semakin didominasi oleh individu-individu aktor politik, sebaliknya eksistensi partai politik semakin rapuh.

Berdasarkan data hasil Pemilu 2019 yang lalu, dari semua partai politik (parpol) yang memenuhi ambang batas Parliamentary Threshold (PT), tidak ada parpol yang benar-benar menjadi harapan pemilih dilihat dari pilihan gambar parpolnya. Dari 9 Partai politik mayoritas memilih caleg-nya, sementara pilihan ke gambar partai sangat kecil hanya direntang 13 % sampai 29% saja. Sebagaimana dapat diuraikan berikut: PKB (Gambar partai 26,29% dan Caleg 73,71%), Gerindra (Gambar Partai 29,46% dan Caleg 70,54%), PDIP (Gambar Partai 26,57% dan Caleg 73,43%), Golkar (Gambar Partai 19,66% dan Caleg 80,34%), NasDem (Gambar Partai 13,59% dan Caleg 86,41%), PKS (Gambar Partai 28,18% dan Caleg 73,82%), PPP (Gambar Partai 23,92% dan Caleg 76,08%), PAN (Gambar Partai 17,22% dan Caleg 82,76%), dan Demokrat (Gambar Partai 20,70% dan Caleg 79,30%).

 

Walaupun sesuai regulasi, partai politik merupakan pemegang fungsi yang sangat strategis dalam memaknai proses pemilu sebagai roh demokrasi. Sebagaimana dijelaskan melalui amanat konstitusional yang sangat mulya itu tertuang dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Partai Politik, dijelaskan oleh Pasal 11 ayat (1).

Akan tetapi, setelah membaca data di atas, preferensi masyarakat terhadap partai politik semakin mengecil. Hal ini membuat posisi partai politik semakin rapuh dalam proses demokrastisasi yang terus berkembang di Indonesia. Sementara itu, di posisi yang lain pilihan kepada aktor politik sebagai individu-individu semakin besar.

Atas fenomena inilah TRI penting mendalami fenomena ini agar dapat merekomendasikan temuannya kepada partai politik dan masyarakat secara luas gambaran voting behavior masyarakat menjelang Pemilu 2024 mendatang.

 

 

Pada tema ini, jenis metode penelitian yang digunakan TRI survey by telephone, dengan margin of errors sebesar 3,8 %,  jumlah sampel keseluruhan sebanyak 1225 responden tersebar di 34 Provinsi di seluruh wilayah Republik Indonesia.

 

Dari jumlah sampel tersebut kemudian diturunkan ke Provinsi, ke tingkat Kabupaten/Kota, lalu ke tingkat Kecamatan, dilanjutkan ke tingkat Desa lalu diturunkan ke tingkat  RT, Rumah dan menentukan subjek/responden penelitiannya. Proses pengambilan sampel (wawancara) dilakukan pada tanggal 11-21 Desember 2021.

Berdasarkan data temuan dari hasil penelitian di atas, dapat disimpulkan beberapa hal. Pertama, konstituen parpol yang melenggang ke Senayan karena telah memenuhi ambang batas PT, memiliki kecenderungan pilihan pada aktor politik daripada gambar partai politik.  Pilihan terhadap gambar partai politik semakin terlihat menurun dan pilihan ke aktor politik/caleg semakin meningkat. Sementara itu, partai politik non-parlemen atau partai politik baru, kecenderungan pilihan konstituen terhadap gambar partai politik cenderung tinggi karena memang nama/gambar partai politik lebih dikenal. Sementara itu pilihan ke aktor politik cenderung kecil karena dari nama-nama aktor politik non-parlemen tersebut memang tidak banyak dikenal oleh pemilih.

 

Kedua, bagi Parpol  Senayan bila dibandingkan dengan hasil Pemilu 2019 lalu, kecenderungan pilihan ke gambar partai semakin menurun di rentang 3% sd 7%, sementara itu hanya ada 1 partai politik yang pilihan gambarnya naik 1,23% saja. Sebagaimana data riset berikut: PKB: Gambar partai 22,78%; Caleg 58,91%; belum menentukan 18,31% (Penurunan pemilih gambar partai PKB sebesar 3,51%), Gerindra: Gambar Partai 24,54%; Caleg 57,74%; belum menentukan 17,72% (Penurunan pemilih gambar partai Gerindra sebesar 4,92%), PDIP: Gambar Partai 22,56%; Caleg 58,63%; belum menentukan 18,81% (Penurunan pemilih gambar partai PDIP sebesar 4,01%), Golkar: Gambar Partai 16,18%: Caleg 65,54%; belum menentukan 18,28% (Penurunan pemilih gambar partai Golkar sebesar 3,48%), NasDem: Gambar Partai 14,80%; Caleg 71,61%; belum menentukan 13,58 (Peningkatan pemilih gambar partai Nasdem sebesar 1,21%), PKS: Gambar Partai 18,27%; Caleg 59,02%; belum menentukan 22,71% (Penurunan pemilih gambar partai PKS sebesar 7,91%), PPP: Gambar Partai 17,02%; Caleg 61,28%; belum menentukan 21,70% (Penurunan pemilih gambar partai PPP sebesar 6,90%), PAN: Gambar Partai 14,71%; Caleg 67,98%; belum menentukan 17,31% (Penurunan pemilih gambar partai PAN sebesar 2,51%), dan Demokrat: Gambar Partai 17,96%; Caleg 64,50%; belum menentukan 17,54% (Penurunan pemilih gambar partai Demokrat sebesar 2,74%).

Namun, TRI menemukan fakta baru bahwa pergeseran Pemilu semakin pragmatis bukan lagi disebabkan oleh rakyat/pemilih yang pragmatis ataupun politisi yang pragmatis. Akan tetapi ada aktor-aktor seperti agen politik yang melakukan proses agency, dengan mendorong Politik semakin pragmatis dan kapitalis. Siapa aktor-aktor agency politik itu, yakni ada yang disebut Botoh di seputaran Jawa Timur dan Jawa Tengah yang menjadikan politik berbiaya tinggi karena dijadikan ajang perjudian. Atau bentuk lain seperti Bohir, Cukong atau nama-nama lain yang mana dengan kekuatan kapital mengontrol jalannya kekuasaan dimulai dari hulu, yakni di saat proses kompetisi politik untuk memperebutkan kekuasaan itu. Bukan lagi di hilir ketika kekuasaan itu sudah terbentuk. (rls.mha)

 

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry