JAKARTA | duta.co – Musyawarah Nasional Alim Ulama dan Konferensi Besar Nahdlatul Ulama (NU) merekomendasikan kepada pemerintah bahwa hukum membuang sampah sembarangan adalah haram. Hal sama juga untuk bisnis MLM. Munas dan Konbes NU juga memberi saran soal menghindari menyebut non-muslim sebagai kafir.
“Menjaga kebersihan sebagian dari iman, maka membuang sampah sembarang menunjukkan kualitas iman yang lemah. Akan ada pertanggungjawaban di akhirat kelak. Di samping tuntutan di dunia,” kata Koordinator Sidang Komisi Bahtsul Masail Waqiiyah, Asnawi Ridwan, di Pondok Pesantren Miftahul Huda Al-Azhar, Kota Banjar.
Asnawi mengatakan bahwa keputusan tersebut didasari hasil beberapa penelitian mengenai pengelolaan sampah yang dilakukan sejumlah pihak. Dari hasil penelitian pada 2012 itu, sampah yang diproduksi hanya ditindaklanjuti tanpa dikelola sebanyak 7 persen, dibakar 5 persen, didaur ulang 7 persen, dan dikubur 10 persen. “Yang paling besar ditimbun di Tempat Pembuangan Akhir [TPA] sebanyak 69 persen,” ujarnya.
Menurut Asnawi, pihaknya menyebut ada dua jenis hukum membuang sampah sembarangan ketika tak dikaitkan dengan peraturan daerah atau Undang-Undang.
Pertama, haram apabila nyata-nyata atau diduga membahayakan. Kedua, makruh apabila kemungkinan kecil membahayakan.
“Jadi kami mendorong kepada pemerintah, tidak hanya Perda, tapi Undang-Undang yang sifatnya nasional. Maka hukumnya menjadi haram kalau buang sampah sembarangan,” katanya.
Selain merekomendasikan hukum membuang sampah sembarangan, sidang Komisi Bahtsul Masail Waqiiyah juga merekomendasikan bahwa bisnis permainan uang model Multi Level Marketing (MLM) juga haram. “Hukum bisnis money game model MLM, baik menggunakan skema piramida atau matahari, dan ponzi adalah haram,” kata Asnawi.
Dari hasil sidang tersebut, ada tiga alasan mengapa bisnis MLM dengan skema piramida atau matahari, dan ponzi, adalah haram. Yakni, pertama, penipuan (gharar); kedua, menyalahi prinsip akad transaksi; serta ketiga, motivasi akad transaksi adalah bonus.
“Haram karena terdapat gharar dan syarat yang menyalahi prinsip akad sekaligus motivasi [ba’its] dari transaksi tersebut adalah bonus bukan barang,” ujarnya.
Soal Kafir
Pada bagian lain Musyawarah Nasional Alim Ulama dan Konferensi Besar Nahdlatul Ulama (NU) juga menyarankan agar Warga Negara Indonesia yang beragama non-Muslim tak lagi disebut sebagai kafir. Kata kafir dianggap mengandung unsur kekerasan teologis.
“Karena itu para kiai menghormati untuk tidak gunakan kata kafir tetapi muwathinun atau warga negara, dengan begitu status mereka setara dengan WN yang lain,” kata Pimpinan Sidang Komisi Bahtsul Masail Maudluiyyah, Abdul Moqsith Ghazali, di Pondok Pesantren Miftahul Huda Al-Azhar, Banjar, Jawa Barat, Kamis (28/2).
Pembahasan tersebut dilakukan dalam Sidang Komisi Bahtsul Masail Maudluiyyah, Munas Alim Ulama dan Konbes NU.
Moqsith mengatakan saran melarang menyebut WNI non-muslim bukan untuk menghapus istilah kafir dalam Alquran maupun hadis. Menurut Moqsith, keputusan sidang komisi tersebut merupakan sikap teologis NU terhadap kondisi saat ini.
Ia menyatakan masih banyak masyarakat yang menyematkan label diskriminatif pada sebagian kelompok WNI, baik yang beragama Islam maupun non-Muslim.
“Memberikan label kafir kepada WNI yang ikut merancang desain negara Indonesia rasanya tidak cukup bijaksana,” ujarnya.
Meskipun demikian, Moqsith menyebut soal larangan penyebutan kafir tersebut belum tentu masuk dalam rekomendasi yang akan diberikan kepada pemerintah. Kata dia, keputusan yang menjadi rekomendasi terkait dengan kebijakan yang dikeluarkan negara.
“Biasanya rekomendasi itu terkait dengan kebijakan yang dikeluarkan negara. Sementara ini narasi akademis,” katanya. (cnni/hud)