Oleh: Ari Ambarwati*

PERDAGANGAN rempah tidak hanya membawa kisah yang suram, tetapi juga menjadi kekuatan yang menyatukan Indonesia dengan berbagai masyarakat dan bangsa yang hidup di belahan dunia lainnya (Hilmar Farid, Kisah Aroma Pemikat Dunia, 2017)

Rempah merupakan komoditas perdagangan dunia yang menggerakkan kapal-kapal Spanyol dan Portugis membentangkan layar untuk melintasi samudra dunia sejak Abad 15. Popularitas rempah sebagai bumbu kehidupan dan makanan dewa, membuat negeri-negeri Barat rela menghabiskan kekayaannya untuk melayari separuh dunia demi mendapatkan rempah-rempah, yang tak bisa tumbuh di tanah mereka. Penulis roman percintaan Barbara Cartland bahkan menyatakan bahwa rempah hadir untuk membumbui kehidupan (Spice for Life) dalam pendahuluan novelnya (Turner, Sejarah Rempah, 2011).

Rempah nusantara merupakan komoditas perdagangan yang populer pada masanya. Popularitas rempah Nusantara sampai ke telinga para pionir penjelajah dunia seperti Fransisco Serrao, Ferdinad De Magellen, Alfonso d’ Albuquerque (Portugis) dan Ludovico Di Varthema (Italia). Reputasi rempah sebagai komoditas mahal dan bergengsi mampu melayarkan kapal-kapal ekspedisi Spanyol, Portugis, Inggris, VOC, dan Belanda untuk mencapai kepulauan rempah Nusantara saat itu (Maluku: Ternate, Tidore, Bacan, Banda, Ambon, Seram, Buru, dan Alfuru). Rempah Nusantara (dan kini Indonesia) adalah sejarah yang menggerakkan peradaban dunia.

Sejak 2019, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan  mengupayakan Jalur Rempah diakui oleh United Nations Educational, Scientific, dan Cultural Organization (Unesco) sebagai warisan dunia. Jalur rempah menjadi saksi perkembangan dan pasang surut peradaban Indonesia sebagai bangsa bahari. Jalur rempah merupakan titik-titik yang menghubungkan kawasan perdagangan dan lalu lintas dunia di masa lampau. Perniagaan rempah dalam sejarah Indonesia bukan sekedar menghidupkan perekonomian, tetapi juga memungkinkan tumbuhnya kontak nilai dan budaya yang membentuk identitas orang Indonesia.

Warisan yang dimiliki Indonesia sebagai wilayah kepulauan terbesar dunia, yang menghasilkan rempah sejak 500 tahun silam, dapat kita lihat jejaknya hingga kini. Jejak itu terlihat jelas dalam corak gastronomi Indonesia. Khasiat rempah seperti cengkeh, jahe, kayu manis, kapulaga, temulawak, dan lainnya diwariskan turun temurun dari satu generasi ke generasi berikutnya. Laku tersebut jelas terlihat dalam kebiasaan mengosumsi jamu. Jamu adalah minuman diyakini berkhasiat obat, meski belum dibuktikan khasiatnya secara ilmiah. Pengetahuan lokal jamu sebagai minuman, yang memiliki khasiat obat telah dimiliki masyarakat Indonesia sebagai bagian dari warisan rempah. Tiap suku di Indonesia, bahkan memiliki resep-resep jamu berkhasiat obat masing-masing. Pengetahuan empirik lokal ini sebenarnya mampu menggerakkan para peneliti untuk memformulasikan jamu berbahan rempah sebagai obat herbal terstandar, maupun fitofarmaka. Sayangnya perjalanan jamu menuju obat herbal terstandar, apalagi fitofarmaka, yang diakui dunia kedokteran dan kesehatan, masih harus menempuh jalan panjang.

Obat herbal terstandar berbahan alam yang terbukti keamanan dan khasiatnya secara ilmiah dengan uji praklinik dengan bahan baku terstandar. Sedangkan fitofarmaka adalah obat dari bahan alam yang terbukti keamanan dan khasiatnya secara ilmiah melalui uji praklinik dan klinik, dengan bahan baku dan produk yang sudah terstandar. Hanya fitofarmaka  yang dapat digunakan dalam praktik kedokteran dan layanan kesehatan formal. Proses menuju fitofarmaka memerlukan proses lama dan berbiaya mahal.

Pada masa pandemi corona seperti saat ini, jamu kembali hadir sebagai minuman berkhasiat obat untuk meningkatkan imun tubuh. Informasi grafis khasiat beberapa rempah Indonesia dengan mudah kita temui di grup WA, maupun media sosial lainnya, termasuk racikan dan takaran resepnya. Beberapa diantaranya sudah diakui secara turun temurun berkontribusi meningkatkan imunitas tubuh seperti temulawak dan jahe merah. Sontak, harga empon-empon di pasar melonjak tajam. Masyarakat kita yang tengah dilanda kecemasan akibat kebijakan Pemerintah memutus penularan Covid-19 melalui physical dan social distancing, kembali melirik jamu sebagai ikhtiar meningkatkan imunitas tubuh agar tak mudah terinfeksi virus keluarga corona tersebut.

Jamu berbahan rempah Indonesia memang belum terbukti klinis dapat mengobati Covid-19. Tetapi gerakan mengonsumsi jamu yang saat ini berlangsung secara masal, membuktikan bahwa masyarakat Indonesia masih  mengingat memori kolektif berupa pengetahuan lokal. Ini menjadi perekat sosial yang baik sekaligus mendorong pentingnya menggali kembali kebiasaan dan praktik baik yang sudah dilakukan leluhur kita dalam menjaga kesehatan dan lingkungan. Generasi X tentu masih ingat bagaimana di desa dulu, nenek dan kakek kita menyediakan padasan atau tempayan berisi air yang digunakan untuk bersuci (bagi muslim) atau membersihkan tangan dan kaki sebelum masuk ke rumah. Bukankah di masa pandemi corona ini kita juga diminta rajin cuci tangan dan kaki dengan sabun setelah beraktivitas di luar dan sebelum masuk rumah? Bukankah leluhur kita juga sudah mengajarkan agar selektif dalam memilih makanan dan minuman yang akan dikonsumsi melalui praktik berpantang makanan tertentu yang memiliki efek tertentu bagi tubuh? Juga kebiasaan mandi matahari pagi sebelum memulai aktivitas.

Pandemi corona, akhirnya membuka tabir pengetahuan lokal yang kita miliki untuk kembali dipraktikkan sebagai perilaku dan pola hidup sehat. Pengetahuan lokal empirik itu perlu  dinarasikan dalam buku-buku teks maupun nonteks pelajaran, yang dapat dibaca siswa. Ingatan kolektif terhadap rempah, jamu, dan praktik baik hidup sehat lainnya, adalah pengetahuan penting yang terbukti secara empirik memampukan leluhur kita keluar dari krisis kesehatan  yang pernah mereka alami, seperti wabah pes dan cacar pada pertengahan 1920 dan wabah malaria. Sembari kita juga mendorong akademisi dan peneliti farmasi dan kesehatan untuk serius meneliti khasiat rempah dan jamu agar dapat menjadi pengetahuan ilmiah untuk melawan Covid-19 dan melengkapi pengetahuan empirik yang sudah diwariskan leluhur kita. Sudahkah Anda meminum jamu dan memanfaatkan rempah untuk meningkatkan imunitas tubuh Anda hari ini?

*Penulis adalah Dosen PBSI-FKIP Universitas Islam Malang. Penulis Buku Nusantara dalam Piringku, 2019.
Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry