SURABAYA | duta.co – Anda larut dalam perdebatan ‘Agama Adalah Musuh Besar Pancasila’, menyusul pernyataan Ketua Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) Prof Yudian Wahyudi? Sebaiknya Anda menyimak ‘Kata Penutup’ Menko Polhukam Prof Mahfud MD dalam acara ILC Selasa (18/2/2020). Hari ini, Jumat (21/2/2020) duta.co menurunkan transkripnya.

Dalam tayangan berdurasi 13:31 menit itu, Mahfud MD memberikan penjelasan lugas dan gamblang, bagaimana hubungan Agama dengan Pancasila.

Begitu Host Indonesia Lawyers Club (ILC), Dr (HC) Karni Ilyas memberi kesempatan kepada Menko Polhukam Mahfud MD memberikan ‘Kata Penutup’, maka, tokoh asal Madura ini langsung menjelaskan secara runtut.

“Bang Karni Ilyas dan para narasumber, pemirsa di seluruh Indonesia atau di mana pun berada. Topik ILC malam ini, adalah Agama Musuh Besar Pancasila, dalam kalimat tanya. Maka, jawabannya: Pancasila itu tidak bermusuhan dengan agama,” demikian penjelasan awal Prof Mahfud MD.

Mengapa Agama bukan musuh besar Pancasila? “Karena nilai-nilai Pancasila itu bersumber juga dari nilai-nilai keagamaan. Yang kemudian dikristalisasi menjadi ideologi, sehingga nilai-nilai agama itu masuk ke dalam Pancasila. Kemudian, Pancasila memberi peluang atau melindungi atau memberi proteksi terhadap penganut agama untuk melaksanakan ajaran agamanya masing-masing yang, selain diatur sebagai ideologi, juga diatur sebagai dasar negara,” jawabnya.

Cerita Lama

Masih menurut Prof Mahfud, ideologi negara dan dasar negara dalam pengertian praktisnya, itu berbeda. Untuk itu, maka, kita lihat bagaimana hubungan antara negara dan agama. Ini sebenarnya merupakan cerita lama, perdebatan lama, yang kini kita buka kembali.

“Jadi begini. Ini bisa dilacak dengan salah satu episode perkembangan sejarah kita. Di akhir tahun 30-an, ketika Bung Karno mula-mula, ini mula-mula, Bung Karno itu mengusulkan negara Indonesia adalah negara sekuler total. Kemudian berdebat dan dicapai kompromi, negara tidak sekuler, tetapi, juga tidak negara agama,” tegasnya.

Jadi, pada akhir tahun 30-an itu, pada tahun 1938, melalui Majalah Panji Islam, Bung Karno menulis artikel, yang mengagetkan. Ketika itu, Bung Karno menulis, apa sebab Turki memisahkan Agama dari Negara.  Isinya, dia mengusulkan, kalau Indonesia merdeka kelak, kata Bung Karno, Indonesia itu harus memisahkan antara Agama dan Negara.

Menurut Prof Mahfud, setelah membaca artikel itu, kalau agama dan negara dicampur aduk, maka, dua-duanya akan mundur. Kalau agama ingin maju, harus dipisahkan dengan negara. Kalau negara ingin maju, harus dipisahkan dari agama.

“Itu tulisan Bung Karno yang kemudian disusul dengan tulisan lain ‘Memudahkan Pengertian Islam’, ‘Masyarakat Onta dan Masyarakat Kapal Udara’. Itu tulisan Bung Karno yang mengiginkan Indonesia itu, menjadi negara sukuler penuh. Itu tahun 1938,” tambahnya.

Pandangan Bung Karno ini, jelas Prof Mahfud, kemudian dibantah oleh Natsir, dengan tulisan yang juga sama cerdasnya. Dia menulis beberapa artikel di antaranya: ‘Cinta Agama dan Cinta Negara’.

Dia juga  menulis artikel ‘Ikhwanussofa’. Natsir juga menulis artikel ‘Islam dan Akal Merdeka’. Kemudian ada artikel ‘Arti Agama dan Negara’. Atau agama dalam negara yang pada intinya, Natsir berpendapat, sebaliknya.

Negara Kesepakatan

Menurut Natsir, jelas Prof Mahfud, justru negara kalau ingin maju dan demokratis, karena mayoritas penduknya Islam dan, Islam itu mengatur semua segi kehidupan secara kaffah, maka, negara ini harus menjadi negara Islam. Ini kata Natsir.

“Kedua tokoh ini, tulisannya sangat bagus, sangat cerdas. Nah, pemikiran yang muncul dari polemik akhir tahun 30-an itu terus menjadi perdebatan sampai tahun 1945. Ketika BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia red.) dibentuk, terjadi pedebatan di sidang-sidang BPUPKI. Pertama, terjadi Panitia Sembilan, seperti tadi dikisahkan ceritanya oleh Mas Anhar Gonggong, yang kemudian melahirkan kesepakatan. Indonesia ini bukan negara agama, tetapi, juga bukan negara sekuler.”

Maka, jelas Prof Mahfud, mengutip Bung Karno, negara ini adalah negara kesepakatan, modus hufendi. Artinya negara ini bersumber nilai-nilai agama, pedoman-pedoman hidup dan ideologinya serta konstitusinya. Tetapi juga tidak memberlakukan hukum agama. “Agak rumit memahaminya,” jelas Mahfud MD.

“Begini! Negara yang seperti ini, oleh disertasinya Tahir Ashari disebut negara religius nation state, negara kebangsaan yang berketuhanan. Negara diilhami, diinspirasi oleh nilai-nilai agama. Tetapi tidak memberlakukan hukum agama tertentu,” jelasnya.

Meski begitu, lanjut Prof Mahfud, negara tetap melindungi penduduk dan rakyat yang ingin melaksanakan ajaran agamanya masing-masing. Itu religius nation state. “Jadi, tidak mungkin Pancasila itu bermusuhan dengan agama, Pancasila dan agama itu kawan dekat. Saling mengisi saling bersumber,” terangnya dengan nada serius.

Nah, tambahnya, didalam teorinya Fred Riggs (Fred W. Riggs red), ketika dia menulis buku tentang etnis ration in prismatic society, dia mengatakan, yang kemudian dikutip oleh disertasinya Nurhasan Ismail ketika menulis hukum agraria. Itu dikatakan begini: Karena Indonesia itu adalah Negara prismatic, yaitu titik tengah antara dua konsep yang semula bertentangan, lalu diambil nilai-nilainya yang bagus, ketemu di titik tengah, prisma, lalu memancar, itulah Pancasila.

“Nilai agama masuk, nilai sekuler masuk, ketemu di sini. Lalu terjadilah di situ religius nation state. Suka atau tidak suka, itulah kalau mau pakai konsepsi atau teori prismatic,” terangnya.

Agama Tidak Anti Pancasila

Oleh sebab itu, negara yang seperti itu, kalau dari sudut pandangan Islam, disebut darul mitsaq, negara kesepakatan, atau darul ahdi wa syahadah menurut Muhammadiyah, atau modus hufendi, kesepakatan luhur, di mana semua pemeluk agama dilindungi oleh negara untuk melaksanakan hak asasinya sebagai pemeluk agama.

“Nah, itu tentang konsep hubungan negara dan agama. Yang jika ditinjau dari sudut hukum dan politik, ingin dipahami secara proporsional, negara ini tidak anti agama, agama juga tidak anti Pancasila,” jelasnya.

Lalu bagaimana di dalam hukum? “Saya tadi katakan, ideologi negara dan dasar negara itu, di dalam praktis implementatif, dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, itu berbeda,” tegasnya.

Pancasila sebagai dasar negara, itu melahirkan aturan-aturan hukum yang mengikat, yang dibuat oleh negara. Sedangkan Pancasila selain sebagai ideologi Negara, itu melahirkan berbagai pedoman hidup yang bukan hukum, seperti kesepakatan, pandangan hidup, pedoman pergaulan, gotong royong, dsb.

“Itu tidak harus menjadi hukum, tapi, kalau Pacasila sebagai dasar negara, itu melahirkan aturan hukum, yang bentuknya adalah peraturan perundang-undangan,” terangnya.

Lalu dari mana hukum itu dibuat? “Nah nilai-nilai agama, dari berbagai agama itu – Islam, Kristen, Hindu, Budha, Konghucu, Aliran Kepercayaan dan Budaya —  itu bergabung dalam sebuah proses legislasi, itu digodok dalam proses legislasi keluarlah hukum nasional, namanya hukum Pancasila. Konsep hukum Pancasila itulah akhir dari semua agama yang bertemu di DPR.”

Di situ menggodok sebuah hukum yang disepakati bersama. Sehingga hukum yang berlaku, itu adalah produk dari nilai-nilai agama yang bermacam-macam itu, bersama adat dan budaya. Dirapatkan, dimusyawarahkan, diproses legislasi, kemudian lahir hukum nasional. Sehingga kemudian, bentuk hukum yang berlaku, itu ada dua.

Pertama, hukum publik, itu adalah hukum yang berlaku sama bagi semua warga negara, agama apa pun, suku apa pun, daerah mana pun. Itu sama. Misalnya, hukum Tata Negara yang belaku hukum tata negara kita. Hukum lingkungan, ya hukum lingkungan kita. Bukan hukum lingkungan Islam, bukan hukum Lingkungan Kristen, bukan hukum Tata Negara Kristen. Bukan. Tetapi hukum Tata Negara Indonesia.

Beradasar Pancasila, itu lahir dari proses legislasi dari semua agama masuk di situ. Hukum Pidana masuk di situ, suka atau tidak suka, hukum pidana kita, itu adalah hukum publik, yang berlaku hukum nasional, disetujui melalui proses legislasi, sebuah proses mengadon, mencampur.

“Misalnya, membuat donat, itu ada tepungnya, ada gulanya, ada mricanya, ada airnya diadon, lalu jadilah donat. Itulah produk. Itulah proses hukum nasional. Sebagai produk legislasi negara, Pancasila dengan Agama, itu sama sekali tidak bermusuhan.”

Nah, hukum perdata. Saya tadi katakan, hukum negara itu tidak memberlakukan hukum agama dalam hukum publik, tetapi, hukum perdata itu berlaku dengan sendirinya selama pemeluknya mau. Oleh sebab itu, orang mau naik haji, ya naik haji saja, itu tidak dilarang oleh negara, malah dilindugi kalau Anda naik haji.

“Tetapi negara tidak boleh mewajibkan orang naik haji. Karena orang naik haji itu, adalah hukum agama. Tetapi kalau orang mau naik haji, mau umroh, negara wajib melindungi dia sebagai warga Negara,” jelas mantan Menhan RI di era Presiden Gus Dur ini.

“Orang mau solat di Masjid, harus dilindungi. Orang mau salat di Gereja, harus dilindungi keamanannya. Tetapi orang tidak wajib (diwajibkan) ke Gereja, orang tidak diwajibkan ke Masjid. Cuma kalau orang mau, maka, negara wajib melindungi. Itulah implementasi hukum, penuangan hukum di dalam tata hukum kita. (Dari sini) sebenarnya, kita tidak perlu ribut, apakah agama itu bertentangan dengan negara.”

Negara Melindungan Pemeluk Agama

Kedua, hukum kita yang sifatnya personal. Peribadatan itu berlaku tanpa harus dijadikan Perda, tanpa harus dijadikan UU, itu berlaku dengan sendiri. Anda mau beribadah, tidak perlu UU. Beribadah saja, mau ke majelis taklim, silakan saja. Tidak usah pakai UU segala. Itu boleh di dalam negara.

“Oleh sebab itu, saya ingin menyimpulkan, pendapat saya ini. Dengan sekali lagi, masuk kepada kesimpulan, hubungan antara negara dan agama. Di Indonesia dipandang dari optic hukum dan optic politik, bahwa, negara tidak memberlakukan hukum agama, tetapi, negara memproteksi pemeluk agama untuk melaksanakan ajarannya. Di mana hukum publiknya, diatur secara sama, berdasar proses ijtihad, hukum privatnya berlaku masing-masing, tanpa saling mengganggu dan penuh toleransi,” jelasnya. (mky, youtube tvone)

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry