Prof Dr H Ahmad Rofiq MA

Assalamualaikum wr. wb.

Saudaraku mari kita syukuri anugerah dan nikmat Allah yang selalu menyelimuti kita. Hari ini kita sehat wal afiat, dan dapat memulai aktifitas kita. Mari kita niatkan apa yang kita lakukan hari ini, mengabdi (beribadah) untuk menambah ketaatan kita kepada Allah, dan mampu mengikuti semua perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya, serta meneladani Rasulullah SAW. Shalawat dan salam mari kita senandungkan untuk Baginda Rasulullah SAW, keluarga, sahabat, semoga memberkahi pada keluarga kita, dan di akhirat kelak, syafaat Beliau akan menyapa kita.

Saudaraku, kemarin saya diwawancarai oleh wartawan tribun.news Semarang, dimintai komentar atas langkah pemerintah melalui Menkopolhukam Wiranto yang membubarkan ormas yang gigih mengusung dan menggelorakan khilafah sebagai bentuk pemerintahan, yang menurut mereka akan menyelesaikan berbagai persoalan bangsa ini. Atas pertanyaan itu, saya mengatakan:

Pertama, pemerintah terlambat. Mengapa, karena hemat saya, ormas apa pun — kebetulan sekarang Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) — yang mengusung faham atau tatanan negara khilafah yang tidak sejalan dengan Pancasila, sudah seharusnya dibubarkan. Karena sejak mereka mengampanyekan khilafah dan mengibarkan bendera sebagai lambang negara yang tidak merah putih, maka harus dibubarkan.

Kedua, seharusnya pemerintah dalam membubarkan ormas Islam tertentu juga harus taat asas atau taat hukum. Mereka yang dibubarkan itu merasa menjadi ormas yang selama ini diakui dan tercatat di pemerintah. Mengapa tidak dicabut izin atau rekomendasinya terlebih dulu, dan dilakukan melalui proses pengadilan? Apakah pemerintah sudah tidak mengakuinya lagi bahwa pengadilan adalah wadah penegak hukum dan keadilan? Dan juga sebagai salah satu instrumen untuk meneguhkan bahwa Indonesia adalah negara hukum? Atau karena itu pula, kadang-kadang tampak pemerintah kemudian seolah-oleh melakukan intervensi kepada proses peradilan? Mudah-mudahan tidak, meskipun “aroma” supremasi politik atas hukum, tercium agak “menyengat”.

Ketiga, pemerintah mestinya harus fair dan adil. Jika HTI dianggap sebagai ormas yang ide, gagasan, dan gerakannya tidak sejalan dengan Pancasila, dibubarkan, maka segala macam ormas yang ada, tidak hanya yang basis massanya muslim, atau berdasar etnis tertentu, maka harus dibubarkan. Itu pun harus dilakukan sesuai dan mengikuti proses hukum, agar tidak melahirkan barbarisme atau kesewenang-wenangan yang akan merusak kredibilitas dan entitas negara kita sebagai negara hukum.

Dalam undang-undang No. 17/2013 tentang Ormas, pasal 59 (4) dinyatakan, ormas dilarang menganut, mengembangkan, serta menyebarkan ajaran atau paham yang bertentangan dengan Pancasila. Penjelasan ayat (4) mengatakan bahwa yang dimaksud dengan ajaran atau paham yang bertentangan dengan Pancasila adalah ajaran ateisme, komunisme, marxisme, dan leninisme. Anehnya, ketika TNI melakukan sweeping atas mereka yang jelas-jelas mengenakan simbol PKI, justru Panglima TNI ditegur oleh pemimpin negara ini. Alasannya, tidak sejalan dengan nilai-nilai demokrasi. Mudah-mudahan berita tentang teguran RI-1 kepada Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo ini, tidak hoax.

Keempat, apabila negara ini ingin ke depannya lebih berkarakter sebagai negara hukum, sudah sejak lama saya mengusulkan kepada beberapa orang yang anggap bisa meneruskan usulan saya, adalah perlunya UU yang mengatur penanganan terhadap gerakan, ormas, atau organisasi apapun yang bersifat subversif, mengancam keutuhan NKRI, seperti gerakan separatis, di mana pun adanya, harus segera diambil tindakan tegas. Tidak usah menunggu mereka tumbuh besar dan sudah menyebarkan virus anti NKRI di mana-mana, baru kemudian diambil tindakan dan langkah untuk membubarkannya.

Kelima, pemerintah perlu lebih waspada, dan tidak melakukan blunder. Jika benar ormas HTI ini memiliki ijin, atau rekomendasi, atau catatan apapun oleh pemerintah, berarti keberadaan mereka ini diakui oleh aturan yang ada, karena ada dalam catatan. Tentu ini sedikit merepotkan, untuk tidak mengatakan menyulitkan.

Seperti halnya Ahmadiyah yang pernah difatwakan MUI telah keluar dari Islam karena mengakui Mirza Ghulam Ahmad sebagai Nabi dan al-Tadzkirah sebagai wahyu, dan MUI merekomendasikan kepada Pemerintah untuk membubarkannya, pemerintah tidak membubarkan. Mereka merasa punya ijin dari Menteri Kehakiman pada zaman sebelum kemerdekaan. Dan ini dianggap menyulitkan.

Keenam, pemerintah perlu siap dan persiapan yang baik, terukur, dan sesuai rambu hukum. Jika ormas HTI akan melakukan upaya hukum, karena apa yang dilakukan oleh pemerintah ini tampak sekali lebih menonjol langkah dan tindakan politik, bukan langkah dan tindakan hukum, maka tentu menjadi hal yang wajar, karena ormas pun masih menganggap negera ini adalah negara hukum. Mereka pasti menganggap tindakan pemerintah ini tidak fair dan tidak adil.

Ketujuh, pemerintah perlu juga bersikap rendah hati, memberikan contoh di dalam mengelola negara dan pemerintahan untuk menjaga amanat dan keadilan. Selama pemerintah dilihat oleh warganya, melakukan tindakan yang tidak amanat, tidak adil, tidak taat hukum, cenderung tebang pilih, di mana pisau hukum hanya tajam ke bawah tetapi tumpul ke atas, maka kepecayaan masyarakat terhadap negara dan pemerintah akan hilang. Implikasinya kepercayaan mereka kepada hukum juga akan hilang (distrust).

Dan jika distrust ini berkelanjutan, maka anomaly dan kerusakan hukum di negeri ini akan semakin nyata, maka di situlah kehancuran sosial akan mengikutinya. Karena seperti diingatkan oleh Rasulullah saw:

لولا عدل الامراء لاكل الناس بعضهم بعضا.

artinya “sekiranya tidak ada keadilan ulama, sungguh sebagian manusia memakan sebagian yang lainnya”. Kalau ini sampai terjadi, sungguh akan sangat mengerikan. Konflik horizontal akan terjadi, dan bahkan perang saudara akan mengintai bangsa ini yang sudah capek dan sangat merindukan suasana damai, adem ayem, bahagia, dan sejahtera.
Mengakhiri renungan pagi ini, sebagai salah satu warga bangsa ini, yang memahami dan merasakan bahwa cinta tanah air adalah sebagian dari iman, memiliki komitmen dan nasionalisme yang tinggi, memacu keberanian untuk menyampaikan saran kepada pemerintah, setidaknya melalui saudara-saudaraku yang membaca tulisan ini, pemerintah harus membubarkan ormas, agama, gerakan, ideologi gerakan, dan apapun wasahnya, yang bisa mengancam dan merusak Pancasila dan NKRI. Hemat saya, UU Subversi perlu diadakan kembali, dengan catatan tidak ada penyalahgunaan, termasuk di dalamnya oleh pemerintah yang setiap saat bisa melakukan kekerasan dengan kekuasaan (abuse of power).

Mari kita renungkan kalam Allah SWT berikut ini:
وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَىٰ آمَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِم بَرَكَاتٍ مِّنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ وَلَٰكِن كَذَّبُوا فَأَخَذْنَاهُم بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ. الاعراف ٩٦
“Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertaqwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya” (QS. Al-A’raf: 96).

Semoga Allah Swt melindungi bangsa ini, memberikan hidayah dan inayah-Nya kepada para pemimpinnya agar mampu menjalankan tugasnya sebagai amanat dan berlaku adil dan berkeadilan, dan berkah Allah akan dilimpahkan pada bangsa ini, dan secercah harapan terwujudnya baldatun thayyibatun wa Rabbun Ghafur pun layak disemai dan dilahirkan.
Allah a’lam bi al-shawab. Wassalamualaikum wr.wb. *

* Prof Dr H Ahmad Rofiq MA adalah Direktur Pascasarjana UIN Walisongo Semarang.

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry